Sukses


KOLOM: Di Luar Topi dan Tendangan, Semua Ingin Hiburan!

Bola.com, - Terjadi di dua benua, di hari sama, ada dua kejadian di dunia motorsport yang membuat kita, para penikmatnya mengangkat alis, mengerutkan dahi atau bahkan geleng kepala. Benarkah dua kejadian ini nyata? Dengan para pelaku selebritas Formula One (F1) dan MotoGP pula? What the hell is going on--begitu kalau meminjam istilah orang-orang di sekeliling saya saat ini.

Lewis Hamilton, our fellow Brit, memenangi balap F1 seri Amerika Serikat yang berlangsung di Austin, Texas, dengan bumbu kurang sedap. Sesaat sebelum seremoni naik podium, ia melemparkan topi kepada mitra satu tim di Mercedes, Nico Rosberg, yang dibalas dengan cara dibuang kembali kepadanya.

Apakah Hamilton kurang sopan, sehingga Rosberg geram dibuatnya? Bisa saja, apalagi kalau menengok kejadian di sirkuit sebelumnya. Di awal race, Hamilton terlibat clash dengan menabrakkan ban mobilnya ke tunggangan Rosberg saat keluar tikungan pertama. Hal ini, dinilai Rosberg serta Toto Wolff, bos tim, sebagai tindakan keterlaluan.

Lewis Hamilton-Nico Rosberg bersikap dingin saat jumpa pers sesuai lomba GP Amerika Serikat. (Crash)

Hamilton mungkin cepat melupakan kejadian itu, apalagi saat podium menanti di depan mata dan gelar juara dunia F1 ketiga kali sudah pasti direngkuhnya--membuatnya setara dengan Sir Jackie Stewart sebagai sesama Brit peraih gelar tiga kali. Artinya, di negaranya sendiri, prestasi ini tergolong langka. Bisa (sangat) dibanggakan.

Tetapi di sisi lain, jangan salahkan bila Rosberg bete dengan kelakuan dia: sudah menciptakan clash di awal balapan, ditambah melemparkan topi pula! Meski versi Hamilton soal saling lempar topi yang tidak lucu ini terjadi gara-gara saat ia bersiap-siap naik podium (dan Rosberg masih duduk di sofa), ada tiga topi dan miliknya, Nomor 1, ada paling belakang, jadilah yang akan dikenakan Rosberg, karena berada lebih depan, ia lemparkan, disertai kata, "Here you go, Mate!"

Dari Texas, kita pindah ke sirkuit Sepang, untuk menyaksikan Valentino Rossi, salah satu legenda hidup MotoGP dengan reputasi penyandang gelar juara dunia sembilan kali. Ditengarai, pria kelahiran Urbino, Italia dan pernah bermukim di London ini melakukan adegan "kung fu panda". Diawali drama saling mengejar antara rider Honda, Marc Marquez, dengan Rossi memperebutkan posisi ketiga dalam race, yang berakhir di Turn 14. 

Marc Marquez (kiri) bersaing ketat dengan Valentino Rossi hingga finis. (AP Photo/Vincent Jannink)

Rossi "mengambil" Marquez dari jalur dalam lalu menendangnya dengan kaki kiri, sampai terjadi crashed dan Marquez dinyatakan DNF. Sanksi bagi Rossi adalah start dari posisi paling buncit di seri penutup MotoGP yang bakal berlangsung di Valencia, Minggu (8/11/2015).

Berdasarkan hasil penyelidikan, Rossi (46) dinyatakan mengambil jalur terlalu melebar--dan ini diakui oleh yang bersangkutan--sementara Marquez (93) meski tidak melakukan hal bertentangan peraturan, tetapi menunjukkan gaya mengemudi terlalu agresif. Bahkan, saat crash, justru motor Marquez-lah yang menabrak motor Rossi dan secara tidak langsung membuat kaki Rossi terlepas dari pijakannya.

2 dari 2 halaman

1

Motorsport Berbahaya

Sayangnya, banyak pihak terlanjur kecewa dengan drama Rossi-Marquez ini. Casey Stoner, juara dunia dua kali MotoGP sekaligus seteru Rossi mengungkapkan, cara legenda sembilan kali juara dunia itu dalam meraih posisi ketiga di Sepang tidak bisa dibenarkan. "Ada perbedaan besar antara cara membawa motor ugal-ugalan dengan melakukan hal yang membuat pembalap tersingkir keluar dari balapan."

Apa perbedaan dan persamaan antara Rossi-Marquez dengan Hamilton-Rosberg? Persamaannya adalah mereka para pelaku dunia sport, khususnya sport otomotif. Suatu arena dan cabang olahraga yang mengedepankan sportivitas sekaligus memiliki unsur bahaya. Sama halnya seperti kalimat yang akrab sejak pertama kali saya terjun sebagai jurnalis motorsport, tertera di setiap sirkuit F1 dan MotoGP, arena balap WRC, sampai ID Pass saya yang dilansir secara resmi oleh FIA: Motorsport is Dangerous.

Keempat gentlemen ini sudah pasti paham luar kepala, bahwa segala tindakan yang dilakukan ketika mereka beraksi di atas mobil atau motor balapnya mengundang konsekuensi, baik atas diri mereka sendiri, mitra satu tim, kompetitor, bahkan sampai penonton. Baik langsung maupun tidak langsung. Kasus clash dan crash, selain berbahaya, juga membawa konsekuensi atas penilaian masyarakat umum--dalam hal ini penonton--, pihak-pihak penyelenggara, sampai para penyandang dana.

Prestasi dan Etika

 Selain prestasi, tentu etika serta perilaku positif (utamanya menjunjung tinggi sportivitas) sangat diharapkan. Sebagai sponsor, Anda keberatan bukan bila pembalap yang Anda danai bertindak tidak fair, memalukan atau mempunyai catatan negatif seputar reputasinya, di luar kemampuan atau keandalannya secara teknis.

Hamilton serta Rosberg, adalah dua jagoan berusia sepantaran, berada di puncak prestasi saat berusia 30-an, tumbuh di era sama, berasal dari satu benua (meski England dipisahkan oleh English Channel dari Eropa daratan) di mana kehidupan dunia balap F1 senantiasa tumbuh.

Hamilton berupaya mengembalikan kejayaan negerinya setelah era Stewart, Nigel Mansell, Damon Hill, David Coulthard, bahkan Jenson Button yang masih turun balap sampai hari ini. Sementara Rosberg, nama besar ayahandanya, Keke Rosberg, sampai saat ini masih melekat di kepala penyuka F1. Bisa jadi, unsur-unsur inilah yang turut mewarnai pertikaian mereka. Masih logis, apabila kedua pembalap ini berada di tim yang berbeda. Valentino Rossi dikenal selalu santai saat meladeni para jurnalis. (EPA/Javier Ceboladda)

Tetapi saat berada di tim yang sama, bila mau mengingat kembali sejarah F1, bisa-bisa nantinya mirip dengan perseteruan antara mendiang Ayrton Senna dan Alain Prost.

Rossi dan Marquez, berada di rentang usia yang berbeda. Terpaut satu generasi, bahkan lebih. Yang satu sudah matang sementara yang satu lagi baru mencicipi setengah atau bahkan sepertiganya. Di masa-masa saya menjadi jurnalis motorsport, kehadiran Rossi adalah hal "manis" setelah keberadaan Max Biaggi yang memiliki temperamen jauh berbeda.

Bila Biaggi begitu serius dan meledak-ledak, Rossi murah senyum serta turun balap dengan langkah yang mengisyaratkan nothing to lose. Ketika media tempat saya bekerja membuat majalah anak-anak tentang dunia balap, sebagai editor saya meminta reporter kami yang bertugas di Sepang, sekitar 10 tahun lalu, untuk mewawancarai Rossi seputar makanan menjelang balap, dan dengan senang hati dikisahkannya tentang pasta buatan ibunya sendiri.

Dia begitu bersemangat mengobrol, masih dengan bertelanjang dada usai berlatih. "Warga" satu kantor tempat saya bekerja juga mengalami, bagaimana Rossi, yang mengidolakan pembalap Norick Abe (almarhum) membuat nickname Rossifumi yang diambil dari nama depan Norifumi. Lantas ia bermetamorfosa menjadi The Doctor serta memasang giwang di telinga.

Adapun Marquez, sebagai produk pasca era Biaggi dan Rossi, memiliki gap lebih dari 10 tahun dari sang legenda. Sadar atau tidak bahwa ia mengidolakan Rossi, Marquez pernah menyatakan mengambil pelajaran dari Rossi tentang cara balap. Sama dengan kejadian di Sepang, yang dalam versi lajang Spanyol itu dia sebutkan, agar persoalan mereka berdua sampai di situ saja, demi dunia motorsport yang mereka junjung tinggi.

Marc Marquez pernah mengaku banyak belajar dari cara membalap seniornya, Valentino Rossi. (AP Photo/Tony Gutierrez)

Sportivitas

Pertanyaan kita mungkin senada: apa benar, seorang veteran sekaliber Rossi tega menjegal juniornya yang masih muda itu? Yang mana ia sudah menyatakan: I didn't do it. Meski di seri sebelumnya, Rossi pernah memberikan pernyataan "aneh", yang menyebutkan bahwa Marquez punya andil ingin memuluskan jalan Jorge Lorenzo sebagai juara dunia. Pernyataan Rossi ini, ditambah kejadian crashed di Sepang, disimpulkan oleh Marquez bahwa seniornya itu hanya merasa nervous.

Di luar peristiwa kung fu panda serta lempar topi di pentas MotoGP dan F1 itu, kita, Anda, dan saya sebagai penikmat olahraga motorsport tentu bisa bercermin kepada nilai-nilai moral yang mendasari kejuaraan-kejuaraan ini: sportivitas. Juga pembungkusnya, yaitu unsur entertainment alias hiburan. Betapa chicane, turn, lap, overtaking, dan pit-stop serta kibaran chequered flag sampai letupan champagne membuat kita ikut bertepuk tangan, berseru senang sampai menangis, seolah bisa ikut merasakan apa yang terjadi di sirkuit dan tengah dialami pembalap jagoan kita.

Semua indah, semua menghibur, sampai hadirnya dua kejadian yang tidak mengenakkan tadi. Apakah ini bagian dari psychology war antarpebalap atau "rumus" agar dua balap paling populer di muka Bumi ini terus ditonton? Silakan dinilai sendiri. Yang jelas, tanpa insiden--apalagi sampai "menyerempet" kalimat Motorsport is Dangerous--sebuah balapan "bersih" sangatlah seru sebagai hiburan atau tontonan. Benar begitu, bukan?

Ukirsari Manggalani

*) Penulis adalah jurnalis freelance dan travel writer, mantan jurnalis sport otomotif di Majalah Motor dan Otosport, saat ini tinggal di London.

 

Video Populer

Foto Populer