Sukses


Jose Mourinho, Pep Guardiola, dan Pilkada DKI Jakarta

Bola.com — Maret 2008. "Kami memilih filosofi, bukan citra semata." Demikian terlontar dari mulut Presiden Barcelona, Joan Laporta ketika dihadapkan pilihan siapa calon pelatih yang tepat untuk menggantikan Frank Rijkaard. Apakah Jose Mourinho atau Pep Guardiola.

Filosofi teramat penting bagi Barcelona. Sejak mengalami periode emas pada era Johan Cruyff, El Barca terus menjaga kultur dan identitas klub. Toh, Cruyff jugalah yang pada akhirnya berperan penting atas penunjukkan Guardiola sebagai pelatih baru Barcelona.

Cruyff menilai, Guardiola bukan hanya cerdas, melainkan juga pribadi yang dapat menjaga tradisi Barcelona. Berbeda dengan Mourinho, andai mengacu dari beberapa klub yang pernah dilatih, terkadang ia mengandalkan pragmatisme untuk meraih kemenangan.

Mourinho pun mengamini pandangan itu. Menurut dia, "Anda memang harus pragmatis dan meminta kepada para pendukung tim Anda, apakah mereka senang dengan piala atau mereka lebih lebih memilih memainkan permainan Samba milik Brasil dan pulang tanpa piala."

Mourinho dan Guardiola saat ini bisa dibilang menjadi dua pelatih terbaik di dunia. Mereka sempat berkarier di Barcelona pada 1997. Namun, Guardiola ketika itu berstatus sebagai pemain, sedangkan Mourinho bekerja sebagai penerjemah pelatih utama, Bobby Robson.

Pep Guardiola (kiri) dan Jose Mourinho (kanan) saat masih berkarier di Barcelona. (Daily Mail).

Mourinho mulai menapaki karier kepelatihan pada 2000, sementara Guardiola memutuskan hengkang dari Camp Nou untuk bergabung dengan Brescia, satu tahun berselang. Pada 2007, Guardiola kembali ke Barcelona, namun sebagai pelatih tim muda.

Pada 2010, keduanya kembali bertemu. Namun, bukan sebagai rekan kerja, melainkan oposisi yang kian mengentalkan rivalitas Barcelona dan Real Madrid di La Liga pada periode 2010-2013. Berbagai cerita perseteruan pun menjadi bumbu menarik di balik persaingan mereka.

Meski sempat berpisah, Mourinho dan Guardiola lagi-lagi dihadapkan realita, "cinta" mereka tetap terajut sempurna. Bahkan, dapat dikatakan lebih menarik, karena kali ini persaingan keduanya masuk ke dalam perseteruan abadi Manchester United dan Manchester City.

Budaya
Menghargai budaya adalah filosofi sepak bola yang dipegang teguh Guardiola selama berkarier sebagai pelatih. Oleh sebab itulah, pelatih berusia 46 tahun tersebut mampu meraih sukses saat melatih Barcelona dan Bayern Munchen dengan total raihan 21 gelar di berbagai ajang.

Soal persaingan dengan Mourinho di lapangan sepak bola? Guardiola pun jelas unggul jauh atas seniornya itu. Sah-sah saja memang, andai Mourinho membangun citra sebagai "The Special One" karena mampu membawa klub sekelas Porto menjuarai Liga Champions pada 2003.

Aksi pelatih Manchester United, Jose Mourinho (kiri) dan pelatih  Manchester City, Pep Guardiola (R) saat menyaksikan anak asuhnya berlaga pada laga Premier League di Old Trafford, Manchester,  (10/9/2016). (AFP/Oli Scarff).

Teranyar, Mourinho juga berhasil mengalahkan Guardiola usai MU menang 1-0 atas City, di ajang Piala Liga Inggris, Rabu (26/10/2016). Namun, jika ditotal dari 18 pertemuan di berbagai kompetisi, Mourinho hanya mampu menang empat kali atas tim yang dilatih Guardiola.

Selain itu, meski sedang mengalami fase buruk setelah belum pernah meraih kemenangan dalam enam laga beruntun, Guardiola tetap mampu mengantarkan City duduk di puncak klasemen Premier League, sedangkan Mourinho masih kesulitan mengangkat posisi MU masuk ke empat besar. 

Toh, meminjam bahasa filsuf asal Irlandia, George Berkeley (1685-1753), meski penting, citra bukanlah hal yang nyata. Dalam kehidupan manusia, citra dapat menentukan sikap dan memengaruhi orang lain, yang kemudian dapat berperan terhadap keberhasilan seseorang. Namun, sejatinya, menurut pandangan Berkeley, citra berbeda dengan kenyataan yang ada. 

Realitas sesungguhnya, dalam konteks di atas, adalah pijakan hidup manusia yang bekerja tanpa disadari karena setiap insan memiliki persepsi berbeda-beda. Oleh karenanya, pada titik ini, pola pikir terbalik harus digunakan karena persepsi tidak sama dengan realitas. Jadi, anggapan yang ada di kepala setiap manusia harus dilihat berbeda dari kenyataan yang ada.

Hasil pemikiran itulah yang pada akhirnya memunculkan sikap kritis dalam diri manusia. Dengan begitu, wajar-lah, di balik berbagai kehebatannya melatih klub atau kian mentereng julukan "The Special One", Mourinho tidak bisa lepas dari bayang-bayang buruk jika disandingkan dengan Guardiola.

Memang banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut. Namun, sejatinya, dalam sepak bola, kegembiraan tidak hanya dirasakan ketika meraih kemenangan, tetapi juga berasal dari hal besar lain yang bakal kekal diingat banyak orang.

Dari sesuatu yang lebih besar itulah kiranya kita juga bisa mengambil pelajaran penting. Siapa tahu dengan kembali melihat perseteruan Mourinho dan Guardiola, kita diingatkan, jika di sepak bola saja membutuhkan ideologi yang jelas, apalagi politik.

Dalam persoalan Pilkada DKI Jakarta, misalnya. Semakin hari berbagai isu korupsi hingga SARA membuat masa kampanye kian tidak jelas arahnya.

Pada akhirnya kita pun tinggal memilih, ingin memiliki gubernur yang benar-benar tulus menghargai tugasnya atau sosok yang hanya jeli memainkan citra dan ujung-ujungnya justru bisa bernasib nahas di balik jeruji penjara?

"Sepak bola adalah permainan yang penuh dengan kesalahan. Siapa yang paling sedikit melakukan kesalahan akan menang. Sebelum melakukan kesalahan, saya tidak akan membuat kesalahan itu." — Johan Cruyff

Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari jurnalis Bola.com, Ary Wibowo, dan tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat Twitter @iLhoo atau email ary.wibowo@bola.com.

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, La Liga, Liga Champions, dan Liga Europa, dengan kualitas HD di sini

Video Populer

Foto Populer