Sukses


Kurniawan DY, Obsesi Saat Ini dan Kenangan Pahit Masa Lalu

Bola.com, Jakarta - Pada pertengahan tahun 90-an, Kurniawan Dwi Yulianto mencapai puncak popularitas sebagai pemain sepak bola. Kurus, sapaan akrabnya, termasuk dalam sejumlah pemain yang dikirim untuk berlatih di Italia di kompetisi Primavera.

Setelah proyek mercusuar itu selesai, Kurniawan sempat bermain di kompetisi Swiss bersama FC Luzern. Karirnya di Eropa tak berlanjut dan ia pulang ke Indonesia. Ia kemudian menjadi salah satu tulang punggung timnas dan memperkuat sejumlah klub di Indonesia.

Kini setelah pensiun, Kurniawan yang berusia 39 tahun, memiliki sejumlah kesibukan. Ayah lima anak ini menekuni bisnis kuliner, menjadi komentator sepak bola, sambil tetap memberi perhatian pada pembinaan sepak bola.

Kurniawan menyempatkan diri datang ke redaksi bola.com pada Senin (5/10/2015). Ia mengungkapkan sejumlah hal, termasuk kenangan saat ia dicerca karena memutuskan pulang ke Indonesia ketimbang tetap berada di Eropa. Berikut petikan wawancaranya.

Apa kesibukan Anda sekarang?

Saya sering mondar-mandir ke Malaysia. Saat ini saya menekuni bisnis kuliner. Bersama istri saya mengelola rumah makan di Malaysia. Hasilnya lumayan. Hal yang tak kalah penting buat saya adalah usaha itu membuka lapangan pekerjaan. Saya membawa teman-teman dari Indonesia untuk bekerja sebagai pegawai rumah makan itu. Daripada jadi orang nakal di Indonesia, saya tawari untuk ikut ke Malaysia saja.

Ada kegiatan lain? Soal yayasan yang Anda buat dengan teman-teman?

Namanya Yayasan Olah Raga Anak Nusantara (YOAN). Saya bersama beberapa orang yang peduli pada pembinaan olahraga anak Indonesia tergerak untuk mendirikan yayasan tersebut. Selama ini kami melihat pembinaan menjadi masalah utama dari kemajuan olahraga di Indonesia.

Saya yang berasal dari cabang sepak bola memberi coaching clinic buat pemain muda. Untuk saat ini memang fokus kami masih pada cabang sepak bola. Tapi ke depan, cabang bulu tangkis juga masuk dalam perhatian kami. Mimpi kami adalah membuat sekolah semacam Diklat Ragunan.

Yayasan seperti itu butuh dana. Saat ini didapat dari mana soal dana?

Sementara dari uang pribadi kami. Tapi sudah ada beberapa pihak yang tertarik untuk menyokong yayasan ini. Kami yakin kalau memang niatnya bagus dan dikerjakan dengan serius pasti ada pihak yang mau menyokong.

Tidak ingin menjadi pelatih seperti teman-teman Primavera seperti Yeyen Tumena dan Kurnia Sandy?

Keinginan seperti itu pasti ada. Saya sempat menjadi pelatih di Chelsea Soccer Academy Indonesia. Untuk saat ini saya lebih tertarik untuk fokus di pembinaan usia dini. Saya merasa di YOAN bisa menyalurkan keinginan dan hasrat saya dalam pembinaan usia dini. Saya adalah salah satu pemain yang gagal mempersembahkan gelar buat bangsa Indonesia. Kalau sudah gagal sebagai pemain, tentu saya sekarang punya keinginan berhasil sebagai pelatih.

Kenapa lebih tertarik ke pembinaan usia dini?

Dulu saya mengalami masa susah saat menekuni sepak bola. Saya ingin membantu pemain usia muda di era sekarang yang seharusnya lebih mudah mendapatkan apa yang dibutuhkan. Selain itu, saya melihat bakat pemain Indonesia itu luar biasa dan merasa ada yang salah dengan pembinaan.

Kalau dibandingkan dengan pemain dari negara lain, pemain muda Indonesia tak kalah. Tapi kenapa saat sudah menginjak usia dewasa, pemain Indonesia tak bisa bersaing lagi.

Mantan Pemain Sepakbola Timnas Indonesia Kurniawan Dwi Julianto saat berkunjung ke redaksi Bola.com dan Liputan 6 di Senayan, Jakarta, Senin (05/10/2015). (Bola.com/Nick Hanoatubun)

Anda jadi salah satu pemain yang pernah berlatih dan bermain di Eropa. Apa perbedaan paling terlihat pada pola pembinaaan usia muda dengan di Indonesia?

Kalau dengan Eropa yang paling terlihat berbeda adalah soal keseragaman kurikulum. Sepengetahuan saya, FIFA memang memberikan hal yang sama buat latihan pemain usia muda. Saya tak tahu kenapa di Indonesia bisa berbeda-beda cara latihannya. Soal infrastruktur dan sarana latihan juga beda. Swiss, yang pada waktu saya bermain masih merupakan negara lemah di Eropa, punya infrastruktur dan sarana yang bagus buat pemain muda. Hal ini yang tak ada di Indonesia.

Saat ini ada beberapa orang pemain Indonesia yang memilih untuk berkarier di luar negeri. Berdasarkan pengalaman Anda, apa yang paling berat buat mereka?

Perlu mental yang benar-benar kuat untuk bisa bertahan dan bermain di luar negeri. Ujian sesungguhnya adalah saat bisa bertahan sendiri tanpa ada pemain asal Indonesia lain. Selama ini kan yang terjadi adalah mengirim sejumlah pemain untuk berlatih di luar negeri. Mereka bisa bertahan karena tetap berkumpul dengan orang Indonesia. Ketika harus sendirian tetap kesulitan dan akhirnya pulang.

Dulu Anda juga akhirnya pulang ke Indonesia, padahal sudah ada kesempatan main di Eropa. Kenapa?

Ada hal yang belum pernah saya ungkapkan. Saya mau cerita tapi off the record. Suatu saat saya akan buka alasan kenapa saya memilih pulang ketimbang menerima tawaran di Sampdoria. Waktu itu saya bilang alasan pulang adalah home sick. Padahal saya sudah cukup lama berada di luar negeri. Jadi alasan itu sebetulnya tidak masuk akal.

Ada yang kurang pas dengan proses transfer dan saya berharap ketika pulang ada yang melindungi. Namun kenyataannya tidak. Saya dihajar oleh pemberitaan media yang menyebut saya tidak tahu berterima kasih dan tidak mau memanfaatkan kesempatan.

Menurut Anda, seandainya bisa, pada umur berapa sebaiknya pemain muda mendapatkan kesempatan berlatih di luar negeri?

Semuda mungkin. Bisa di umur enam hingga delapan tahun. Semakin muda, tentu semakin bagus. Mereka masih fresh dan mudah menyerap ilmu. Semakin dewasa tentu semakin sulit untuk memberikan dasar sepak bola yang benar. Tentu saja syaratnya pembinaan negara tersebut harus lebih bagus dibanding Indonesia.

Soal timnas Indonesia, kenapa setelah era Kurniawan, Bambang Pamungkas, dan Boaz Solossa, Indonesia sulit menemukan striker? Siapa striker zaman sekarang yang punya tipe seperti Anda?

Tak cuma di posisi striker saja. Secara umum proses regenerasi berjalan lambat di semua posisi. Bukan cuma striker saja. Menurut saya hal ini tak lepas dari kebijakan soal pemain asing. Terlalu banyak pemain asing yang diperbolehkan main di kompetisi Indonesia tentu membuat kesempatan main pemain asli Indonesia makin sedikit. Muchlis Hadi Ning Syaifulloh adalah pemain sekarang yang mirip dengan gaya main saya. Asalkan tetap mau belajar dan down to earth, dia akan menjadi pemain bagus. Kalau bisa malah lebih bagus dibanding saya.

Mantan Pemain Sepakbola Timnas Indonesia Kurniawan saat berkunjung ke redaksi Bola.com dan Liputan 6 di Senayan, Jakarta, Senin (05/10/2015). (Bola.com/Nick Hanoatubun)

Baca Juga:

Kabar Buruk, Indonesia Resmi Tempati Peringkat Terburuk di FIFA

Dirumorkan Meninggal Dunia, Alfred Riedl dalam Kondisi Sehat

Piala AFF U-19: Thailand Jadi Raja, Indonesia Mau Jadi Apa?

Video Populer

Foto Populer