Sukses


Deja Vu 25 Tahun Perjuangan Timnas Indonesia di Filipina

"Saya tak kuat menahan diri untuk tidak menangis. Gelar juara SEA Games 1991 amat berarti bagi sebagian besar pemain muda yang jadi tulang punggung Timnas Indonesia kala itu. Kami merespons kepercayaan Anatoly Polosin dengan prestasi membanggakan," ungkap Sudirman, bek belia yang jadi bagian Tim Merah-Putih SEA Games 1991.

Bola.com, Jakarta - Stadion Rizal Memorial, Manila, 4 Desember 1991, bergetar dengan nyanyian syahdu lagu Indonesia Raya. Kemenangan Timnas Indonesia atas Thailand lewat drama adu penalti dengan skor 4-3 terasa sensasional, mengingat Tim Gajah Putih yang menjadi lawan membumi hanguskan perlawanan Tim Merah-Putih dengan skor telak 0-7 di semifinal SEA Games Bangkok 1985.  

Yang menarik skuat Timnas Indonesia yang berjaya kala itu didominasi pemain-pemain muda. Hanya ada empat pemain senior, yakni: Bambang Nurdiansyah, Ferril Raymond Hattu, Eddy Harto dan Hanafing, di barisan tim asuhan Anatoly Polosin. Sosok pemain-pemain muda kisaran usia 17-20 tahun, Widodo C. Putro, Aji Santoso, Peri Sandria, Sudirman, Salahuddin, Kas Hartadi, Nilmaizar, jadi tulang punggung timnas.

Anatoly Polosin, arsitek tim asal Rusia, berjasa besar menempa mentalitas anak-anak muda di Tim Garuda. Mereka ditempa latihan keras cenderung kejam tiada akhir. Beberapa nama pemain top macam Fachry Husaini dan Ansyari Lubis memilih menepi dari pelatnas karena tidak kuat dengan skema latihan fisik yang digeber Polosin dan asistennya, Vladimir Urin.

Anatoli Polosin, berani memberi kepercayaan kepada pemain muda di SEA Games 1991. (Istimewa)

Sejarah mencatat pencapaian Timnas SEA Games 1991 belum bisa terulang hingga saat ini. Selama 25 tahun Indonesia puasa gelar juara, baik di level persaingan SEA Games atau Piala AFF.

Agak ironis, mengingat di era 1950 hingga 1970-an Indonesia kerap disebut Macan Asia. Namun, fakta di atas kertas menunjukkan bila tim sepak bola negara kita hanya dua kali meraih gelar SEA Games, yakni edisi 1987 dan 1991.

Di turnamen elite Asia Tenggara, Piala AFF Timnas Indonesia nihil gelar. Sejak 1996 ajang ini digelar, paling banter Indonesia hanya empat kali menjadi runner-up.

Bandingkan dengan Thailand dan Singapura yang tercatat empat kali jadi tim terbaik di kawasan ASEAN. Bahkan tim layaknya Malaysia dan Vietnam sudah menikmati kesempatan mengangkat piala kampiun.

"Indonesia bukan tim yang lemah, tapi seakan dijauhi keberuntungan. Lihat saja, bagaimana kami mendominasi Piala AFF 2004 namun ujungnya kalah secara menyesakkan di final melawan Singapura," komentar Peter Withe, pelatih Timnas Indonesia di Piala AFF 2004.

Revolusi ala Alfred Riedl

Revolusi ala Alfred Riedl

Bak sebuah Deja Vu di ajang Piala AFF 2016 Timnas Indonesia menyongsong turnamen dengan modal kekuatan hampir sama dengan era SEA Games 1991. Seperti halnya Polosin, pelatih timnas terkini Alfred Riedl melakukan sebuah revolusi.

Nakhoda asal Austria tersebut secara ekstrem melakukan peremajaan besar-besaran skuat timnas. Ia dengan berani mengabaikan pemain-pemain matang pengalaman dan menggantikannnya dengan pilar-pilar hijau muda usia.

Para pelanggan timnas macam Cristian Gonzales, Hamka Hamzah, Firman Utina, M. Ridwan, Achmad Bustomi, Hariono, Samsul Arif, dan banyak lagi deretan nama-nama beken lainnya terpinggirkan. Ia menggantikannya dengan sosok-sosok darah muda macam Rudolf Yanto Basna, Evan Dimas, Andik Vermansah, Abdul Rahman Lestaluhu, Bayu Gatra.

"Timnas Indonesia harus bergerak maju, saatnya memberikan kesempatan besar kepada para pemain usia muda. Mohon maaf, untuk Piala AFF edisi kali ini saya terpaksa mengambil keputusan tidak populer dengan tidak melibatkan pemain-pemain veteran dengan nama besar. Bukan berarti kualitas mereka jelek, saya hanya ingin melakukan penyegaran," ungkap Alfred dalam sebuah perbincangan dengan Bola.com saat masa persiapan Piala AFF 2016.

Sejatinya, keberanian Alfred Riedl melakukan peremajaan komposisi pemain timnas bukan kali pertama dilakukan. Saat pertama kali mendarat di Indonesia pada Piala AFF 2010, ia juga memunculkan kejutan dengan memasukkan nama-nama pemain muda macam, Oktovianus Maniani, Irfan Bachdim, Beny Wahyudi, Kurnia Meiga, atau Ahmad Bustomi.

Sang mentor bahkan dengan amat berani mencadangkan Bambang Pamungkas, pemain yang berstatus kapten dan sedang berada di puncak ketenaran.

"Ia kalah bersaing dengan Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales, tapi saya tetap butuh figur pemimpin. Oleh karena itu saya tetap memasukkan nama Bambang, sekalipun saya sudah memberi tahu kepadanya kalau di tim yang saya latih ia hanya akan jadi pemain cadangan," ungkap Alfred.

AFF_Data Pemain_Indonesia (Bola.com/Adreanus Titus)

*) Dian Agus digantikan Teja Paku Alam, sementara Irfan Bachdim digantikan Muchlis Hadi.

Dari nama-nama yang disebut, hanya Beny dan Kurnia Meiga yang masih tersisa di Timnas Indonesia Piala AFF 2016. Bersama Boaz Solossa, Beny jadi pemain yang usianya menembus 30 tahun.

Alfred sejatinya bukan orang yang anti pemain senior. Pada Piala AFF 2014, ia banyak melibatkan pemain-pemain senior. Ia bahkan memanggil empat pemain naturalisasi, yakni Sergio van Dijk, Cristian Gonzales, Victor Igbonefo, serta Raphael Maitimo, untuk menambah gemerlap Skuat Garuda. Hasilnya? Timnas terkapar di penyisihan.

Belajar dari pengalaman pahit tersebut, ia kembali style awal, berani memberi kepercayaan kepada young guns. Bahkan lebih ekstrem lagi, memanggil pemain-pemain yang selama ini tidak pernah membela Timnas Indonesia. Seperti misalnya gelandang bertahan Bayu Pradana.

"Saya tidak menyangka dipanggil ke timnas, bak mimpi di siang bolong. Saya bukan siapa-siapa," tutur Bayu, mengungkapkan keterkejutannya.

Tidak Seberuntung Polosin

Tidak Seberuntung Polosin

Namun, beda dengan Polosin, Alfred Riedl menghadapi tantangan amat berat di masa persiapan menyongsong Piala AFF 2016. Konflik panjang antara PSSI dengan Kemenpora membuat Indonesia terasing selama setahun lebih seiring jatuhnya sanksi pembekuan dari FIFA.

Menghadapi Piala AFF 2016, Timnas Indonesia baru memulai proses seleksi pemain pada pertengahan bulan Agustus 2016. "Saya mungkin sedikit gila berani mengiyakan tawaran pekerjaan ini. Saya tahu Indonesia punya banyak pemain berbakat, tapi mereka setahun lebih tidak terlibat laga kompetitif internasional, plus ditambah vakumnya kompetisi profesional. Namun, entah mengapa saya mengiyakan. Ada pekerjaan rumah yang belum dibereskan di negara ini," kata Alfred.

Waktu persiapan yang terhitung mepet bukan jadi satu-satunya masalah. PSSI, yang baru terbebas dari hukuman, terlihat kepayahan menyokong program persiapan Piala AFF 2016. Mereka sempat kesulitan menyajikan lawan-lawan uji coba untuk memanaskan mesin Tim Garuda.

Boaz Solossa, uji coba Timnas Indonesia jelang Piala AFF 2016 cenderung minimalis. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

"Bisa dibayangkan betapa pusingnya kami. Timnas butuh sebanyak mungkin pertandingan uji coba internasional berkelas setelah lama vakum. Sayang melihat kondisi yang ada hal itu mustahil terwujud," ucap Wolfang Pikal, asisten pelatih Timnas Indonesia.

Dengan susah payah PSSI akhirnya bisa mengatur empat laga uji coba buat Boaz Solossa dkk. Namun, ekspektasi kualitas lawan yang diinginkan tim pelatih tidak kesampaian. Indonesia hanya bisa meladeni negara-negara sesama Asia Tenggara, Malaysia, Vietnam (2 kali), dan Myanmar.

Gangguan tidak berhenti sampai di situ. Alfred Riedl cs. tidak bisa leluasa memilih pemain. Ia harus rela hanya bisa memberdayakan maksimal dua pemain  dari masing-masing klub kompetisi kasta tertinggi Tanah Air. Di saat masa pelatnas, klub-klub tengah bertarung di pentas Indonesia Soccer Championship 2016.

Beberapa kali tim pelatih harus dibuat gusar dengan sikap klub menahan-nahan pemainnya bergabung ke timnas, dengan alasan membutuhkan tenaganya di Piala AFF. Mereka berkelit tidak memiliki kewajiban melepas pemain ke Tim Merah-Putih karena pelatnas digelar tidak di saat kalender resmi FIFA.

Perubahan tampuk kepemimpinan di PSSI, dari La Nyalla Mattalitti ke Edy Rahmayadi pada 10 November 2016 lalu tidak lantas mengubah situasi. Klub masih berkeras.

Yang terkini adalah penolakan Persipura Jayapura melepas Ferinando Pahabol. Sang striker dipanggil secara dadakan hanya kurang sepekan jelang kick-off Piala AFF 2016 untuk menggantikan posisi Irfan Bachdim yang dihantam cedera berat. Sebelumnya Alfred Riedl akhirnya mencoret nama kiper Semen Padang, Jandia Eka,  yang terkesan berlama-lama meninggalkan klubnya.

"Saya sedih karena tidak semua pihak mendukung Timnas Indonesia. Bagaimana kami bisa menjadi yang terbaik di turnamen kalau kondisinya serba tidak ideal seperti ini," ungkap Alfred.

Pemain Lapar Gelar

Pemain Lapar Gelar

Alfred Riedl sedikit terhibur dengan semangat yang ditunjukkan para pemain yang ada Timnas Indonesia. Mereka menjalani rangkaian latihan pelatnas dengan semangat membara.

"Hari-hari saya terasa menyenangkan melihat begitu antusiasnya para pemain menjalani latihan. Atmosfer di tim ini amat luar biasa," ungkap nakhoda kelahiran Wina, 2 November 1949 tersebut.

Keputusan sang mentor melibatkan pemain-pemain muda terasa tepat. Mereka lapar prestasi.

Cerita sukses Timnas SEA Games 1991 dan dahaga panjang gelar juara membakar semangat mereka.

"Mengangkat piala juara bersama Timnas Indonesia mimpi saya sejak kecil. Dipercaya membela negara di usia muda sebuah kebanggaan. Saya pribadi berharap bisa memberikan yang terbaik bagi Tim Garuda," kata Evan Dimas, gelandang serang Timnas Indonesia.

Evan Dimas dan Yanto Basna, pemain belia haus prestasi di Timnas Indonesia Piala AFF 2016. (Bola.com/Adreanus TItus)

Evan menjadi salah satu pemain yang disebut generasi emas. Bersama Timnas Indonesia U-19 ia sukses menjadi juara Piala AFF U-19 edisi 2013. Bersama rekan-rekannya ia memesona publik sepak bola nasional kala menggasak raksasa Asia, Korea Selatan, 3-2 di laga Kualifikasi Piala AFC U-19 2014.

Sukses Timnas Indonesia level senior di Piala AFF 2016 terasa melengkapi prestasi Evan yang digadang-gadang sebagai The Next Firman Utina.

Faktor mentalitas jadi terasa penting di tengah badai masalah. Faktor teknik bisa jadi hal kedua pendukung sebuah kesuksesan.

"Saya berpesan kepada para pemain muda di Timnas Indonesia Piala AFF 2016 untuk tidak pantang menyerah. Ketika kepercayaan diri meninggi serta ditopang kerja keras, siapa pun lawannya tidak akan bisa menghadang. Hal itu sudah saya alami saat dulu berlaga di SEA Games 1991," papar Sudirman memberi pesan kepada para juniornya.

Sejarah menunjukkan bukti, sepanjang bola bundar segala kemungkinan bisa terjadi. Denmark tim underdog jadi kampiun Piala Eropa 1992. Demikian pula dengan Yunani yang sukses menjadi raja Eropa edisi 2004. Di kawasan Asia, mencuat Irak sebagai jawara Piala Asia 2007. 

Jalan Timnas Indonesia menjadi tim terbaik di ASEAN akhir tahun ini tidaklah mudah. Di fase penyisihan Grup A, Indonesia dikepung dua negara pengoleksi gelar terbanyak Piala AFF, Thailand dan Singapura, plus ditambah tuan rumah Filipina yang di tiga edisi turnamen selalu menembus semifinal.

Menarik menyimak kutipan kata-kata yang dilontarkan Irfan Bachdim, pemain blasteran Belanda-Indonesia yang harus menepi dari Piala AFF 2016 karena cedera retak tulang fibula:

"Ini adalah sepak bola dan hal seperti ini bisa terjadi. Bukan kesalahan pemain lain atau siapa pun. Saya mendukung kalian semua dan berdoa yang terbaik. Guys berikanlah semua, bermain  dengan hati, dan berjuang untuk Indonesia tercinta. Mimpi saya hancur,  tapi kalian dapat mewujudkannya. Berjuanglah dan bawa piala itu ke Indonesia! #TimnasIndonesia #Brotherhood #Yakin #NeverGiveUp."

Selamat berjuang Tim Merah-Putih!

Jadi, menurut sahabat Bola.com, siapa pemain yang paling layak menjadi tandem Boaz di lini depan Timnas Indonesia dalam gelaran PialaAFF 2016:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Video Populer

Foto Populer