Sukses


The Boys of 1987 dan Cerita Pencetak Sejarah Timnas Indonesia

Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia menorehkan tinta emas pada SEA Games 1987. Sejarah baru dicatat skuat Garuda karena untuk kali pertama merebut medali emas cabang olahraga sepak bola, setelah mengalahkan musuh bebuyutan Malaysia 1-0 pada final di Stadion Utama Senayan, 20 September 1987.

The boys of 1987 (istilah ini mengacu pada panggilan spesial buat pemain dari pelatih Bertje Matulapelwa, red), meraih juara berkat gol dramatis Ribut Waidi pada menit ke-91. Ribut membuat Stadion Utama Senayan bergemuruh. Pasalnya, sejak SEA Games digelar 1959 (kala itu bernama Southeast Asian Peninsula Games), Indonesia belum pernah jadi juara.

Pencapaian terbaik Indonesia hanya jadi finalis pada edisi 1979. Pada saat itu Indonesia juga bertindak sebagai tuan rumah. Namun Tim Merah-Putih kalah dari Malaysia 0-1.

Kemenangan pada laga puncak SEA Games 1987 juga menjadi ajang balas dendam. Pertama kalinya Indonesia meraih medali emas sekaligus menghentikan dominasi Thailand dan membenamkan negara tetangga, Malaysia.

Langkah Indonesia menuju partai final sebenarnya amat berliku. Pada fase penyisihan, Ricky Yakob dkk. maju ke semifinal dengan status runner-up di bawah juara bertahan Thailand. Saat penyisihan, kedua tim bermain imbang 0-0. Indonesia memastikan satu tempat di empat besar setelah meraih kemenangan 2-0 atas Brunei Darussalam.

Pada babak semifinal, Garuda bersua Burma (sekarang Myanmar) dan menang telak 4-1. Pada laga lain, Malaysia menghantam Thailand 2-0. Uniknya, Tim Harimau Malaya saat itu pun juga melaju ke semifinal dengan status runner-up Grup A.

"Kami melangkah ke SEA Games 1987 dengan percaya diri. Persaingan sangat ketat pada waktu itu. Ada keyakinan dalam diri kami untuk meraih juara," kata Rully Nere, salah satu gelandang senior yang sudah berpengalaman di SEA Games.

Menghadapi Malaysia pada laga final membuat pemain Timnas Indonesia sempat tak bisa tidur. Rivalitas kedua negara dan tuntutan meraih juara 'menghantui' para pemain. Namun, hal itu justru menjadikan mental mereka tangguh dan sukses melewati pertandingan melelahkan serta menang lewat gol pada menit akhir.

Bersambung ke halaman berikutnya tentang tiga kunci Timnas Indonesia meraih medali emas

Data dan fakta

Babak penyisihan Grup BThailand vs Brunei 3-1Indonesia vs Brunei 2-0Indonesia vs Thailand 0-0

SemifinalIndonesia vs Myanmar (Burma) 4-1Rully Nere (54’)Herry Kiswanto (61’)Ricky Yacob (68’)Robby Darwis (73’)

FinalIndonesia vs Malaysia 1-0Ribut Waidi (91’)

Skuat Timnas Indonesia SEA Games 1987Kiper: Ponirin Meka, I Gusti Putu YasaBelakang: Muhammad Yunus, Marzuki Nyak Mad, Robby Darwis, Jaya Hartono, Sutrisno, France Marcus WennoTengah: Patar Tambunan, Azhari Rangkuty, Rully Rudolf Nere, Herry Kiswanto, Tiastono TaufikDepan: Budi Wahyono, Ribut Waidi, Ricky Yakob, Nasrul Koro, Adityo Darmadi

2 dari 5 halaman

3 Kunci Timnas Indonesia Meraih Medali Emas

Timnas Indonesia edisi SEA Games 1987 adalah pasukan yang sempurna. Ada tiga alasan mengapa tim itu disebut sebagai skuat ideal dan layak menjadi juara.

1. Matang lewat kompetisi dan jenjang timnas

Sebelum persiapan menuju SEA Games, tim pelatih timnas yang diisi Bertje Matulapelwa, Sutan Harharah, dan Sarman Panggabean, menyeleksi pemain dari dua kompetisi, Galatama dan Perserikatan.

"Pada era itu baik Galatama dan Perserikatan sedang bagus-bagusnya. Banyak pemain berbakat lahir dari kompetisi yang digelar reguler dengan persaingan tinggi," kata Rully Nere. 

Talenta berbakat ditemukan dari Galatama, seperti Ricky Yakob dan Nasrul Koto. Lalu dari klub Perserikatan ada Robby Darwis, Ribut Waidi, dan Budi Wahyono. Ada pula alumni Garuda 1, yakni Patar Tambunan dan Marzuki Nyak Mad. Herry Kiswanto dan Rully Nere juga jadi pemain senior alumni skuat Pra Piala Dunia 1986 dan Asian Games 1986.

"Bisa dibilang materi timnas tahun 1987 lengkap. Dari pemain muda dan senior, semua sama-sama memiliki jam terbang tinggi di timnas dan klub. Mereka menjadi pemain bintang dan berpengaruh di klub karena tak ada pemain asing pada waktu itu," ucap Rully. 

Almarhum Ribut Waidi (kiri), pahlawan Timnas Indonesia di final SEA Games 1987. Ribut meroket setelah PSIS meraih juara Perserikatan 1987. (Dok pribadi Agus Santoso)

2. Banyak Ikuti Ajang Internasional

Bek Jaya Hartono menceritakan Timnas Indonesia menjalani pemusatan latihan di Brasil selama dua bulan. Tak cukup sampai di situ, terdapat dua ajang pemanasan yang dijalani, pertama Piala Kemerdekaan 1986 di Jakarta dan Asian Games 1986 di Korea Selatan.

Tim-tim yang ambil bagian berasal dari luar ASEAN seperti Australia, dan beberapa negara dari Timur Tengah seperti Oman dan Arab Saudi. Indonesia melaju ke final namun kalah 0-1 dari Aljazair. Indonesia baru meraih juara pada edisi ketiga tahun 1987.

Setelah Piala Kemerdekaan, Indonesia menembus babak semifinal Asian Games dan tumbang empat gol tanpa balas dari Korea  Selatan.

Sebagai persiapan SEA Games 1987, Timnas Indonesia juga menjajal kekuatan PSV Eindhoven yang diperkuat trio Belanda, Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkard.

"Saat itu merupakan pertandingan perpisahan ketiga bintang itu sebelum menuju ke AC Milan. Saya kebetulan mencetak satu gol dan skor akhir 3-3," kenang Jaya Hartono.

3. Bermain kolektif

Hampir semua mantan anggota Timnas Indonesia pada SEA Games 1987 menyebut pada era itu tim Garuda bermain dengan corak Indonesia. Apa definisi corak Indonesia?

"Mungkin mirip Timnas U-19 era Indra Sjafri saat juara. Dari gaya main seperti itu, kolektif dengan umpan-umpan pendek. Tapi adalah tim yang kekuatannya merata, punya sayap, gelandang, dan striker bagus. Saat ini terlihat Indonesia belum ada lagi striker yang benar-benar top," kata Rully.

Rully yang pernah menjadi bagian dari skuat peraih medali perak pada SEA Games 1979 juga merasakan perbedaan besar dari metode latihan ala Wiel Coerver dan pelatih lokal.

"Kalau dengan Om Bertje latihannya lebih kepada kerja sama tim dan kolektif, sementara era Wiel Coerver fokus pada kemampuan individu," tegasnya.

Menurut Rully, kolektivitas itu yang menjadi faktor utama Timnas Indonesia meraih juara.

Klik halaman berikutnya untuk mengenal karakter pahlawan Timnas Indonesia dan cerita lucu pada SEA Games 1987.

 

3 dari 5 halaman

The Boys of 1987: Pria Tampan, Anak Bandel, dan Wong Ndeso

The boys of 1987 adalah pasukan pencetak sejarah yang penuh keunikan. Kata 'boys' selalu diucapkan Bertje Matulapelwa ketika memberikan instruksi kepada seluruh anggota tim. Seperti apa karakter pemain Timnas Indonesia pada era itu?

Ada pemain yang bergaya flamboyan, seperti Ricky Yacob dan Robby Darwis. Wajah mereka yang tampan ala Onky Alexander di film Catatan Si Boy yang meledak pada tahun yang sama, memikat para wanita untuk menonton langsung timnas di stadion atau menjadi penggemar sepak bola.

Ricky Yacob saat ini,
masih berkecimpung di dunia sepak bola. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Herry Kiswanto, kapten skuat timnas pada Asian Games 1986, tampil sebagai juru bicara yang bertugas mengusulkan peninjauan uang saku dan bonus kepada PSSI. Herry belum naik gaji sejak masuk timnas pada 1979 hingga 1980.

Ada juga pemain yang 'bandel' dan tidak bisa diam, seperti Rully Nere. "Bang Rully yang paling tidak bisa diam, tapi dia memang jago. Lini tengah lawan bisa diacak-acak sama dia," kata Patar Tambunan, junior Rully Nere.

Dalam skuat 1987 juga ada dua pelawak. Menurut Patar, Ricky Yacob dan kiper Ponirin Meka suka membuat semua pemain terpingkal-pingkal. "Pokoknya kalau berdua itu sudah bercanda, ramai betul. Tapi kami walau serius juga tetap bercanda," ucapnya.

Malah, kata Patar, dalam pemusatan latihan, mereka pernah batal latihan gara-gara bermain air penyemprot rumput Stadion Utama Senayan.

Adakah sosok pemain yang ndeso? "Ribut (Almarhum Ribut Waidi) dan Budi (Budi Wahyono). Ribut itu waktu masuk timnas belum lancar bahasa Indonesia, Bicaranya medok. Saya bertanya pakai bahasa Indonesia, dia tetap jawab dengan bahasa Jawa, hasilnya ya tidak nyambung, tapi lucu," kata Patar.

"Wes, pokoke ndeso tenan." Kalimat ini diungkapkan Ribut Waidi saat bercerita pengalamannya di timnas, ketika bereuni dengan mantan pemain PSIS pada 2011.

Mantan gelandang Timnas Indonesia, Patar Tambunan, memegang foto Timnas Indonesia saat ditemui di kawasan Bintaro, Selasa (01/8/2017). Patar Tambunan adalah salah satu anggota Timnas Indonesia pada Games 1987. (Bola.com/M Iqbal I

Budi Wahyono mengakui sebagai pemain daerah dan dari klub amatir, ia sempat minder saat dipanggil ke timnas. Bagi anak daerah, memperkuat timnas adalah kebanggaan luar biasa.

"Semua punya karakter beda-beda. Satu yang membuat kami kompak dan kuat adalah faktor pelatih. Kami sangat respek kepada Om Bertje, apalagi beliau pendeta dan bisa jadi bapak kami di luar lapangan," ucap Rully Nere.

Pembentukan Timnas Indonesia saat itu juga tidak mudah. Adu gengsi antara pelaku kompetisi Galatama dan Perserikatan, membuat pelatih selalu kesulitan menggabungkan bakat-bakat terbaik yang berasal dari dua kompetisi tersebut.

Rully Nere (kanan), salah satu gelandang terbaik yang dimiliki Timnas Indonesia. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Jaya mengakui jika persaingan memang terjadi. Galatama secara kelas lebih di atas karena profesional dan berlatih hampir setiap hari. Sementara Perserikatan sebagai kompetisi amatir sempat istirahat dari latihan, dan kembali aktif menjelang kompetisi bergulir.

Namun, pemain dari klub Perserikatan sudah kenyang pengalaman lewat kompetisi yang ketat. "Setelah masuk timnas, kemampuan semua pemain hampir sama dan sangat merata karena persiapan yang sangat lama dan matang itu," kata Jaya Hartono.

Ada dana abadi untuk peraih medali emas SEA Games 1987, buka halaman berikutnya.

4 dari 5 halaman

Tabungan Abadi Senilai Pulsa

Dua orang dari Semarang membuat pemain Timnas Indonesia di SEA Games 1987 iri. Ceritanya, setelah PSIS meraih juara Perserikatan 1987, Ribut Waidi dkk. mendapat bonus uang, rumah, dan pekerjaan.

Para pemain timnas pun sudah membayangkan, bila meraih medali emas bisa dapat bonus seperti pemain PSIS. Lalu apa yang didapat para peraih medali emas pertama cabang sepak bola SEA Games?

"Uang satu juta rupiah dan dana abadi. Semacam dana pensiun tiap bulan. Dulu jumlahnya Rp 50 ribu tapi sekarang jadi Rp 100 ribu," kata Patar Tambunan.

Rp 100 ribu? Sekarang? "Ya, masih saya terima setiap bulan, bisa buat beli pulsa," ia menambahkan.

Patar mengakui para pemain sempat membandingkan perolehan bonus mereka dengan pemain PSIS. Sebenarnya, pada waktu itu ia berharap pemerintah memberikan apresiasi lagi, tapi dia bersyukur karena medali emas SEA Games adalah pencapaian terbesar dalam kariernya sebagai pemain timnas.

"Apapun itu kami tetap bersyukur. Meraih juara adalah kebanggaan terbesar bagi saya," kata Patar yang mengalami cedera pada babak penyisihan sehingga absen di semifinal dan final.

Terlepas dari minimnya bonus dan tabungan abadi, para pemain timnas, tak terkecuali era SEA Games 1987, mendapat pekerjaan dari instansi, terutama BUMN.  Mulai dari Pertamina, Bank BRI, dan Bank Mandiri.

"Hampir semua bagian tim 1987 bekerja kantoran. Tetapi ada yang murni melatih atau berkarier di perusahaan swasta," kata Patar.

Jaya Hartono mengingat kepedulian Ketua Umum PSSI pada waktu itu, Kardono. "Jadi sebelum TC ada pemain yang ingin menikah, ada yang rumahnya belum jadi dan semua dicatat oleh ajudan dan direalisasikan saat itu juga," ucap Jaya.

"Beliau hanya ingin seluruh pemain yang masuk Timnas Indonesia sudah tidak memiliki permasalahan lagi. Sehingga kami benar-benar konsentrasi penuh saat mengikuti pemusatan latihan hingga SEA Games," katanya.

Berikutnya, membaca tulisan Jaya Hartono berjudul 100 Ribu Penonton dan Ucapan Sakral Bertje

5 dari 5 halaman

Jaya Hartono Menulis: 100 Ribu Penonton dan Ucapan Sakral Bertje

“Detik-detik jelang final jadi momen berharga dan tak terlupakan bagi saya. Doa, fokus, konsentrasi bercampur menjadi satu. Apalagi sekitar 100 ribu pasang mata memadati seluruh stadion. Sebelum partai puncak, seluruh pemain semakin meningkatkan kedisiplinan untuk dirinya sendiri seperti menjaga pola makan hingga istrirahat.”

“Ketegangan yang sempat dirasakan justru berubah menjadi motivasi saat menyaksikan seluruh tribune stadion dipenuhi suporter Indonesia.”

“Para pemain senior termasuk Ponirin Meka merangkul seluruh pemain baik senior maupun junior untuk memupuk motivasi. Semua ingin berjuang dan mengeluarkan segala tenaga untuk menghadapi Malaysia.”

''Dukungan 100 ribu orang itu memotivasi kami semua untuk memberikan yang terbaik bagi tim ini. Kalau bisa meraih emas, Indonesia bisa juara umum dan itu semakin menggelorakan semangat seluruh pemain. Jadi, ketegangan yang sempat dirasakan justru menjadi tambahan tenaga. Apalagi juara umum tanpa medali emas sepak bola itu terasa hampa, ditambah partai final juga dilanjutkan dengan upacara penutupan.”

“Saya merinding mendengarkan seisi stadion menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara keras dan lantang. Itu jadi sensasi tersendiri dan mempertebal rasa tanggung jawab sebelum pertandingan dimulai.”

''Kami percaya diri karena persiapan yang begitu panjang dan matang. Apalagi kami menggelar banyak uji coba, termasuk mengikuti turnamen sebagai uji coba sebelum event itu sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Ada ucapan sakral dari Om Bertje jelang laga di ruang ganti pemain. Beliau bilang begini, boys, ini kesempatan kita dan harus dimanfaatkan. Kita punya peluang untuk mengambil juara apalagi sebagai tuan rumah. Saat itu juga motivasi pemain langsung terangkat dan tampil habis-habisan. Apalagi sebelum pertandingan Pak Kardono juga memberikan motivasi termasuk bonus dana pensiun seumur hidup. Nominalnya saat itu Rp 50 ribu. Mungkin sekarang bonus itu masih ada.”

''Saat Ribut mencetak gol, stadion seperti akan roboh karena seluruh penonton semua bersorak merayakan keunggulan skor tersebut. Kami semua berlari menghampiri Ribut dan rasa lelah seperti sudah hilang. Padahal saat itu kondisi badan sudah lelah sekali.”

“Jerih payah saat pemusatan latihan dan persiapan selama dua tahun terbayar lunas. Seluruh keluarga besar Timnas Indonesia saat itu juga langsung menggelar syukuran atas raihan medali emas.

''Setelah juara, kumpul biasa dan tidak ada yang istimewa apalagi sampai pesta hingga larut malam. Setelah pembubaran tim, baik pelatih dan pemain mendapatkan bonus, hadiah, dan tabungan seumur hidup seperti yang dijanjikan Pak Kardono.”

Jaya Hartono, Kediri, 2 Agustus 2017

 

Jaya Hartono, salah satu anggota skuat Timnas Indonesia pada SEA Games 1987. (Bola.com/Ronald Seger)

 

Video Populer

Foto Populer