Sukses


Sani Tawainella, Antara Sepak Bola dan Makna Kehidupan Tulehu

Bola.com, Jakarta - Siang yang mendung, sedikit gerimis, Sehat Ohorella duduk termangu. Wajahnya cemas. Untuk sesaat, ia tak berkata-kata. Matanya hanya melepas pandang ke putranya, Sani Tawainella, yang akan pergi merantau ke Jakarta. Pandangan itu menyimpan kekhawatiran sekaligus harapan. 

Pada 1993, dalam usia 14 tahun, Sani Tawainella, meninggalkan tanah kelahirannya Tulehu, Maluku untuk berlatih sepak bola di Sekolah Ragunan. Bekal yang dibawanya bukanlah uang saku melimpah dan perlengkapan mewah, melainkan hanya uang ratusan ribu dan setoples ikan cakalang buatan sang ibu.

"Untuk irit biaya, saya pergi ke Jakarta naik perahu. Waktu itu sempat berhenti di Bau-Bau, Makassar dan Surabaya sebelum akhirnya berlabuh di Tanjung Priok," kenang Sani, saat menceritakan pengalamannya untuk kali pertama meninggalkan Tulehu, demi mengembangkan bakat sepak bola di Jakarta.

Di Tulehu, anak laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola akan merasa dikucilkan dari pergaulan. Untuk itulah, sejak kecil, mereka sudah berlatih, meski dengan perlengkapan seadanya. Demikian halnya Sani, ketika mencoba merantau ke Jakarta demi menggapai mimpi menjadi pesepak bola profesional.

Pesepak bola SSB Tulehu Putra, Alghy Nahumarury saat bermain di Pantai Tial. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Bahkan, Sani mengaku, dalam perjalanan menuju ke Jakarta, ia tetap menyempatkan diri berlatih di geladak kapal. "Di lantai tujuh (geladak kapal). Namun, saya hanya melakukan latihan-latihan ringan, seperti jugling bola," katanya.

Sani menghabiskan empat hari perjalanan Ambon-Jakarta. Begitu tiba di Sekolah Ragunan, ia disambut Dedi Umarella dan Imran Nahumarury yang tiba lebih dulu. Ketiganya merupakan sahabat lama. Selain satu kampung, mereka juga pernah satu tim membela tim pelajar Maluku pada Pekan Olahraga Pelajar di Bandung.

Bakat Sani pun terendus oleh pemandu bakat Sekolah Ragunan. Pria kelahiran 17 Maret 1979 itu sempat dipanggil untuk memperkuat tim nasional Indonesia di ajang Asian School. Dalam turnamen di Brunei Darussalam itu, Indonesia menembus final, namun gagal menjadi juara setelah dikalahkan Korea Selatan.

"Saat itu (ketika bermain bersama tim nasional Indonesia), saya yakin bisa menjadi pesepak bola nasional dan mencari nafkah lewat sepak bola," ungkap Sani. Namun, nyatanya, keyakinan Sani tersebut tidak semulus yang dibayangkan. 

2 dari 4 halaman

Makan Daun Singkong

Pada 1994, Sani ditinggal Imran Nahumarury yang terpilih untuk ikut program PSSI Baretti ke Italia. Imran berhasil menyusul Dedi Umarella yang beberapa bulan sebelumnya terpilih lebih dahulu untuk gabung PSSI Primavera.

Satu tahun berselang, Sani mengalami masa-masa sulit. Ia gagal lolos seleksi Timnas Indonesia U-16 untuk kejuaraan di Iran karena mengalami cedera. Kondisi tersebut membuatnya untuk sementara pulang kampung guna memulihkan cedera, sebelum kembali ke Jakarta.

Ketika kembali ke Ragunan, Sani sudah berada di ujung kelulusan. Ketika itu dirinya mempersiapkan diri menapaki jenjang karier profesional. Setelah lulus dari Sekolah Ragunan pada 1996, pemain yang biasa beroperasi sebagai bek sayap itu mulai mencari peruntungan dengan melamar di beberapa klub.

Klub pertama yang ia datangi adalah Persitara. Sempat berlatih beberapa hari, Sani memutuskan pindah ke Bogor dengan mengikuti latihan bersama Persikabo. Namun, meski sudah berlatih giat, Sani tak kunjung mendapatkan kontrak dari manajemen Persikabo. 

"Ketika di Bogor saya sempat sulit mencari makan. Sampai akhirnya sering minta ke warga daun singkong untuk direbus dan dimakan dengan nasi," cerita Sani. Ia mengaku, saat itu dirinya bisa mendapatkan uang untuk hidup dari match fee pertandingan tarkam yang diikutinya.

Tokoh sepak bola Tulehu, Sani Tawainella. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna).

Setelah tak kunjung mendapatkan kontrak darii manajemen Persikabo, Sani memutuskan mencoba peruntungan di Samarinda, Kalimantan Timur, bersama Persisam Samarinda. Namun, lagi-lagi Sani mengalami kemalangan karena gagal lolos seleksi masuk ke dalam skuat 

Pada akhirnya, Sani memutuskan kembali ke Tulehu setelah terus menuai kegagalan mencari klub profesional. Awalnya, ia hanya ingin rehat sejenak sebelum kembali ke Jakarta. Namun, saat tiba di Ambon, bukan penyegaran yang didapat, melainkan konflik pertikaian antar agama pada 1998. 

Menurut Sani, saat ia tiba, kerusuhan masih terpusat di Ambon, belum menjalar ke daerah-daerah lainnya di Maluku. "Waktu di Makassar tiba-tiba dapat kabar kalau Ambon sedang rusuh, jadi sebelum ke Tulehu saya dan penumpang lainnya sempat dievakuasi," kata Sani. 

Kerusuhan yang semakin membesar membuat Sani tertahan di Desa Tulehu dan belum bisa kembali ke Jakarta untuk mencari klub. Keadaan itu membuat dirinya mulai memutuskan untuk mencari tambahan uang demi keluarganya dengan menjadi pengedara ojek ataupun kerja serabutan.

"Saya dianggap gagal oleh warga-warga kampung, karena dua teman saya ke Italia, sementara saya harus balik ke kampung," ungkap Sani. Keadaan itu terkadang membuat dirinya merasa malu dan tidak ingin terlalu bergaul karena stigma yang menganggapnya sebagai perantau gagal.

3 dari 4 halaman

Titik Balik

Konflik di Ambon termasuk satu di antara sejarah kelam bangsa Indonesia. Konflik tersebut memakan ribuan korban jiwa, meludeskan harta benda, dan menggoreskan luka batin yang mendalam bagi masyarakatnya. Saat itu, satu-satunya yang sering didengungkan oleh masyarakat sekitar adalah "Perdamaian".

Sani mencoba mengambil hikmah dari konflik tersebut. Perdamaian pun diusung. Namun, bukan dengan cara pertemuan dan rapat-rapat besar, melainkan lewat sepak bola. Sani mencegah anak-anak muda di tempat tersebut terjerumus ke dalam konflik antarkelompok dengan cara mengajak mereka membentuk tim sepak bola.

"Kira-kira, pada 1999, saya mulai memutuskan untuk mengajari anak-anak bermain sepak bola, karena saya tidak ingin larut dalam kegagalan," kata Sani. Ilmu dan kerja kerasnya selama menimba ilmu di Jakarta ditularkan Sani dalam bentuk Sekolah Sepak Bola, Tulehu Putra.

Pada 2002, Tulehu Putra mendapat pengesahan dari Pemprov PSSI Maluku. SSB ini seakan menjadi titik balik kegagalan Sani menjadi pesepak bola menuju awal cita-cita barunya sebagai pelatih.

Namun sayang hingga kini sekolah sepak bola mencetak banyak pemain Timnas Indonesia itu kondisinya masih memprihatinkan. Pendanaan Putra Tulehu masih jauh dari cukup karena memang anak-anak itu berlatih secara gratis. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Dua tahun kemudian, kerja keras Sani membuahkan hasil. Ia mengantarkan SSB Putra Tulehu menjadi juara pada turnamen yang diadakan UNICEF di Lapangan Merdeka Ambon. "Pada turnamen itu, kami sapu bersih mulai dari gelar juara hingga pemain terbaik," unggap Sani.

Mulai dari Rizky Pellu hingga Ricky Akbar Ohorella lahir dari kompetisi yang diadakan untuk perdamaian Ambon tersebut. Beberapa pemain Tulehu Putra mendapat apresiasi dari legenda sepak bola nasional, Ronny Pattinasarani yang hadir langsung untuk mencari bakat-bakat baru.

Keberhasilan itu membuat Sani langsung dipercaya membesut tim Maluku U-15 untuk kejuaraan nasional Medco Foundation. Sani pun kembali menunjukkan tangan dinginnya dengan mengantarkan tim tersebut menjadi  juara. Deretan prestasi ini membuat sani mendapatkan apresiasi dari Kemenpora dengan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

"Jadi, waktu era Adhyaksa Dault (Menteri Pemuda dan Olahraga 2004-2009) itu ada program pelatih dan pemain berprestasi bisa menjadi PNS. Saya menjadi salah satunya yang diberikan kepercayaan tersebut," ucap Sani.

4 dari 4 halaman

Belum Berhenti...

Meski menuai kesuksesan, Sani belum berhenti. Ia tetap mencoba memberikan kontribusi terhadap perkembangan sepak bola Indonesia. Kini, hampir di setiap kelompok umur Timnas Indonesia terdapat talenta berbakat didikan Sani. Manahati Lestusen, Rifad Marasabessy, hingga Hamsah Lestaluhu, misalnya.

Bersama Tulehu Putra, Sani tetap mengusung cita-citanya setinggi langit. Ia ingin memperbaiki fasilitas-fasilitas sepak bola di Negeri Tulehu--sebutan masyarakat Tulehu. Mulai dari infrastuktur berupa lapangan tempat anak-anak berlatih hingga berbagai perangkat latihan, menurut Sani, masih jauh dari kata layak.

Menjadi pesepak bola merupakan cita-cita dari sebagian besar anak-anak di Desa Tulehu. Dengan bermain sepak bola mereka berharap bisa merubah kehidupan keluarga mereka yang sebagian besar masih kurang layak. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

"Tulehu putra ini saya tidak memungut biaya, karena saya sadar kehidupan di Tulehu masih jauh dari kata sejahtera.  Uang anak-anak lebih baik digunakan untuk keperluan sekolah daripada sepak bola," ujar Sani.

Berdasar keinginan besar Sani itulah, UC News, anak perusahaan Alibaba Grup, berupaya memfasilitasi anak-anak Tulehu untuk mengikuti Liga Remaja Tulehu. Nantinya, turnamen tersebut akan menyaring 11 pesepak bola muda terbaik yang akan mendapatkan pelatihan khusus di Jakarta.

Dari ke-11 anak itu, UC akan memilih satu anak yang akan mendapat kesempatan berlatih di Brazilian Soccer School Bekasi. Dari berbagai pelatihan inilah, warga Tulehu kiranya dapat berharap melihat anak-anak mereka menuai kesuksesan dalam olahraga indah bernama sepak bola, sama seperti saat Sehat Ohorella menyaksikan Sani Tawainella untuk kali pertama ingin merantau ke Jakarta. 

Baca artikel sebelumnya: 

Sepak Bola, Seruan Pulang Anak Rantau Negeri Tulehu

Video Populer

Foto Populer