Sukses


Kolom: Rilis Buku Damon Hill dan Komentarnya buat Rio Haryanto

Bola.com, Jakarta - Ketika pebalap Formula One (F1) pertama Indonesia, Rio Haryanto mesti menyudahi kiprahnya sementara akibat masalah pendanaan, reaksi simpati dari orang-orang terkenal via Twitter pun mengalir. Tak terkecuali dari Damon Hill, mantan pebalap F1 asal Inggris.

Tulus dan Mendalam 

Sosok sekaliber Damon Hill memberikan pernyataan bahwa Rio sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik serta berharap agar lekas-lekas bisa bergabung dengan tim F1 lain--yang tentu saja kita harapkan lebih baik daripada tim terdahulu. Apakah motivasinya? Bila pencitraan, rasanya jauh dari kemungkinan itu.

Ia adalah juara F1 tahun 1996, menjabat berbagai bidang keorganisasian mulai asosiasi pebalap Inggris sampai perkumpulan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, penyandang gelar OBE (Order of British Empire) pemberian Ratu Elizabeth II, berkarya sebagai komentator di stasiun televisi cabang olahraga, serta putra pebalap juara F1 duakali pula (mendiang Graham Hill OBE, juara F1 di 1962 dan 1968). Bahkan sampai saat ini, Damon Graham Devereux Hill tercatat sebagai satu-satunya putra dari juara F1 yang menjadi juara F1 pula.

Saya baru memaknai betapa dalamnya kalimat simpati yang diberikan bapak empat anak ini terhadap Rio Haryanto, saat promosi buku bertajuk "Watching the Wheels: My Autobiography" tengah gencar-gencarnya dilakukan di toko-toko buku di London dan via online, serta dirilis serentak pada 8 September. Rilis buku itu berjarak seminggu lebih dari ulang tahun Damon yang ke-56 (17 September 1960), dan bertepatan dengan peringatan ke-20 tahun suksesnya meraih gelar juara F1 (1996).

Diterbitkan Macmillan dalam kemasan hardcover setebal 320 halaman dengan label harga online 11 poundsterling atau lebih hemat 45 persen dibanding membeli langsung sebesar 20 poundsterling dan dalam kurs kita sekitar Rp 400.000. Autobiography ini mengungkap pentingnya seseorang memiliki kesejatian diri serta relasi antara anak dengan orang tua. Damon kehilangan sang ayah, Graham, saat masih berusia 15 tahun dalam petaka pesawat terbang.

Berkiprah kurang dari 10 tahun di F1 (1992-1999) dan pernah bergabung di empat tim (Brabham, Williams, Arrows, Jordan), Damon mengawali keikutsertaan di ajang balap jet darat pada 1991 sebagai test driver di tim Williams, selain turun balap di Formula3000.

Damon baru turun sebagai pebalap F1 bersama tim Brabham yang dahulu makmur namun saat ia datang hampir kolaps karena dililit masalah finansial. Perannya menggantikan pebalap Giovanna Amati (silakan memberikan salut, ia pebalap perempuan, sosok langka di dunia F1) yang gagal mendapatkan jet darat karena kekurangan sponsor pula.

Bila ditarik benang merahnya, cuitan Damon di media sosial atas kondisi Rio Haryanto adalah tulus adanya. Ia mengerti benar bagaimana rasanya bila berada di posisi Rio.

2 dari 3 halaman

Diincar Petaka

Dunia balap jet darat, juga lekat dengan maut. Dalam bab "Senna and Imola: The Perfect Storm" (halaman 212), Damon menggambarkan betapa kematian rekannya satu team di Williams, Ayrton Senna da Silva (1994) menjadi momentum pengingat bahwa petaka adalah hal tak terelakkan. Hal ini berdampak dalam bagi hidupnya kemudian, termasuk saat memberikan pandangan terhadap Josh, salah satu dari empat anaknya, yang ingin turun balap, di usia sama dengan saat Damon kehilangan ayahnya, 15 tahun.

Sang putra ia bawa menonton balap karting, dan ada kejadian peserta meregang nyawa. Ia tanyakan kembali apakah si anak mau, jawabnya tetap ya. Setelah bapak beranak itu pulang, sebuah berita via telepon memberitahukan, bahwa seorang teman Josh meninggal akibat jatuh dari tangga.

Di situlah Damon Hill menyatakan selalu ada risiko atas segala hal yang kita kerjakan. Termasuk kejadian atas mantan seterunya di sirkuit, juara F1 tujuh kali, Michael Schumacher. Sanggup bertahan terhadap petaka di trek, namun mengalami koma "hanya" sesederhana bermain ski es. Saat Josh akhirnya berhenti pada 2013 dari balap formula yang berjenjang ke F1, Damon tetap memberikan apresiasi atas pilihan akhir sang anak.

3 dari 3 halaman

Tak Menghindari Duka

Setelah menjadi juara dunia dan memutuskan berhenti balap sebelum usia 40 tahun tak membuat kehidupan Damon lebih sederhana. Dalam bab pendahuluan autobiography ini ia menulis: sulit memisahkan antara diri sendiri dan karier, dengan kondisi seorang anak yang bertahan atas kehilangan sang ayah.

"Mengasihani diri sendiri itu bagus, di saat dan kondisi yang tepat. Seberapa besar kau ingin berduka, berikan waktu, karena kita perlu memahami perasaan sendiri, tetapi tidak di depan publik," begitu diakuinya. Ada pihak atau seseorang yang bisa membantu agar kedukaan tadi bisa dilewati, namun tidak untuk dihindari.

Akhirnya Damon mengikuti terapi, dengan dukungan istri tercinta, Susan George atau akrab disapa Georgie. Dan keberanian menempatkan duka, mengakui kehilangan serta harapan untuk mengenali diri sendiri dengan lebih baik mengantarnya menulis autobiography ini. Sebuah buku yang menghadirkan wacana untuk mensyukuri diri sebagai pribadi nan unik, memaknai kebersamaan keluarga, sekaligus membawa kita bernostalgia pada masa keemasan F1 sebelum millenium kedua. Para pabalap muda pun bisa berkaca dari darinya, bahwa perjuangan menuju pentas balap jet darat tidaklah mudah atau selalu mulus tanpa kendala.

* Ukirsari adalah travel writer yang menuangkan beberapa kisah perjalanannya di National Geographic Traveler, menulis kolom F1 dan MotoGP untuk boladotcom, mantan editor sebuah tabloid sport automotive di Tanah Air dan saat ini bermukim di London.

Video Populer

Foto Populer