Sukses


    3 Warisan Wiel Coerver dan Medali Pertama Timnas Indonesia

    Bola.com, Jakarta - SEA Games 1979 yang digelar di Jakarta adalah sejarah bagi Timnas Indonesia setelah meraih medali pertama pada cabang sepak bola. Pada SEA Games edisi pertama 1977, tim sepak bola Indonesia hanya menempati peringkat keempat.

    Indonesia yang berstatus tuan rumah menantang Malaysia pada partai final tahun 1979. Di depan hampir 100 ribu penonton di Stadion Utama Senayan (sekarang SUGBK), Indonesia yang ditangani pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, kalah 0-1 lewat gol yang dicetak Mokhtar Dahari pada menit ke-21. Kemenangan itu membuat Malaysia mempertahankan medali emas.

    Hanya meraih medali perak memang mengecewakan, apalagi Indonesia punya kans memenangi pertandingan andai tidak terjadi gol yang berawal dari blunder pemain belakang. Namun, di balik kegagalan tersebut, ada perjuangan luar biasa dari tim yang disebut sebagai cikal bakal salah satu skuat terbaik Timnas Indonesia, yakni skuat Pra Piala Dunia 1986.

    Salah satu yang menarik dari episode Timnas Indonesia ini adalah sang pelatih, yang mendapat julukan sebagai Albert Einstein-nya sepak bola dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu objek eksperimen.

    Setelah membawa Feyenoord Rotterdam juara Piala UEFA 1974, Wiel Coerver menghadapi fakta yang berbeda ketika mulai berkutat dengan sepak bola Indonesia pada 1975. Pada waktu itu, PSSI di bawah Ketua Umum Bardosono, menunjuknya untuk mengarsiteki tim Garuda untuk persiapan menghadapi Olimpiade Montreal, Kanada 1976. 

    Setahun menangani Indonesia, Wiel Coerver kembali ke Belanda menangani Go Ahead Eagles. Ia kembali lagi ke Indonesia dan menangani PSSI Garuda untuk SEA Games 1979.

    Seleksi skuat SEA Games 1979 dimulai setelah Kejurnas PSSI Utama musim 1978-1979 yang berakhir pada Januari 1979. Sebanyak 100 pemain dari klub Perserikatan dan Galatama dikumpulkan Wiel Coerver. Akhirnya terpilih 30 pemain untuk pelatnas SEA Games edisi kedua yang diikuti Indonesia.

    “Proses dari mulai seleksi hingga Pelatnas sangat berat. Mungkin untuk era sekarang berbeda. Dulu kami menjalani karantina, tidak ada hiburan, dan latihan sehari tiga kali. Kami juga menjalani latihan fisik pada siang hari,” kata Dede kepada Bola.com, Senin (31/7/2017).

    Pemain menjalani pelatnas sejak Juli hingga September 1979. Indonesia menghadapi empat negara yang menjadi peserta cabang sepak bola, yakni Malaysia, Thailand, Burma (sekarang Myanmar), dan Singapura.

    Indonesia menghadapi Malaysia yang mengandalkan sederet bintang SEA Games 1977, seperti Jamal Nasir Ismail, Mokhtar Dahari, Hanis Devandran Abdullah, Soh Chin Aun, Santokh Singh, dan Shukor Saleh. Namun, bagi publik Malaysia pada waktu itu, Timnas Indonesia juga dianggap sebagai tim yang bertabur bintang.

    Perjalanan Timnas Indonesia di SEA Games 1979:

    Babak penyisihan grup:22 September 1979Indonesia Vs Singapura 3-023 September 1979Indonesia Vs Thailand 1-326 September 1979Indonesia Vs Malaysia 0-028 September 1979Indonesia Vs Myanmar 2-1

    Malaysia lolos ke final sebagai juara grup. Sementara Indonesia di posisi kedua harus menghadapi play-off melawan Thailand di posisi ketiga. Indonesia mengalahkan Thailand lewat adu penalti 3-1 (0-0) dan lolos ke final.

    Final 30 September 1979 di Stadion Utama SenayanIndonesia Vs Malaysia 0-1

    Skuat Timnas Indonesia:Haryanto, Simson Rumahpasal, Berti Tutuarima, Tinus Heipon, Wayan Diana, Ronny Pattinasarany, Dede Sulaiman, Rudy W. Keltjes, Risdianto, Rully Nere, Iswadi Idris, Poerwono, Ishak Liza, Rae BawaGhusnul Yakin, Djoko Malis

    Tim pelatih: Wiel Coerver, Sugih Hendarto, Harry Tjong

     

    2 dari 3 halaman

    Menjaga Tiga Warisan Meneer Wiel

    Berdasarkan penuturan para pemain yang dilatih, Wiel Coerver meninggalkan warisan yang masih relevan dan penting untuk diteladani pemain Timnas Indonesia era sekarang.

    1. Konsistensi berlatih dan kerja keras

    Wiel Coerver menciptakan metode Pyramid of Player Development yang mencakup penguasaan bola individu, kecepatan, dan permainan grup kecil, dan prosesnya lebih fokus pada setiap individu. Lalu, seperti apa penerapan metode latihan itu pada persiapan SEA Games 1979?

    Wiel Coerver menggunakan cara yang lebih simpel pada SEA Games 1979. Program latihan utama adalah fisik dan berlatih dengan menggunakan bola. Metode ini berbeda dengan era Anatoli Polosin pada SEA Games 1991, yang terkenal dengan nama shadow football, yakni berlatih tanpa bola untuk menguatkan insting bermain.

    “Wiel Coerver menggunakan cara yang simpel, kami selalu berlatih dengan bola, memaksimalkan kedua kaki, dan dengan tingkat frekuensi tinggi. Tapi, ia menjadikan kami memiliki karakter kuat, baik fisik maupun mental. Kunci utamanya adalah kerja keras," kata Dede Sulaiman.

    Mental dan karakter pemain Indonesia juga dibentuk oleh konsistensi dan keteguhan hati para pemain. Saat Pelatnas di Lembang, mereka tak mendapat fasilitas sekelas hotel, seperti yang dialami pemain timnas era sekarang. Bahkan, saat ada 30 pemain di pelatnas, beberapa di antara mereka tidur di garasi karena jumlah kamar tak cukup.

    Djoko Malis, yang menjadi striker pada waktu itu, mengatakan, Wiel Coerver tak pernah memaksa pemain Indonesia mengikuti keinginannya dalam suatu pertandingan.

    "Saat latihan kami harus detail mengikuti instruksinya, tapi kami justru diberi kebebasan berimprovisasi dalam pertandingan. Tapi memang, saat sesi latihan sangat disiplin, menuntut konsentrasi dan kekuatan fisik sehingga banyak yang tidak kuat," kata Djoko.

    2. Solidaritas dan profesionalisme

    Para pemain memeras keringat mengikuti metode latihan ala Wiel Coerver. Namun, para pemain menganggap sosok sang nakhoda sebagai seorang bapak yang mengasuh anak-anaknya secara total. Ia akan pasang badan untuk anak buahnya.

    Saat pertama menukangi Timnas Indonesia, Wiel Coerver memperjuangkan nasib para pemain di depan pengurus PSSI. Pada waktu itu, Coerver memiliki prinsip ia tak ingin penghasilannya lebih banyak dari pasukannya. Hal ini sempat mendapat kritik dari PSSI, karena dianggap mengutamakan uang ketimbang nasionalisme.

    Namun, para pemain justru menomorduakan materi. Bagi mereka, mengenakan seragam Garuda adalah sebuah kebanggaan dan tanggung jawab. "Semangat dan nasionalisme selalu didengungkan pemain pada waktu itu, baik saat latihan, di tempat tidur pemain, dan menjelang pertandingan," tegas Dede.

    "Dia (Wiel Coerver) juga tidak menutup mata dengan pemain debutan, di luar skuat yang sudah ia bentuk. Saya termasuk pemain debutan yang mendapat kesempatan untuk bersaing di tim utama SEA Games 1979," kenang Gusnul Yakin yang dituturkan kepada Bola.com

    3. Warisan ilmu

    Wiel Coerver juga menyisakan ilmunya kepada pelatih-pelatih lokal yang berpotensi membesut timnas, seperti Sinyo Aliandoe, Harry Tjong, hingga Bertje Matulapelwa. Saat berada di Indonesia, ia kerap mengadakan diskusi dengan pelatih lokal dengan tujuan mencetak lebih banyak pelatih sehingga Indonesia bisa memaksimalkan talenta pemain. 

    Wiel Coerver, sama seperti Luis Milla, juga menghadapi kendala bahasa ketika melatih Timnas Indonesia. Namun, pada waktu itu banyak pemain Indonesia yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Belanda, seperti Ronny Pattinasarany dan Rudy Keltjes. Intinya, para pemain juga harus aktif menambah kemampuan yang mendukung dalam proses latihan.

    Anjas Asmara, legenda Timnas Indonesia, menyebut Wiel Coerver sebagai salah satu pelatih terbaik yang pernah menangani Indonesia dan memiliki keinginan untuk mengajarkan sepak bola yang baik kepada anak-anak asuhnya.

    "Saya ingat Wiel Coerver. Dia pelatih hebat karena mau mengajarkan semua teknik sepak bola yang dia ketahui. Ia mau mengajar semua teknik itu agar para pemain sepak bola yang dilatihnya bisa bermain dengan maksimal sampai ke batas potensi mereka," ujar Anjas kepada Bola.com.

    3 dari 3 halaman

    Djoko Malis Menulis: Tangis di Senayan Setelah Kalah dari Malaysia

    "Seleksi Timnas Indonesia di SEA Games 1979 cukup panjang dan ketat. Bisa dibilang sangat melelahkan dan menjenuhkan. Karena itu, banyak yang tidak kuat dan memilih kabur dari Pelatnas. Ini karena kami tidak bisa kemana-kemana, tidak ada hiburan apa pun. Hanya latihan dan latihan setiap hari."

    "Banyak kenangan yang saya ingat. Suka dan duka kami jalani bersama. Tapi yang paling kami ingat ketika berlatih di Lembang, Jawa Barat. Di sana tempat kami di karantina sangat sepi. Jauh dari mana-mana, hanya bisa menikmati suasana pegunungan yang sejuk dan indah. Namun, kami kerap dilanda kebosanan karena tidak bisa keluar. Rutinitas kami sehari-hari hanya latihan dan latihan."

    Pelatih Wiel Coerver mengutamakan pemain yang punya karakter kuat, dan mempunyai kualitas individu di atas rata-rata, serta mengutamakan kerja sama tim."

    "Kebiasaan Meneer Wiel dalam melatih hanya memberikan skema permainan tanpa mengharuskan bermain dengan caranya. Ia memberikan kebebasan pada pemain untuk berkreasi dan berimprovisasi sendiri, asal pemain bisa menikmati permainan."

    "SEA Games 1979 adalah perang bintang. Meski hanya lima negara, rivalitas sangat ketat karena semua negara peserta memiliki tradisi dan kultur sepak bola yang kuat."

    "Tidak mudah bagi sebuah tim bisa memenangi pertandingan karena semua negara memiliki tim kuat yang dihuni bintang-bintangnya pada era itu. Rivalitasnya hampir sama dengan sekarang, sangat ketat dan suasananya serta atmosfernya sangat panas setiap kali bertemu."

    "Malaysia punya tim yang kuat dan pemain yang hebat. Begitu pun Indonesia. Jadi bisa dibilang perang bintang saat final.

    "Suasana final di Senayan benar-benar luar biasa. Penonton ramai dan berjubel. Saya merinding melihat begitu banyak orang yang datang dan memberikan dukungan pada kami. Momen yang paling saya ingat tentu gol yang dicetak pemain Malaysia saat itu, saya lupa namanya."

    "Kami tak kuasa menahan sedih, tangis pun pecah karena kami tak percaya kalah dari Malaysia."

    Djoko Malis, Surabaya, 28 Juli 2017

     

     

    Video Populer

    Foto Populer