Dari 50 Orang Terkaya di Indonesia, Negasa Bisa Mendulang Rp81,56 Triliun Per Tahun

Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan potensi pendapatan negara sangat besar dari pajak orang super kaya.

BolaCom | Yus Mei SawitriDiperbarui 12 Agustus 2025, 19:35 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Bola.com, Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan potensi pendapatan negara sangat besar dari pajak orang super kaya.

Menurut Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, pemerintah cukup memungut pajak 2 persen dari total aset 50 orang terkaya di Indonesia, maka negara berpotensi memperoleh pendapatan hingga Rp81,56 triliun per tahun.

Advertisement

Padahal ada hampir 2.000 orang super kaya di Indonesia, sehingga potensi penerimaan bisa jauh lebih besar

"Kami mengestimasi 2 persen pajak kekayaan dari aset orang super kaya di Indonesia selama 1 tahun dengan hanya memajaki 50 orang saja, itu sudah mencapai jumlahnya sekitar Rp81 triliun," kata Media Wahyudi Askar, dalam Launching Riset Celios 'Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang', di Kantor Celios Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

 


Alasan Segera Berlakukan Pajak Kekayaan

Ilustrasi pajak. (Photo by 8photo on Freepik)

Sebanyak 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rata-rata kekayaannya mencapai Rp159 triliun. Potensi pajak kekayaan sesungguhnya akan lebih besar.

Selain itu, fungsi pajak orang kaya bukan hanya sebagai sumber penerimaan negara semata, tetapi juga manifestasi keadilan sosial yang membatasi dominasi segelintir di lapangan ekonomi.

Potret ketimpangan ekstrem yang semakin memperkecil peluang distribusi ekonomi menjadi alasan realistis untuk segera memberlakukan pajak kekayaan. 

"Prinsipnya, pajak kekayaan tidak ditujukan untuk memajaki produktivitas individu melainkan memitigasi konsentrasi kekayaan secara tak terkendali," ujarnya.

 


Pajak Kekayaan Progresif

Selama ini, Indonesia belum menerapkan pajak kekayaan secara progresif. Pajak atas aset kekayaan memang secara terbatas telah diterapkapkan melalui pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak atas barang mewah (PPnBM), dan PPh final atas deviden.

Namun, serangkaian pajak eksisting tersebut belum efektif menyasar keseluruhan aset bersih yang dimiliki individu. Administrasi perpajakan masih memiliki keterbatasan kapasitas dalam mengoptimalkan analisis forensik dan audit aktual untuk mengungkap kekayaan yang sebenarnya.

Selain itu, lemahnya dorongan untuk mengadopsi pajak kekayaan juga ditengarai oleh besarnya resistansi dari elite ekonomi yang menjadi aktor kunci stabilitas pasar dan investasi.

 


Pajak Karbon

Selain itu, pemerintah perlu memaksimalkan pajak karbon. Menurut perhitungan Celios, potensi pajak karbon dalam jangka dekat dengan tarif pajak moderat USD5/tCO2e akan menambah penerimaan negara sebesar Rp76,36 triliun.

Pendapatan ini dapat digunakan untuk membiayai adaptasi perubahan iklim, memperkuat energi terbarukan, dan mendukung kelompok rentan yang terdampak transisi energi.

"Jadi, daripada memajaki karyawan kecil begitu ya, mendorong pajak dari adanya polusi, adanya aktivitas ekstraktif yang merusak lingkungan, itu sebetulnya juga sangat-sangat kuat potensinya ke depan," pungkasnya. 

Sumber: Merdeka.com