Bola.com, Jakarta - Di tengah arus modernisasi dan kemajuan teknologi yang kian pesat, Nepal tetap mempertahankan satu di antara tradisi kunonya yang unik: mengangkat seorang balita perempuan menjadi "dewi hidup" atau Kumari.
Tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad ini menuntut anak-anak berusia dua hingga empat tahun untuk tinggal di kuil hingga mereka menginjak masa pubertas.
Satu di antara yang baru-baru ini menjalani prosesi tersebut adalah Aryantara Shakya, bocah perempuan berusia dua tahun yang kini resmi menjadi Kumari baru di Kathmandu.
Ayahnya, Ananta Shakya, harus merelakan sang putri menjalani kehidupan suci di dalam kuil, jauh dari kehidupan biasa anak-anak seusianya.
"Kemarin dia masih putri saya, tapi hari ini dia sudah menjadi seorang dewi," ujar Ananta Shakya dengan nada haru, seperti dikutip The Week, Senin (6-10-2025).
Ia menambahkan bahwa istrinya sempat bermimpi menjadi dewi saat mengandung Aryantara, dan keluarga mereka percaya mimpi itu adalah pertanda.
"Kami yakin anak kami memang terlahir istimewa," ujarnya kepada Associated Press.
Tradisi Kumari yang Sarat Makna Spiritual
Tradisi Kumari telah hidup di tengah masyarakat Nepal selama lebih dari 300 tahun, terutama di kalangan umat Hindu dan Buddha.
Sosok Kumari dianggap sebagai perwujudan dewi kehidupan, dan pemilihannya dilakukan dengan kriteria yang sangat ketat.
Hanya gadis kecil dari klan Shakya, bagian dari komunitas Buddha Newar, yang berhak mengikuti seleksi.
Calon Kumari biasanya berusia antara dua hingga empat tahun dan harus memiliki kondisi fisik sempurna: kulit bersih tanpa cacat, gigi lengkap, serta rambut dan mata yang sehat.
Setelah terpilih, sang Kumari akan diarak keliling kota dalam prosesi keagamaan, mengenakan busana merah mencolok dengan "mata ketiga" dilukis di dahinya.
Ia kemudian tinggal di Kumari Ghar, istana khusus untuk dewi hidup, dan hampir tak pernah keluar, bahkan kakinya tidak diperbolehkan menyentuh tanah.
Gelar "dewi hidup" hanya bertahan hingga sang anak mengalami menstruasi pertama. Saat itu, ia akan dianggap kembali menjadi manusia biasa dan digantikan oleh Kumari yang baru.
Kehidupan Sunyi di Balik Kemuliaan
Kehidupan di dalam kuil mungkin terlihat penuh penghormatan, tetapi sesungguhnya menyimpan kesunyian.
Mantan Kumari, Preeti Shakya, yang pernah menjalani kehidupan suci itu selama delapan tahun, mengaku masa kecilnya jauh berbeda dari anak-anak lain.
Ia hanya diperbolehkan bertemu keluarganya sekali seminggu, dan satu-satunya teman yang ia miliki adalah keluarga penjaga kuil.
"Saya sering melihat gaun-gaun modern di televisi dan sangat ingin memakainya," kenangnya.
Selama menjabat sebagai Kumari, Preeti pernah memberkati Raja Nepal sebanyak tujuh kali dan sekali untuk perdana menteri. Ia mengatakan banyak orang merasa mendapat energi positif ketika berada di dekatnya.
"Mereka bilang merasakan semacam api, energi hangat di sekitar saya. Tapi, saya sendiri tidak merasakan apa pun," tuturnya.
Kritik dan Tantangan setelah Turun Takhta
Kendati dianggap sakral, tradisi Kumari tak luput dari kritik, terutama terkait hak-hak anak. Setelah keluar dari kuil, para mantan Kumari sering kesulitan beradaptasi dengan kehidupan normal.
Rashmila Shakya, mantan Kumari yang menulis memoar berjudul "From Goddess to Mortal" pada 1990-an, menggambarkan betapa sulitnya menyesuaikan diri dengan masyarakat setelah bertahun-tahun hidup terisolasi.
Ia juga menyoroti kurangnya akses pendidikan bagi anak-anak Kumari di masa lalu.
Menanggapi hal ini, pemerintah Nepal kini mewajibkan pendidikan bagi Kumari yang masih aktif dan memberikan tunjangan bulanan sekitar 165 dolar AS kepada mantan Kumari, sedikit di atas upah minimum nasional.
Namun, stigma terhadap mereka belum sepenuhnya hilang. The Guardian pernah melaporkan pada 2001 bahwa sebagian masyarakat percaya, laki-laki yang menikahi mantan Kumari akan mengalami kematian dini.
"Seorang Kumari harus mengorbankan masa kecilnya. Hak-haknya sebagai anak sering terabaikan karena statusnya sebagai dewi," kata Sapana Pradhan-Malla, pengacara hak asasi manusia di Nepal.
Langkah Menuju Perubahan
Tekanan dari kalangan pemerhati hak anak membuat pemerintah Nepal akhirnya menandatangani Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak yang berkaitan dengan tradisi Kumari.
Bagi Preeti Shakya, yang kini aktif menyuarakan pentingnya perlindungan anak, perubahan ini adalah langkah maju.
"Tidak ada yang boleh mengeksploitasi anak-anak dengan alasan budaya," tegasnya.
Meski pro dan kontra masih terus mengiringi, tradisi Kumari tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya Nepal, sebuah cerminan antara pengabdian spiritual dan dilema modernitas yang tak mudah diselaraskan.