Pemprov DKI Pastikan Tarif MRT-LRT Tak Naik, meski Ada Efisiensi Subsidi

Pemprov DKI Jakarta belum akan memberlakukan kenaikan tarif MRT-LRT di tengah efisiensi anggaran. Bagaimana dengan Transjakarta?

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 10 Oktober 2025, 10:20 WIB
Penumpang menaiki moda transportasi MRT di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Sabtu (18/2/2023). Direktur Jenderal Perkeretaapian resmi menetapkan MRT Jakarta sebagai Objek Vital Transportasi Bidang Perkeretaapian. Hal itu tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Perkeretaapian Nomor KP-DJKA 38 Tahun 2023 tanggal 10 Februari 2023. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bola.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menegaskan tidak akan menaikkan tarif Moda Raya Terpadu (MRT) maupun Lintas Raya Terpadu (LRT), meski alokasi subsidi transportasi publik sedang dikaji ulang.

Langkah ini menjadi komitmen Pemprov untuk menjaga keterjangkauan transportasi umum bagi masyarakat di tengah efisiensi anggaran akibat pemangkasan dana transfer pusat ke daerah.

Advertisement

Kepastian tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, dalam kegiatan Media Fellowship Program MRT Jakarta 2025 di Jakarta, Kamis (9-10-2025).

Ia menuturkan, keputusan mempertahankan tarif saat ini didasarkan pada hasil kajian komprehensif terhadap dua aspek utama, yakni 'willingness to pay' (kesediaan membayar) dan 'ability to pay' (kemampuan membayar) masyarakat Jakarta.

"Hasil kajian menunjukkan bahwa tarif yang berlaku saat ini masih dalam batas wajar dan bisa diterima masyarakat," ujar Syafrin.

Dengan hasil itu, pemerintah memastikan tarif MRT tetap Rp7.000 per perjalanan, meski biaya keekonomian per penumpang mencapai sekitar Rp13.000.

Selisih sekitar Rp6.000 tersebut tetap akan ditanggung pemerintah melalui skema subsidi transportasi publik yang sudah disiapkan sebelumnya.


Subsidi Jadi Penopang

Penumpang menunggu kedatangan kereta LRT Jabodebek di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Selasa (30/1/2024). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Syafrin menjelaskan, Pemprov DKI telah melakukan analisis mendalam untuk menyeimbangkan antara biaya operasional dan daya beli masyarakat. Skema subsidi menjadi alat penting agar tarif tetap stabil tanpa membebani warga.

"Kajian willingness to pay dan ability to pay menjadi dasar utama kami untuk memastikan masyarakat tidak menanggung beban tambahan," katanya.

Kebijakan ini juga menegaskan konsistensi Pemprov DKI dalam menjaga aksesibilitas transportasi publik lintas lapisan masyarakat, sekaligus mempertahankan daya saing moda transportasi massal agar tetap menjadi pilihan utama warga kota.


Transjakarta Berpotensi Disesuaikan

Bus Transjakarta berhenti di Halte Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Kamis (18/8/2022). PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) kembali mengoperasikan Halte Gelora Bung Karno (GBK) setelah rampung direvitalisasi. Halte GBK efektif melayani pelanggan bertepatan di HUT Ke-77 RI pada Rabu, 17 Agustus 2022 kemarin. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Meski tarif MRT dan LRT belum akan berubah, kondisi berbeda terjadi pada Transjakarta.

Menurut Syafrin, tarif Transjakarta sebesar Rp3.500 belum pernah disesuaikan sejak tahun 2005, padahal dalam 20 tahun terakhir Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI naik enam kali lipat, dan inflasi kumulatif mencapai 186,7 persen.

Selain itu, tingkat cost recovery, yakni perbandingan antara pendapatan dari tarif dan total biaya operasional, juga menunjukkan tren penurunan tajam.

"Cost recovery Transjakarta turun dari 34 persen pada 2015 menjadi hanya 14 persen sekarang. Artinya, biaya yang ditanggung pemerintah semakin besar," jelasnya.

Ia menambahkan, kajian penyesuaian tarif Transjakarta masih berlangsung. Tujuannya bukan untuk membebani penumpang, melainkan untuk memastikan keberlanjutan layanan dan menjaga kualitas transportasi tetap optimal.


Strategi MRT Jakarta

Stasiun MRT Setiabudi (foto: akun twitter @mrtjakarta)

Sementara itu, Direktur Utama PT MRT Jakarta, Tuhiyat, mengungkapkan bahwa biaya keekonomian untuk rute Bundaran HI–Lebak Bulus sebenarnya mencapai Rp32.000 per penumpang.

Namun, tarif yang dibayar pengguna tetap Rp14.000, dengan selisih Rp18.000 ditutup melalui skema subsidi Public Service Obligation (PSO).

Untuk menjaga kesehatan keuangan perusahaan, MRT Jakarta kini aktif mengembangkan sumber pendapatan non-farebox, atau pendapatan di luar tarif tiket.

"Agar perusahaan tetap berkelanjutan, kami kembangkan pendapatan dari non-farebox," ujar Tuhiyat.

Pendapatan tambahan ini diperoleh dari penamaan stasiun (naming rights), penyewaan ruang komersial dan ritel, serta aktivitas media dan digital.

Strategi ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada subsidi pemerintah sekaligus memperkuat model bisnis MRT Jakarta di masa depan.


Efisiensi Anggaran, tanpa Bebani Warga

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, di Balai Kota Jakarta. (Foto: Liputan6.com/Winda Nelfira).

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan bahwa pemerintah provinsi akan meninjau kembali skema subsidi transportasi umum sebagai bagian dari langkah efisiensi menyusul penurunan dana transfer pusat, termasuk dana bagi hasil (DBH).

Pemangkasan tersebut menyebabkan proyeksi APBD DKI 2025 turun dari Rp95,35 triliun menjadi Rp79,03 triliun. Meski demikian, Pramono memastikan evaluasi itu tidak akan serta-merta berujung pada kenaikan tarif transportasi publik.

"Subsidi transportasi kami saat ini sudah hampir Rp15.000 per orang. Jadi, kajian efisiensi tidak otomatis berarti tarif naik," tegasnya.

 

Sumber: merdeka.com

Berita Terkait