Bola.com, Jakarta - Harga minyak dunia terpantau melemah pada perdagangan Kamis waktu setempat atau Jumat (10-10-2024) pagi waktu Indonesia.
Pelemahan ini terjadi setelah Israel dan kelompok militan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza, yang memicu optimisme meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Mengutip CNBC, harga minyak mentah Brent turun 1,03 atau dolar AS 1,55 persen menjadi 65,22 dolar AS per barel.
Sementara itu, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat melemah 1,04 dolar AS atau 1,66 persen, ditutup di level 61,51 dolar AS per barel.
Perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada Kamis itu mencakup penghentian serangan, penarikan sebagian pasukan Israel dari Gaza, serta pembebasan seluruh sandera yang ditahan Hamas. Sebagai gantinya, Israel akan melepaskan ratusan tahanan Palestina.
Inisiatif Diplomatik
Langkah tersebut menjadi bagian dari inisiatif diplomatik yang didorong oleh Presiden AS, Donald Trump, untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung berbulan-bulan di wilayah tersebut.
"Harga minyak berjangka kini bergerak dalam fase korektif karena pasar melihat konflik Israel–Hamas tampaknya akan segera berakhir," kata Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Perdagangan BOK Financial.
Pandangan senada disampaikan Kepala Ekonom Rystad Energy, Claudio Galimberti, yang menilai kesepakatan damai ini dapat membawa dampak luas bagi pasar energi global.
"Ini pencapaian signifikan dalam dinamika geopolitik Timur Tengah. Jika situasi stabil, kemungkinan serangan kelompok Houthi di Laut Merah bisa berkurang, dan peluang untuk melanjutkan kesepakatan nuklir dengan Iran juga terbuka," ujarnya.
Langkah OPEC+
Di sisi lain, negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC+ telah menyepakati peningkatan produksi mulai November mendatang.
Kenaikan produksi ini memang lebih kecil dari ekspektasi pasar, tetapi diharapkan dapat meredakan kekhawatiran akan potensi kelebihan pasokan minyak di pasar global.
Sebelumnya, harga minyak sempat naik sekitar satu persen pada Rabu (8-10-2025) dan menyentuh level tertinggi dalam sepekan.
Kenaikan tersebut dipicu oleh pandangan investor bahwa kebuntuan dalam perundingan damai Ukraina menandakan sanksi terhadap Rusia, eksportir minyak terbesar kedua dunia, kemungkinan akan bertahan lebih lama.
Kebijakan AS dan Dampak Ekonomi
Sementara itu, politik dalam negeri Amerika Serikat turut memengaruhi sentimen pasar.
Rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan Partai Republik untuk mendanai pemerintahan AS dan mengakhiri shutdown belum mendapatkan dukungan suara yang cukup di Senat.
Penutupan pemerintah yang berkepanjangan dikhawatirkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi AS dan menekan permintaan minyak secara keseluruhan.
Gubernur Federal Reserve, Michael Barr, menegaskan bahwa bank sentral perlu berhati-hati dalam menurunkan suku bunga lebih lanjut.
"Penurunan suku bunga memang dapat mendorong permintaan energi, tapi langkah ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan risiko inflasi baru," katanya.
Dinamika Perdagangan Global
Dari India, Perdana Menteri Narendra Modi mengonfirmasi telah melakukan pembicaraan dengan Presiden Trump mengenai perkembangan negosiasi perdagangan kedua negara.
"Kami meninjau kemajuan yang cukup baik dan sepakat untuk melanjutkan komunikasi dalam beberapa minggu ke depan," ujarnya.
Hubungan dagang kedua negara sempat menegang setelah AS memberlakukan tarif tinggi terhadap ekspor India, mencapai 25 persen, tertinggi di antara mitra dagang utama Washington.
Selain itu, pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi terhadap lebih dari 100 individu, perusahaan, dan kapal, termasuk kilang independen China yang terlibat dalam perdagangan minyak dan petrokimia Iran.
Sumber: merdeka.com