Greenpeace Indonesia Ungkap Penyebab Banjir dan Longsor Parah di Sumatra

Greenpeace Indonesia mengungkapkan beberapa penyebab bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.

BolaCom | Yus Mei SawitriDiterbitkan 02 Desember 2025, 07:20 WIB
Data Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD Padang, Kecamatan Koto Tangah menjadi wilayah dengan jumlah terdampak terbesar, yaitu 20.983 warga. Tampak dalam foto, warga bertahan di tepi sungai saat banjir melanda Padang, Provinsi Sumatra Barat, pada Kamis 27 November 2025. (REZAN SOLEH/AFP)

Bola.com, Jakarta - Greenpeace Indonesia mengungkapkan beberapa penyebab bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.

Menurut Greenpeace Indonesia, bencana banjir dan tanah longsor tersebut tidak hanya disebabkan oleh siklon tropis, tetapi juga dipicu oleh penurunan daya dukung dan kapasitas lingkungan yang semakin memburuk.

Advertisement

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menyatakan aktivitas ekonomi ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) menjadi faktor utama yang mengurangi kemampuan ekosistem dalam menahan aliran air hujan.

"Dua komoditas ini yang lebih parah secara luas-luasannya, kemudian juga monokultur. Nah, sementara tambang, misalnya yang di Batang Toru, kan ada satu tambang. Dia kecil, enggak terlalu luas," ujarnya, Senin (1/12/2025). 

Secara khusus, di kawasan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Greenpeace mencatat sekitar 94 ribu hektare lahan yang sebagian besar digunakan untuk industri ekstraktif kelapa sawit, di mana 28 persen dari lahan tersebut juga merupakan hutan tanaman industri.

"Yang luas itu apa? HPH sekarang (disebut) PBPH, logging concession bahasanya, dan hutan tanaman industri serta perkebunan sawit," tambahnya.

 


Alih Fungsi Ekosistem Signifikan

Diketahui, jembatan itu putus saat banjir deras melanda wilayah itu pada Rabu (26/11/2025), akibat hujan lebat yang terjadi dalam sepekan terakhir. Tampak foto udara menunjukkan jembatan yang rusak akibat banjir bandang di jalan utama yang menghubungkan Aceh dan Sumatera Utara di Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, pada Jumat 28 November 2025. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Sementara itu, Melva Harahap yang menjabat sebagai Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkapkan bahwa di tiga provinsi, yaitu Sumatra Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, telah terjadi alih fungsi ekosistem secara signifikan.

Ia menjelaskan meskipun anomali cuaca dan siklon tropis adalah hal yang biasa, dalam dekade terakhir, ketiga provinsi tersebut sering mengalami banjir, tetapi dampaknya kali ini jauh lebih parah dibanding sebelumnya.

Melva menambahkan aktivitas ekonomi yang bersifat eksploitasi, terutama yang dilakukan oleh perusahaan dengan izin konsesi besar, telah memperburuk kondisi lingkungan di daerah tersebut. Hutan yang seharusnya berfungsi untuk menampung dan menyerap air hujan kini tidak lagi berfungsi secara optimal akibat perubahan ekosistem yang terjadi secara masif.

 

 


Dorong Pemerintah Bersikap

Satu gajah sumatera ditemukan mati di antara timbunan kayu dan lumpur pasca banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Tampak dalam foto, orang-orang berjalan di dekat bangkai gajah Sumatra yang terkubur lumpur di daerah terdampak banjir di Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, pada 30 November 2025. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Hal ini menyebabkan air hujan yang turun mengalir tanpa hambatan, membawa sedimen dan material lainnya, sehingga memicu terjadinya banjir dan longsor seperti yang terjadi saat ini.

"Tapi enggak pernah tuh dampaknya sampai sedemikian rupa hari ini. Ketika siklus bumi hujan muncul, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya enggak ada, ya banjirlah kemudian yang kita tuai hari ini. Banjir dan longsor," ungkapnya.

Walhi pun mendorong pemerintah untuk melakukan review terhadap perusahaan-perusahaan ekstraktif yang beroperasi di wilayah yang terdampak, agar kejadian serupa dapat diminimalkan di masa mendatang.

"Kedua, memulihkan kembali ekosistem yang ada. Setelah di-review izinnya, maka kita harus mengembalikan, memulihkan ekosistemnya," tutupnya. 

Berita Terkait