Sukses


5 Pesepak Bola Benua Afrika Paling Berpengaruh di Indonesia

Bola.com, Jakarta - Banyak pesepak bola asing yang beredar di Indonesia sejak kompetisi Galatama, Liga Indonesia, hingga Indonesia Super League (ISL).

Setelah Galatama dan Perserikatan melebur menjadi Liga Indonesia 1994, pemain-pemain Benua Hitam Afrika berdatangan ke Indonesia. Bola.com mencatat ada sejumlah pemain punya pengaruh besar di dunia persepak bolaan Tanah Air.

Mereka sukses mempersembahkan prestasi buat di klub yang dibelanya, meraih gelar pribadi menegaskan kehabatannya, atau kehadirannya meninggalkan kesan yang mendalam bagi pencandu sepak bola nasional.

Berikut ini lima pemain asal Afrika yang berpengaruh di Indonesia pilihan kami:

1. Roger Milla (Kamerun)

Striker haus gol kelahiran kelahiran 20 Mei 1952 memulai karier di klub Liga Utama Kamerun, Eclair de Douala pada 1965. Selanjutnya, ia malang melintang di beberapa klub Ligue 1 termasuk AS Monaco dan Saint Etienne.

Karier Roger Milla di tim nasional Kamerun dimulai pada 1978. Empat tahun berselang ia dipanggil untuk Piala Dunia 1982. Roger Milla baru dikenal publik sepak bola dunia ketika membela Kamerun pada Piala Dunia 1990.

Ia membawa Kamerun menembus perempat final. Tim Singa Afrika sempat memecundangi juara bertahan Argentina di babak penyisihan.

Walaupun usianya sudah menginjak 38 tahun, Milla menjadi sosok predator di lini depan Kamerun saat berlaga di turnamen terbesar sejagat yang kala itu digelar di Italia. Ia mampu menciptakan empat gol, hanya selisih dua gol saja dari top scorer turnamen, Salvatore Schillaci. Yang menarik, Milla mempopulerkan selebrasi berjoget pinggul di area tendangan sudut usai mencetak gol.

Striker asal Kamerun, Roger Milla bisa dikatakan merupakan salah satu pesepak bola terbaik asal benua Afrika. Mantan pemain klub asal Indonesia, Pelita Jaya itu baru pensiun saat berusia 42 tahun. (AFP Photo)

Daya magis Roger Milla belum habis pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Saat itu, usianya sudah 42 tahun. Ia memegang rekor sebagai pemain tertua dan pencetak gol tertua sepanjang sejarah Piala Dunia. Milla berhasil mencetak satu-satunya gol Kamerun saat dikalahkan Rusia 1-6 di penyisihan grup Piala Dunia 1994.

Setelah membela Kamerun di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, Milla bermain di Liga Indonesia dengan bergabung membela Pelita Jaya. Transfer Milla ke Tanah Air cukup menghebohkan dan ia berstatus sebagai pemain termahal. Di Pelita Jaya, Milla berkolaborasi dengan kompatriotnya, Maboang Kessack dan pemain asal Montenegro, Miodrag Bazovic. Milla hanya bermain satu musim di Pelita Jaya pada 1994-1995. Ia berhasil menciptakan 13 gol dari 23 pertandingan.

Tahun 1996, Milla berlabuh di Putra Samarinda. Saat membela Putra Samarinda, Milla berhasil menciptakan 18 gol dari 12 pertandingan. Setelah pensiun sebagai pemain, sosok Milla tetap berkontribusi terhadap sepak bola Indonesia, Ia pernah menjadi duta untuk menyukseskan upaya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Sayang usahanya gagal, sehingga Jepang dan Korea Selatan ditetapkan FIFA menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002.

Seolah sudah melupakan Indonesia, Milla mengungkapkan pertanyaan kontroversial soal laga persahabatan saat Indonesia dikalahkan Kamerun 0-1, di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo pada 25 Maret 2015. Ia menyebut laga itu tidak berguna dan merendahkan martabat tim nasional Kamerun. Selain itu, ia menuding ada bisnis terselubung di balik kesepakatan Federasi Sepak Bola Kamerun (FECAFOOT) selaku pihak yang menyepakati laga tersebut.

2. Olinga Atangana (Kamerun)

Pemain kelahiran 18 November 1971 pertama kali datang ke Indonesia membela klub Bandung Raya di Liga Indonesia 1994. Selama tiga musim membela Bandung Raya, ia menorehkan banyak prestasi.

Pada musim pertamanya, Olinga berhasil membawa Bandung Raya masuk babak 8 besar Liga Indonesia 1994-1995. Sayang, langkah Bandung Raya terhenti setelah hanya menempati peringkat ketiga di bawah PKT Bontang dan Barito Putera.

Selanjutnya, Olinga Atangana mengantarkan Bandung Raya juarai Liga Indonesia musim 1995-1996. Ketika itu, Bandung Raya berhasil mengalahkan PSM Makssar dnegan skor 2-0 di laga final berkat gol Peri Sandria dan Rafni Kotari.

Olinga Atangana (Atas kedua dari kanan) ketika memperkuat Bandung Raya. (Istimewa)

Pada Liga Indonesia musim 1996 dan 1997, Bandung Raya kembali mencapai partai Final. Sayang, Bandung Raya tidak mampu mempertahankan gelar setelah dikalahkan Persebaya Surabaya 1-3. Laga tersebut merupakan final terakhir Bandung Raya yang akhirnya bubar dan tidak mengikuti kompetisi musim berikutnya. 

Bandung Raya dan Olinga Atangana terkenal sebagai bek tengah tanggung yang susah untuk dilewati pemain depan lawan-lawannya. Ia menjadi rebutan klub-klub papan atas Liga Indonesia ketika itu, karena cepat beradaptasi dan fasih dalam bahasa Indonesia.

Akhirnya, Persija Jakarta yang beruntung mendapatkan Olinga Atangana. Bersama duetnya di jantung pertahanan Bandung Raya, Nur Alim, ia kembali menorehkan prestasi gemilang dengan mengantarkan Tim Macan Kemayoran menjadi juara Liga Indonesia pada tahun 2001. Tahun 2003, ia kembali kolaborasi dengan Nuralim di Pelita KS. 

2 dari 3 halaman

Berikutnya

3. Vata Matanu Garcia (Angola)

Perpaduan Afrika dan Eropa. Begitulah sosok Vata Matanu Garcia. Striker asal Angola memulai karier profesional dengan membela klub papan atas Liga Utama Angola, Progresso FC pada tahun 1980. Setelah itu, ia berkelana di sejumlah klub di Protugal, salah satunya Benfica pada 1988 hingga 1991.

Vata Matanu membawa Benfica menjadi juara Liga Portugal pada musim 1988-1989 dan 1990-1991. Selain itu, ia juga mengantarkan The Eagles menjadi juara Piala Super Portugal pada tahun 1989. Namun, ia gagal membawa Benfica menjadi juara Liga Champions musim 1989-1990. Ketika itu, Benfica menyerah 0-1 di tangan AC Milan dalam laga final.

Selanjutnya, pesepak bola kelahiran Damba, 19 Maret 1961 itu, melalang buana ke sejumlah klub divisi dua Liga Portugal. Pada tahun 1996, ia mencoba peruntungan bermain di Indonesia membela Gelora Dewata Bali dalam kompetisi Liga Indonesia.

Ketika itu, Vata Matanu bersama Misnadi Amrizal bekerja sama sebagai duet Gelora Dewata di lini depan. Pengalamannya yang pernah meraih sukses bersama Benfica membuat Vata Matanu diberi kepercayaan sebagai ban kapten dan bebas bermain di berbagai posisi.

vata matanu Garcia, sebelum berkiprah di Gelora Dewata sempat berkostum klub elite Portugal, Benfica. (Primeirojangola)

Vata kerap diberi kepercayaan sang pelatih untuk bermain di posisi striker, sayap, dan striker kedua di belakang striker utama. Vata Matanu menjawab kepercayaan dan mencetak 21 gol di Liga Indonesia 1994-1995. Ia membawa Gelora Dewata finis di posisi kelima klasemen wilayah timur.

Walau gagal membawa Gelora Dewata masuk ke babak 8 besar ketika itu, debutnya mendapat pujian dari berbagai pihak, tak kecuali legenda Kamerun yang bermain di Indonesia, Roger Milla. Performa gemilang bersama Gelora Dewata membuat Vata Matanu masuk dalam striker utama Indonesia All-Stars vs Lazio pada tahun 1996.

Pada musim keduanya bersama Gelora Dewata, Vata Matanu mampu membawa timnya menempati posisi kedua klasemen akhir wilayah Timur Liga Indonesia 1997-1998 dan menorehkan 14 gol. Sayang, Liga Indonesia dihentikan lantaran situasi politik dalam negeri Indonesia yang mencekam.

Selanjutnya, Vata Matanu bergabung Persija Jakarta pada musim 1999-2000. Ia membawa Tim Macan Kemayoran dua kali berturut-turut menjadi semifinalis Liga Indonesia.

Usai pensiun dari pemain, Vata Matanu menjadi pelatih sepak bola di Australia dan Bali. Kontribusinya terhadap sepak bola Indonesia terus berlanjut kala membuat kegiatan bertema Beach Soccer untuk penggalangan dana korban Bom Bali I tahun 2002. Vata Matanu juga pernah menjadi pelatih kepala PS Persegi di Divisi Utama Liga Indonesia musim 2005-2006. 

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

4. Muhamadou Sadissou Bako (Kamerun)

Sadissaou Bako merupakan pemain benua Afrika yang malang melintang membela sejumlah klub di Indonesia. Bako memulai karier profesionalnya di klub Liga Utama Kamerun Tonnerre Yaounde pada tahun 1994, setelah sebelumnya bermain di level junior.

Setahun kemudian, Bako mencoba peruntungan untuk bermain di Indonesia. PSB Bogor menjadi klub pertama yang dibela pemain berposisi sebagai striker pada tahun 1995. Selanjutnya, Ia membela PSMS Medan di kompetisi Liga Indonesia 1996-1997. Setahun kemudian, Bako memilih berseragam Persita Tangerang.

Nama bomber kelahiran Yaounde, 26 Februar 1976 tersebut mulai mencuat ketika membela Barito Putera di Liga Indonesia musim 2001-2002. Ia menjadi top scorer Liga Indonesia saat itu dengan torehan 22 gol. Bako juga mampu membawa klub yang berjulukan Laskar Antasari masuk ke babak 8 besar. Sayang, Bako gagal membawa Barito Putera melangkah ke semifinal setelah dikalahkan 0-1 oleh Persib Bandung.

Muhamadou Sadissou Bako, saat bermain di PS Bengkulu di masa akhir kariernya. Ia pemain asal Kamerun yang 15 tahun berkiprah di Indonesia.  (PS Bengkulu)

Ketika itu, Bako dikenal sebagai striker yang sangat menakutkan bagi klub-klub lawan. Bako mempunyai naluri mencetak gol yang tinggi dan kecepatan. Ia memiliki akurasi tendangan dan sundulan yang keras. Tidak jarang, gol yang dihasilkannya berasal dari tendangan jarak jauh dan sundulan mematikan di kotak penalti lawan.

Bako memilih hijrah ke Persipura Jayapura setahun kemudian. Selama dua musim 2003-2004 ia kerap menjadi andalan Persipura untuk mengeksekusi bola mati, bersama kapten Tim Mutiara Hitam saat itu, Eduard Ivak Dalam. 

Setelah itu, karier Bako meredup. Ia kemudian membela Persih Tembilahan dan PS Bengkulu di pengujung kariernya. Bako kemudian menjadi pelatih Persih Tembilan di kompetisi Divisi Utama musim 2011-2012, usai menyatakan pensiun jadi pemain di pengujung musim sebelumnya. Bako jadi pesepak bola asal Kamerun yang paling panjang durasi kariernya di Indonesia. Selama 15 tahun ia beredar di klub-klub Tanah Air.

Banyak pelatih suka memakai jasanya karena sang pemain terhitung pemain yang tidak neko-neko. Bako dikenal sosok yang amat profesional, baik di dalam dan luar lapangan. Sepanjang kariernya ia terhitung jarang terkena hukuman kartu atau melakukan pelanggaran disiplin yang membuatnya harus dihukum Komdis PSSI.

Kontribusi Bako terhadap sepak bola di Indonesia terus berlanjut. Ia menjadi perantara pemain asing dan lokal untuk memperkuat klub sekota Barito Putera, Martapura FC. Sebut saja, Muhammad Renngur, M. Husein, dan Agus Riyanto merupakan tiga pemain bawaan Boko yang sukses berseragam Martapura FC.

5. Pierre Njanka (Kamerun)

Performa Njanka saat membela timnas Kamerun di pagelaran Piala Dunia 1994 dan 1998. Selanjutnya, ia melalang buana di sejumlah klub benua Afrika dan beberapa negara di Timur Tengah. Di usianya yang tidak lagi muda, Njanka yang kelahiram 15 Maret 1975 tersebut mengikuti jejak seniornya, Roger Milla bermain di Indonesia.

Pierre Njanka singgah di Persija Jakarta pada ISL 2008-2009. Ia bergabung di Tim Macan Kemayoran yang kala itu dilatih Benny Dollo. Ironisnya Persija yang dihuni sederet pemain top justru hanya nangkring di peringkat ketujuh klasemen akhir ISL.

Setahun kemudian, Njanka memutuskan hengkang ke Arema. Keputusan ini disayangkan kelompok suporter The Jakmania yang kadung jatuh cinta pada stopper bertubuh jangkung yang jago duel bola-bola udara itu. Ya, walau Tim Oranye tida berprestasi, Njanka salah satu pemain yang tampil bersinar di sepanjang musim 2008-2009.

Pada musim perdananya di Arema, Njanka mampu membawa Tim Singo Edan meraih gelar Indonesia Super League (ISL) 2009-2010. Trofi tersebut terasa spesial bagi Njanka, karena pemain yang bersahabat dengan Samuel Eto'o tersebut bertindak sebagai kapten tim, walau berstatus sebagai pemain asing pendatang baru. Njanka jadi pembimbing pemain-pemain muda yang kala itu mendominasi skuat Arema.

Pierre Njanka,bek Kamerun veteran Piala Dunia 1994 dan 1998 yang sukses mengantar Arema juara Indonesia Super League 2009-2010. (Worlcupplanet)

Gelar tersebut menjadi gelar pertama pasukan Kera-kera Ngalam sejak era Liga Indonesia mulai bergulir pertengahan 1990-an. Sebelumnya, pencapaian tertinggi Arema adalah menjadi juara Piala Indonesia 2005 dan 2006.

Saat berseragam Arema, Njanka dikenal sebagai bek tengah yang tangguh dan selalu membuat frustrasi pemain depan lawan. Njanka hengkang dari Arema karena problem finansial yang melanda klub. Ia sempat berkiprah di kompetisi Liga Primer Indonesia (kompetisi non PSSI) bersama Aceh United pada 2010.

Selanjutnya, Njanka memilih bermain di Mitra Kukar pada tahun 2011-2012. Ia hanya membawa Tim Naga Mekes finis di urutan kesembilan klasemen akhir ISL. Njanka akhirnya memutuskan pensiun ketika membela Persisam Samarinda di ISL musim 2012-2013, padahal kontraknya belum berakhir. Ia pensiun dan pulang ke Kamerun setelah mendengar kabar ibunya meninggal dunia.

Video Populer

Foto Populer