Sukses


5 Pesepak Bola Legendaris Klub PSM Makassar

Bola.com, Makassar - PSM Makassar adalah klub tertua di Indonesia yang masih eksis di persepak bolaan tanah air. Berdiri pada 2 November 1915 dengan nama awal Makassar Voetbal Bond (MVB), PSM bukan hanya sarat prestasi tapi juga pernah melahirkan pesepak bola terbaik Indonesia pada era masing-masing.

Di level klub, PSM tercatat lima kali juara Perserikatan yakni pada tahun 1957,1959, 1965, 1966, dan 1992. Klub berjuluk Juku Eja ini juga berjaya di Soeharto Cup 1974.

Ketika era Perserikatan berakhir pada 1994, PSM berhasil menembus partai puncak di Stadion Gelora Bung Karno sebelum takluk ditangan Persib Bandung.

Pamor PSM tetap terjaga di era Liga Indonesia dengan merebut juara pada musim 1999/2000 plus jadi runner up pada pada tahun 1996, 2001 2003 dan 2004. Di pentas internasional, PSM juara di Piala Ho Chi Minch City 2001 dan menembus perempat final Liga Champions pada tahun sama.

Di level pemain, puluhan nama tercatat pernah membawa Juku Eja juara plus terpilih masuk timnas di era masing-masing. Di era 1950 sampai 1960, sosok Ramang sangat kental mewarnai permainan PSM. Tradisi juara PSM tetap terjaga pada tahun 1960 sampai 1970 dengan Ronny Pattisarany jadi ikon Juku Eja.

Setelah itu, PSM sempat 'tenggelam' dengan hiruk pikuk kompetisi Galatama, dimana semua pemain terbaiknya hijrah ke luar Makassar atau membela Makassar Utama, klub Galatama Kota Daeng saat itu. PSM sempat menggeliat pada 1983 dengan munculnya pemain seperti Hengky Siegers dan Surul Lengu yang sempat masuk dalam skuat Garuda. Sayang keduanya tidak lama memperkuat timnas karena cedera.

Di era Liga Indonesia, PSM kembali jadi pemasok pemain timnas, baik yang berasal dari Makassar atau luar Makassar yang bermain untuk PSM. Sebut saja Ansar Razak, Yeyen Tumena, Ponaryo Astaman, Syamsul Chaeruddin, Jack Komboy, Ortizan Salossa, Charis Yulianto, Bima Sakti, Aji Santoso, Hendro Kartiko, dan Hamka Hamzah.

Dari puluhan nama pemain yang pernah membawa PSM juara dan berkiprah di timnas, bola.com mencatat lima pemain yang berpengaruh besar dalam perjalanan sejarah kejayaan PSM

2 dari 6 halaman

1

Ramang

Sosok Ramang bukan hanya jadi legenda PSM Makassar tapi juga Indonesia. Pria kelahiran 24 April 1928 di Kabupaten Barru Sulsel, Ramang dikenal sebagai pesepak bola alam. Menikah di usia 16 tahun, Ramang hijrah ke Makassar tahun 1945. Di Makassar, Ramang bekerja serabutan mulai jadi tukang becak sampai kernet truk untuk menghidupi keluarganya.

Dua tahun setelah menetap di Makassar, Ramang direkrut klub Persis (Persatuan Sepak Bola Induk Sulawesi) atau Coution Voetbal Bond untuk mengikuti kompetisi PSM. Dia langsung direkrut PSM usai mencetak tujuh dari sembilan gol kemenangan Persis atas lawannya.

Nama Ramang mulai mencuat di level nasional pada 1952. Kala itu, ia dipanggil seleksi timnas menggantikan seniornya Sunar Arland yang berhalangan karena sakit. Uniknya, Ramang datang ke Jakarta dengan status bek kanan sesuai posisi Sunar.

Ramang (kiri bawah), salah satu striker terbaik yang dimiliki Indonesia dan PSM. (Bola.com/Dok. Pribadi/Abdi Satria)

Pelatih timnas saat itu, Tony Poganick langsung tidak terkesan dengan aksi Ramang sebagai bek kanan. Apalagi posturnya kecil dan ringkih. Beruntung, Maladi, pengurus PSSI yang berdiri di pinggir lapangan punya pemikiran lain. Maladi meminta Tony memainkan Ramang sebagai striker.

Hasilnya, Ramang mencetak tiga gol kemenangan timnya pada internal gim. Nama Ramang pun akhirnya melekat sebagai striker yang disegani di kawasan Asia. Pada 1954, Indonesia melakoni tur uji coba di Filipina, Hongkong, Thailand dan Malaysia, Ramang mencetak 19 dari 23 gol Indonesia ke gawang lawan.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1956, Indonesia nyaris mengalahkan Uni Soviet di perempat final Olimpiade Melbourne. Di menit terakhir, Ramang nyaris menjebol gawang Lev Yashin andai kaosnya tidak ditarik lawan. Skor akhir imbang 0-0. Indonesia akhirnya tersingkir setelah kalah telak 0-4 pada partai ulang keesokan harinya.

Bersama Ramang, timnas Indonesia nyaris menembus putaran final Piala Dunia 1958. Timnas Merah Putih selangkah lagi ke Swedia setelah unggul aggregat 5-4 atas China, dimana tiga dari lima gol Indonesia dicetak oleh Ramang. Sayang langkah Indonesia terhenti karena menolak bertanding melawan Israel yang akhirnya lolos ke Swedia.

Dipentas Asia, Ramang membawa Indonesia meraih medali perunggu Asian Games 1958 Tokyo. Sayang, karier cemerlang Ramang ternoda jelang persiapan timnas menghadapi Asian Games 1962. Bersama mayoritas pemain timnas saat itu, Ramang dituduh menerima suap. Ramang pun mundur dari timnas karena merasa tidak pernah menerima suap. Setelah itu Ramang hanya memperkuat PSM sampai 1967 dan kemudian jadi pelatih di sejumlah daerah selain Makassar yakni Palu dan Blitar.

Di era Ramang, sejumlah nama mencuat bersama Juku Eja seperti Noor Salam dan Suwardi Arland. Mereka jadi trio maut membawa PSM jadi raja sepakbola Indonesia pada akhir 1950-an.

3 dari 6 halaman

2

2. Rasyid Dahlan

Rasyid Dahlan memang kalah populer bila dibandingkan dengan Ramang. Tapi, perannya sebagai gelandang jangkar PSM dan timnas sangat vital sebagai perusak alur serangan lawan. Sosok Rasyid pun tidak tergantikan dalam skuat timnas sejak 1956 sampai 1966. Rasyid yang dijuluki Roda Gila oleh rekan-rekannya ini adalah anak emas Tony Poganick, pelatih timnas Indonesia saat itu. Dia pun jadi bagian penting dari penampilan Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956, Asian Games 1958 dan kualifikasi Piala Dunia 1958.

Perjalanan karier Rasyid terbilang unik. Dia jadi pemain sepak bola karena jadi teman sekaligus pembawa sepatu bola Ramang, seniornya di Persis, klub anggota PSM. Kariernya pun terbilang cepat, di usia 16 tahun dia sudah memperkuat PSM dan dua tahun kemudian dipanggil memperkuat timnas.

Rasyid mengakhiri kariernya di timnas saat usia masih kepala dua. Saat itu, dia coret oleh Tony karena 'memakan' Sinyo Aliandoe saat seleksi timnas yang akan melakoni tur Eropa. Saat itu, Sinyo bersaing dengan M. Basri di posisi gelandang serang. Kuat dugaan saat itu, Rasyid sengaja mencederai Sinyo agar Basri, rekannya di PSM lolos masuk tim.

Meski jadi anak emas, kelakuan Rasyid tidak ditolerir Tony. Setelah itu, Rasyid hanya memperkuat PSM dan kemudian jadi pelatih klub amatir di Makassar. Rasyid meninggal dunia di Makassar, 27 Maret 2010.

4 dari 6 halaman

3

3. Ronny Pattinasarany

Ronny Pattinasarany adalah salah satu libero terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Pada usia 17 tahun, Ronny yang lahir di Makassar 9 Februari 1949, sudah masuk skuat PSM. Padahal, saat itu tidak mudah masuk skuat Juku Eja karena stok pemain di Makassar saat itu berlimpah. Namanya mulai dikenal publik sepak bola nasional ketika melakoni debut bersama PSM melawan Persipura di Stadion Andi Mattalatta Mattoangin.

Gaya permainan Ronny yang elegan mewarnai PSM yang mengandalkan permainan cepat dan keras. Sosok Ronny pun langsung menonjol berkat umpan pendek dan jauhnya yang akurat. Meski juga piawai dalam merebut bola dari kaki lawan, Ronny melakukannya dengan cara halus dan tidak mencederai lawan.

Para pemain PSSI Utama (Galatama Selection) yang dibela Ronny Pattinasarany (kanan atas) berfoto bareng Johan Cruyff saat datang ke Jakarta. (Bola.com/Dok. Pribadi Rully Nerre)

Pada 1970, Ronny dipanggil memperkuat PSSI junior menghadapi kejuaraan Asia di Manila. Setelah itu, dia jadi langganan timnas di berbagai event junior.

Usai membawa PSM juara di Piala Soeharto 1974, Ronny meninggalkan Makassar. Sosok yang diakhir hayatnya dikenal sebagai analis sepak bola ini pernah memperkuat sejumlah klub Galatama, di antaranya Warna Agung dan Tunas Inti. Dia juga tercatat pernah jadi pelatih di Persiba Balikpapan, Makassar Utama dan Petrokimia Putra.

Pengakuan publik Asia terhadap kualitas Ronny, ketika pecandu rokok berat ini terpilih masuk skuat Asia All Stars pada 1984.
Sebelum meningggal pada 19 September 2008, Ronny banyak terlibat dalam pembinaan pemain usia muda.

5 dari 6 halaman

4

4. Bima Sakti

Bima Sakti tidak lama berkostum PSM Makassar. Tapi, sosoknya sebagai kapten dan jenderal lapangan tengah PSM di Liga Indonesia 1999/2000 sangat melekat di benak suporter PSM. Pribadinya yang santun dan familiar membuat Bima jadi idola pesepak bola Makassar sebelum era seperti Syamsul Chaeruddin dan Rasyid Bakri.

Bima Sakti (tengah bawah), berfoto bersama dengan pemain PSM juara Liga Indonesia 2000. (Bola.com/Abdi Satria)

Membela PSM di LI 1999/2000 adalah musim terbaik gelandang yang pernah bermain di klub Swedia, Helsinborg ini. Pasalnya, selain membawa PSM juara, Bima juga menyabet gelar pemain terbaik. Hebatnya lagi, Bima tidak pernah mendapat satu pun kartu dari wasit padahal dia berposisi sebagai gelandang jangkar. Di level timnas, Bima juga adalah langganan kapten timnas baik level junior maupun senior. 

Bima pantas jadi panutan buat pesepak bola Indonesia terkait sikap profesionalnya di dalam dan luar lapangan. Sikap inilah yang membuat Bima tetap membela klub di kompetisi level atas sampai usianya sudah 39 tahun. Tahun ini, Bima memutuskan pensiun sesuai janjinya mundur sebagai pemain pada usia 40 tahun.

6 dari 6 halaman

5

5. Luciano Leandro

Playmaker asal Brasil ini memperkuat PSM Makassar selama empat musim. Meski begitu, kejeniusannya dalam mengatur irama permainan tim Juku Eja membuat publik Makassar begitu mengidolai pemain yang semasa aktif identik dengan rambut kuncirnya ini.

Pada 1996-musim pertamanya di Indonesia- Luciano bersama PSM pernah mewakili Indonesia di ajang Bangbadu Cup, Bangladesh. Di turnamen yang diikuti timnas Malaysia itu, Luci, sapaan akrabnya gagal mengantarkan PSM menjadi juara karena kalah di final. Namun begitu, namanya tetap dinobatkan sebagai pemain terbaik di turnamen tersebut.

Kecintaan fans kepada Luciano karena semasa aktif ia merupakan pemain yang ramah dan tidak pernah berbuat hal yang menyebabkan kontroversi di luar lapangan. Pribadinya yang santun itu dibarengi dengan kemauan sang pemain asing PSM seangkatan Jacksen F. Tiago dan Marcio Novo untuk menghadirkan prestasi bagi PSM.

Meski meraih gelar justru juara bersama Persija Jakarta, Luciano berhasil menempatkan PSM di daftar elite sepak bola Indonesia. Di Liga Indonesia II, Luciano membawa PSM mencapai babak final Liga Indonesia II.

Semusim berselang (Liga Indonesia III), ia membawa PSM lolos ke babak semifinal III. Saat kompetisi akhirnya terhenti tahun 1998 karena kondisi keamanan nasional yang tidak memungkinkan, Luciano bersama PSM sedang berjuang meraih gelar. Saat itu, PSM berhasil memuncaki peringkat I Wilayah Timur Liga Indonesia IV.

Setelah masa-masa indah di PSM selama empat musim, pemain yang akrab dengan nomor 10 ini memperlihatkan rasa cintanya kepada kota Makassar. Setelah gantung sepatu, ia membangun hotel yang diberi nama Hotel Makassar yang interiornya berisikan semua hal berbau Makassar di tanah kelahirannya, Macae.

Video Populer

Foto Populer