Sukses


Pentas Liga 1 2018, Surga Sekaligus Neraka bagi Pemain Muda

Bola.com, Jakarta - Didorong PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB) administrator kompetisi Liga Gojek Liga 1 bersama Bukalapak membuat terobosan berkaitan dengan pemain muda. Klub-klub kompetisi kasta elite diwajibkan mendaftarkan tujuh pemain U-23. Aturan baru ini memberi ruang besar bagi pesepak bola belia untuk unjuk gigi.

Aturan ini sudah mulai diterapkan sejak turnamen pramusim Piala Presiden 2018. Publik disuguhi atraksi menawan sejumlah young guns di sepanjang turnamen.

Syahrian Abimanyu (Sriwijaya FC/ 18 tahun), Frets Butuan (PSMS Medan/21 tahun), Rezaldi Hehanusa (Persija Jakarta/22 tahun), Martinus Novianto (Bali United/21 tahun), adalah deretan pemain muda yang memesona di turnamen pramusim.

Penampilan mereka memberi kesegaran. Publik sepak bola Tanah Air tak lagi dibuat bosan menyaksikan pemain itu-itu saja yang menghiasi kompetisi kasta tertinggi selama belasan tahun.

Bambang Pamungkas, Ismed Sofyan, Boaz Solossa, Cristian Gonzales, Hamka Hamzah, Supardi Nasir, menjadi deretan pemain ikonik yang menghidupkan denyut persaingan kompetisi kita. Pada saat jayanya, mereka jadi pelanggan Timnas Indonesia. Kini perlahan mereka sudah dimakan usia.

Pencinta sepak bola nasional butuh figur-figur idola baru. Ini bisa mereka dapatkan dari pemain muda.

Jika melihat penampilan Timnas Indonesia U-23 dan U-19 di bawah komando Luis Milla dan Bima Sakti (sebelumnya Indra Sjafri), rasanya negara kita tidak kering pemain belia berbakat.

Evan Dimas, Ilham Udin Arymain, Septian David Maulana, Febri Haryadi, Saddil Ramdani, Hanis Saghara Putra, Feby Eka Putra, Asnawi Mangkualam Bahar, dan terakhir Egy Maulana Vikri, merupakan kumpulan pemain muda dengan bakat alam luar biasa. Mereka sudah jadi idola di usia bau kencur seiring penampilannya yang kinclong di Tim Garuda Muda.

Tapi jangan buru-buru senang dulu. Dibukanya keran buat pemain hijau berkiprah di Liga 1 2018 oleh pengelola kompetisi bukan lantas jadi jaminan bagi mereka bisa dapat jam terbang tinggi.

Pesimistis? Mungkin iya. Sejarah panjang kompetisi era Liga Indonesia menujukkan kalau kompetisi yang satu ini kuburan bagi pesepak bola muda. Hanya sedikit yang bisa bertahan.

Tidak ada kewajiban bagi klub memainkan pesepak bola muda jadi alasan saya agak skeptis. Walau diminta mendaftarkan nama-nama young guns oleh PT LIB, opsi menurunkan pesepak bola belia bergantung klub. Ada kemungkinan karier pemain muda terhambat, karena kering jam terbang. 

 

 

2 dari 5 halaman

Perencanaan Jangka Pendek

Para pemain Arema FC menyapa Aremania usai laga Liga 1 melawan Persija Jakarta di SUGBK, Jakarta, Sabtu (31/3/2018). Persija menangn 3-1 atas Arema FC. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Bukan rahasia lagi klub-klub Tanah Air lebih senang memainkan pemain matang pengalaman, dibanding pesepak bola bocah. Tuntutan prestasi membuat mereka pragmatis.

Tuntutan tinggi dari fans, prestise kedaerahan, banyaknya jumlah investasi membuat petinggi klub di Indonesia rata-rata berkuping tipis. Jika klub yang dikelolanya terseok-seok di pentas kompetisi, mereka tak segan-segan menyingkirkan pelatih atau pemain.

Bukan sesuatu yang aneh melihat berpindahnya pemain dari satu klub ke klub lain di jendela transfer tengah musim. Atau cerita-cerita tak mengenakkan pelatih dipecat hanya karena hasil buruk di beberapa pertandingan saja.

Mau bukti? Baru-baru ini Subangkit diberhentikan dari jabatan pelatih PSIS karena karena performa Tim Mahesa Jenar melempem di turnamen pramusim. Begitu juga dengan Gomes Olivera di Madura United.

Terakhir, Iwan Setiawan terdepak dari Borneo FC, setelah klubnya bermain imbang 0-0 di laga pembuka Liga 1 2018 melawan Sriwijaya FC.  Ia dipecat karena terlibat perselisihan dengan suporter yang tak puas pada performa penggawa Pesut Etam.

Pada Liga 1 musim lalu, lebih dari setengah klub melakukan pemecatan pelatih. Sebuah realitas pahit yang hampir setiap musim terjadi.

Secara psikologis pelatih-pelatih yang ada di klub akhirnya berpikir pendek. Demi menjaga kelanggengan posisinya mereka tak mau berjudi memainkan pemain hijau pengalaman. Mereka pilih yang aman-aman saja menggaet pemain top. Usia nomor dua, yang penting kemampuan masih oke.

Kalaupun ada klub yang disesaki pemain muda, bukan karena sebagai sebuah kesadaran terhadap pembinaan, tapi karena terpaksa. Bermodal dana tipis, jadilah klub mengontrak pemain belasan tahun yang nominal kontraknya murah meriah.

Manajemen klub tak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka tak pernah berfikir panjang, karena sistem anggaran keuangan yang mereka rancang biasanya hanya untuk semusim saja.

Bagaimana mau berfikir mencetak pemain berkelas di masa datang, jika di kepala mereka masih terjebak bagaimana menjaga kelanggengan finansial klubnya selama semusim. Jika prestasi melempem, alamat musim depan kesulitan dapat dana segar baru.

Penonton sepak bola di Indonesia suka melihat timnya berprestasi. Jika tim kesayangannya terseok-seok mereka cenderung ogah-ogahan menonton langsung aksi klubnya. Ujung-ujungnya sponsor enggan memberi injeksi dana.

Terpuruknya Persik Kediri pengoleksi gelar juara Liga Indonesia musim 2003 dan 2006 ke kompetisi kasta bawah Liga 3 adalah contoh cerita sedih yang menunjukkan kalau tidak mudah menjaga stabilitas pendanaan klub. Saat prestasi menjauh dan pemilik berganti, klub belum tentu hidup tentram dengan pendanaan yang aman.

Klub-klub besar macam Persebaya Surabaya, PSIS Semarang, Persija Jakarta, PSMS Medan, sempat mengalami pasang surut eksistensi layaknya Tim Macan Putih.

3 dari 5 halaman

Rekrut Pemain Musiman

Bek Persib, Dedi Kusnandar, berebut bola dengan gelandang Sriwijaya FC, Adam Alis, pada laga Piala Presiden di Stadion GBLA, Bandung, Selasa (16/1/2018). Persib menang 1-0 atas Sriwijaya FC. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Imbas ketiadaan sumber keuangan jangka panjang, klub di Indonesia akhirnya tak punya akar kuat pembinaan berstruktur.

Berbeda dengan klub-klub Eropa, yang punya tim turunan mengikuti jenjang usia, klub-klub di Indonesia kesulitan membentuk pecahan tim muda untuk kepentingan pembibitan.

Ketidakmampuan PSSI menjaga stabilitas kompetisi usia muda memperparah keadaan. Pembentukan tim muda di klub hanya bersifat musiman, yakni saat kompetisi junior akan bergulir saja.

Klub dengan dana berlimpah dengan mudah membangun tim muda bertabur bintang untuk mengejar glory di kompetisi usia muda PSSI. Mereka bisa dapat pemain berlabel Timnas Indonesia Junior atau setidaknya binaan diklat sepak bola. Karena gengsi daerah yang dipertaruhkan biasanya petinggi daerah terlibat di dalamnya.

Sementara itu, klub-klub dengan dana minim akhirnya  berburu pemain dari kampung ke kampung.  

Jangan heran kalau melihat pemain-pemain muda kita kerap berganti-ganti klub atau tim buat dibela saat tampil di kompetisi junior.

Ambil contoh Adam Alis, yang memulai karier junior benar-benar dari bawah di turnamen amatir kelas kampung. Di level junior ia sempat melanglang buana di Persitangsel, Perserang Serang, Martapura FC, sebelum akhirnya dilirik Persija Jakarta yang menaikkan nilai jualnya di perhelatan elite sepak bola Tanah Air.

Demikian pula M. Roby, rising star Timnas Indonesia di pertengahan 2000-an. Bakatnya ditemukan di turnamen antarkampung Cisalak, Depok. Persija Jakarta yang merekrutnya pada musim 2006, bisa dibilang beruntung menemukan pemain paten tanpa perlu banyak memolesnya.

Kontrak perdana Roby tak lebih dari Rp 300 juta di Macan Kemayoran, jomplang dengan Hamka Hamzah yang usianya sepantar tapi punya pengalaman di timnas. Kontrak Hamka kala itu sudah dibanderol Rp 1 miliar!

Perjuangan Adam dan Roby berbeda dengan pemain blasteran, Irfan Bachdim, Raphael Maitimo, serta Stefano Lilipaly yang jejak karier juniornya teraba di Belanda. Ketiganya sempat merasakan tangan dingin Ajax Academy, Feyenoord Academy, serta Utrecht Academy di Negeri Kincir Angin sana.

4 dari 5 halaman

SDM dari Timnas Junior

Penyerang Persipura, Boaz Solossa, saat melawan Bhayangkara FC pada laga Liga 1 Indonesia di Stadion Patriot, Bekasi, Sabtu (9/9/2017). Bhayangkara FC menang 2-1 atas Persipura. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Sistem pembinaan sepak bola Indonesia yang semrawut membuat klub-klub profesional tidak memiliki pakem pasti saat merekrut pemain muda.

Cara paling gampang dilakukan adalah memberi kontrak pesepak bola belia yang tenaganya sempat diberdayakan Timnas Indonesia level junior.

Bambang Pamungkas (Persija Jakarta), Boaz Solossa (Persipura Jayapura), Manahati Lestusen (PS Tira), Alfin Tuasalamony (Sriwijaya FC), Yabes Roni (Bali United), adalah sekumpulan pemain alumnus Tim Merah-Putih level usia U-19 yang dapat jalan instan menapaki karier profesional di klub setelah berkesempatan membela negara.

Mengandalkan cara ini klub tidak leluasa menggaet pesepak bola muda, karena SDM di timnas junior terbatas. Sudah jumlah mereka tak banyak, kesempatan bermain di kompetisi level senior juga tak terbuka lebar.

Mereka harus bersaing dengan para seniornya. Bak hukum rimba, siapa kuat dia bisa bertahan. Nama-nama pemain junior yang digadang-gadang jadi pesepak bola hebat akhirnya tersingkir dari persaingan kompetisi kasta elite Tanah Air.

Syamsir Alam, Reffa Money, Alan Martha, serta Yerico Christiantoko, merupakan deretan pemain berbakat yang sempat menimba ilmu di Uruguay lewat program Timnas Indonesia SAD. Nama mereka kini tak terdengar lagi di kompetisi kasta tertinggi Tanah Air, karena gagal bersaing.

Bintang-bintang Timnas Indonesia U-19 didikan Indra Sjafri yang memesona interval tahun 2012-2014 macam, Maldini Pali, Muchlis Hadi Ning Syaifulloh, Paulo Sitanggang, saat ini tengah berjuang keras di persaingan level atas. Posisi mereka di klub yang dibelanya belum aman.

5 dari 5 halaman

Jangan Berkecil Hati

Gelandang Sriwijaya FC, Syahrian Abimanyu, menggiring bola saat melawan Persib Bandung pada laga Grup A Piala Presiden di Stadion GBLA, Bandung, Selasa (16/1/2018). Persib menang 1-0 atas Sriwijaya FC. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Saya bukan bermaksud menakut-nakuti pemain muda. Sejatinya saya ingin memberi gambaran, tidak mudah bagi mereka untuk bisa survive di kompetisi Liga 1 2018. Kompetisi terasa bak surga sekaligus neraka bagi mereka.

Nama mereka bisa cepat terkenal seantero negeri, atau malah karier mentok karena gagal bersaing di peredaran elite.

Apalagi belakangan mencuat tren naturalisasi. Pemain-pemain asing yang kenyang jam terbang bermain di Indonesia satu per satu berganti paspor menjadi WNI.

Perubahan status kewarganegaraan ini menjadi berkah bagi klub untuk 'mengakali' regulasi pembatasan kuota pemain asing. Mereka bisa memakai legiun impor sebanyak mungkin. Kesempatan bermain pesepak bola lokal pun bisa tergerus.

Saya berharap tantangan ini tak membuat pemain muda patah arang. Saya pribadi amat berharap sosok-sosok layaknya Syahrian Abimanyu, Frets Butuan, Rezaldi Hehanusa, Yabes Roni, Septian David Maulana, atau Putu Gede Juniantara bisa seperti seniornya macam: Bambang Pamungkas, Boaz Solossa, Hamka Hamzah, trio pemain gaek yang kariernya panjang di level elite.

Belasan tahun berkarier, mereka tetap jadi idola yang selalu diperbincangkan publik bal-balan nasional.

Pesepak bola belia juga jangan berkecil hati, problem kesempatan bermain buat para young guns di Indonesia juga terjadi di kompetisi raksasa sekelas Premier League. Banyak pemain muda Inggris layu sebelum berkembang karena klub-klub negara mereka lebih senang mendatangkan bintang top negara lain.

Pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgate, kudu putar otak memilih pemain yang on-fire saat The Three Lions berlaga di Piala Dunia 2018 nanti. Banyak di antara pemain yang ia miliki berstatus pemanis bangku cadangan di klubnya.

Tentu apa yang terjadi di negara tersebut tak perlu terjadi di Indonesia. Kita semua berharap Luis Milla bisa mendapatkan pemain-pemain siap pakai yang dimatangkan Liga 1 2018 saat Timnas Indonesia U-23 bertarung di Asian Games 2018 nanti. Paling tidak jalan sudah dibuka PT Liga Indonesia Baru dan PSSI lewat regulasi anyarnya. Semestinya tidak susah toh?

Video Populer

Foto Populer