Sukses


4 Bukti Suporter Indonesia Bisa Berdamai walau dengan Hal Receh

Bola.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia melalui Kemenpora menyebut kematian suporter Persija Jakarta, Haringga Sirla di area parkir Stadion GBLA, Minggu (23/9/2018), sebagai tragedi nasional.

Kasus kematian suporter memang bukan yang pertama kali. Berdasarkan data Save Our Soccer, rivalitas Persija dan Persib Bandung sudah memakan korban enam orang.

Sebelum Haringga, seorang bobotoh, Ricko Andrean juga berpulang akibat menjadi korban pengeroyokan dan salah sasaran. Pada 27 Mei 2012, tiga bobotoh, Rangga Cipta Nugraha, Lazuardi, dan Dani Maulana, meninggal akibat dikeroyok suporter Persija.

Kasus tewasnya Haringga menyedot perhatian masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Ada dua faktor yang menjadi penyebab. Pertama, pengeroyokan direkam dan video menjadi viral di media sosial.

Pada era sekarang, peristiwa semacam itu langsung menjadi pembicaraan, tak hanya dari kalangan pencinta sepak bola. Itu sebabnya kasus tewasnya Haringga perlu mendapat perhatian.

Bukan soal dari kubu mana yang menjadi korban, tapi ini menjadi tamparan bagi semua pihak karena kasus seperti ini selalu berulang, bahkan setiap tahun.

Suporter klub Indonesia, sebenarnya menjadi kekuatan tersendiri bagi kompetisi. Euforia yang besar membuat mereka menjadi ladang bisnis bagi klub dan industri sepak bola.

Perdamaian menjadi harga mati agar sepak bola Indonesia tak terancam lagi. Baik itu The Jakmania, bobotoh, Bonek Mania, Aremania, dan kelompok suporter lainnya.

Suporter Indonesia punya banyak cerita, tentang usaha mereka melakukan perdamaian dengan suporter rival. 

Beberapa tahun lalu, ada beberapa perisitwa kecil yang bisa menjadi inspirasi, untuk memulai atau melanjutkan hubungan harmonis antarsuporter. Terkadang hal itu berawal dari hal receh alias sepele, tanpa ada instruksi dari petinggi suporter maupun aparat kepolisian.

Berikut Bola.com merangkum empat kisah perdamaian suporter Indonesia yang berawal dari hal sepele.

 

2 dari 5 halaman

Bonek dan Jakmania di Stasiun Gubeng

Pada Jumat (27/11/2015) malam di Stasiun Gubeng Surabaya, terjadi momen langka, yakni ratusan Bonek yang menyambut hangat suporter Persija Jakarta, Jakmania.

Sekitar 200 Jakmania berangkat menuju Malang menggunakan kereta api dan transit di Surabaya. Tanpa ada perencanaan, para Bonek telah menunggu di stasiun. 

Pada Jumat (27/11/2015) malam di Stadion Gubeng Surabaya, ratusan Jakmania disambut hangat oleh Bonek.

Tak ada pelemparan atau sambutan rasis, yang ada justru mereka saling bersalaman dan Bonek menyanyikan lagu selamat datang kepada Jakmania. Kisah perdamaian itu mungkin hanya dilakukan oleh segelintir orang dari kedua belah pihak.

Namun, aroma perdamaian yang mereka sebarkan bisa menjadi titik balik hubungan kedua suporter yang selama ini panas. Perdamaian kecil Bonek-Jakmania telah menyebar di media sosial dan membuat banyak suporter respek kepada mereka.

Bagi Bonek, tahun ini jadi titik balik. Sebelum momen damai dengan Jakmania, Bonekmania dan Bonek 1927 bersatu, setelah kedua terpecah akibat dualisme Persebaya yang terjadi sejak tahun 2010.

Begitu pun saat Bonek ke Jakarta untuk memperjuangkan nasib Persebaya kembali ke PSSI pada awal 2017, Jakmania menyambut dan memberi dukungan.

3 dari 5 halaman

Bonek dan Pasoepati Menanam Pohon Cinta

Pada September 2013, sesepuh Pasoepati, Mayor Haristanto memunculkan ide menanam pohon cinta, untuk mendamaikan Pasoepati dan Bonek.

Kedua suporter sebenarnya tak memiliki riwaat rivalitas yang panjang. Namun pada kompetisi Divisi Satu 2005/2006, pertemuan Persis Solo dan Persebaya yang sengit berujung pada rivalitas suporter kedua tim.

Mayor mengundang pentolan Bonek ke Solo, untuk menanam pohon cinta yang terletak di kediamannya. Pentolan Bonek pun datang. Hasilnya, pada tahun yang sama Pasoepati mendapat sambutan hangat di Stadion Tambaksari Surabaya.

4 dari 5 halaman

Panser Biru dan Banaspati-Jetman Berawal dari Tahu Sumedang

Kisah perdamaian Panser Biru dan Banaspati-Jepasa Tifosi Mania mungkin jadi yang terlucu. Ceritanya, pada Piala Polda Jateng 2015, PSIS Semarang dan Persijap Jepara bertemu di babak penyisihan grup.

Di Semarang, panpel melarang suporter Persijap bertandang dengan alasan keamanan. Maklum, rivalitas suporter Semarang dan Jepara sudah terjadi sejak 10 tahun silam, bahkan sampai ada korban nyawa.

Suporter PSIS, Panser Biru. (Bola.com/Vincensius Sawarno)

Pada Juni 2015, saat Persijap menggelar partai kandang kontra PSIS di Stadion Gelora Bumi Kartini, ada beberapa suporter Panser Biru datang, termasuk sang ketua, Kepareng.

Lucunya, Kepareng berusaha menyamar dengan menanggalkan atribut. Namun, beberapa suporter Persijap mengenalinya. Kepareng tak mendapat sambutan keras. Justru sebaliknya, pentolan Banaspati membelikan dia tahu sumedang dan minuman segar.

Kedua suporter pun damai sampai pertandingan berakhir. Momen itu pun menjadi pembicaraan di media sosial dan hubungan kedua suporter jadi harmonis sampai sekarang.

5 dari 5 halaman

Snex dan Panser Biru Berawal dari Baju Koko

Ada cerita lucu juga saat Panser Biru dan Snex (Suporter Semarang Extreme) berdamai. Meski berada di satu kota dan mendukung tim yang sama, kedua suporter kerap bergesekan, bahkan pernah merenggkut korban jiwa pada Januari 2012.

Setelah peristiwa itu, panpel PSIS Semarang melarang kedua suporter tampil menggunakan atribut kala menonton PSIS.

Lewat media sosial, kedua suporter mengumumkan kostum untuk menonton PSIS adalah baju koko bagi yang beragama Muslim pada kompetisi Divisi Utama 2013.

Momen itu jadi tambah lucu karena suporter malah membawa sarung dan peci. Alhasil, pertandingan PSIS jadi mirip acara pengajian. Sejak saat itu, Panser Biru dan Snex kembali mesra. Mereka kembali menggunakan atribut dan sering berangkat tur bersama.

Video Populer

Foto Populer