Sukses


Menanti Gebrakan Prestasi PSIS dan PSS Sleman di Shopee Liga 1 2020

Bola.com, Jakarta - Dua kontestan Shopee Liga 1 2020, PSIS Semarang dan PSS Sleman, harus membuktikan diri bisa meraih prestasi menawan. Klub asal Jawa Tengah dan DIY tersebut sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar.

PSIS yang sudah dua musim bersaing di Liga 1 perlu meningkatkan statusnya sebagai tim kuda hitam. Tentu memori saat menjuarai Liga Indonesia 1999 bisa membuat tim kebanggaan warga Semarang itu mengulangi prestasi tersebut.

Akan tetapi, Laskar Mahesa Jenar dalam dua musim terakhir mengalami periode naik turun. Inkonsistesi menjadi problem PSIS Semarang. Sempat finis di posisi 10 klasemen akhir musim 2018, PSIS melorot ke urutan 14 pada musim berikutnya.

Sementara itu, pada musim 2020, harapan baru muncul setelah anak asuh Dragan Djukanovic tersebut menembus peringkat kelima klasemen sementara Liga 1, meski baru tiga pertandingan. Performa dan hasil positif ini diharapakan dapat dijaga Bruno Silva dan kawan-kawan hingga akhir musim.

Kondisi tidak jauh berbeda dialami PSS Sleman. Tim kebanggaan bumi Sembada ini mulai mengalami penurunan prestasi dibandingkan awal musim lalu. Pada pada tahun pertamanya di Liga 1, PSS sukses meraih lima poin dari tiga pertandingan awal.

Namun pada musim ini, PSS yang diasuh Dejan Antonic seperti melempem karena hanya mendapat satu poin dari tiga pertandingan yang dijalani. PSS yang musim lalu finis di posisi delapan klasemen akhir, saat ini terancam masuk zona degradasi.

Banyak faktor yang memengaruhi pasang surut performa sekaligus prestasi tim-tim asal Jateng dan DIY di kancah Liga 1. Bola.com merangkum sejumlah penyebab mengapa PSIS dan PSS belum dapat menapak prestasi besar di Liga 1.

 

Video

2 dari 3 halaman

Bukan Tim Kaya Raya

PSIS Semarang sedang menuju pengelolaan klub modern. Sebelum Shopee Liga 1 2020 bergulir, PSIS menegaskan bukanlah tim kaya raya yang bertabur bintang.

Melalui CEO klub, Yoyok Sukawi, Laskar Mahesa Jenar justru akan lebih banyak mencetak pemain bintang. Dibuktikan dengan banyaknya pemain muda yang ada di skuat PSIS Semarang.

Setidaknya terdapat 20 pemain dengan rata-rata usia di bawah 23 tahun di PSIS. Mereka akan berkolaborasi dengan sejumlah pemain berpengalaman, dan terutama pemain asing yang punya pamor seperti Wallacea Costa dan Bruno Silva.

Termasuk jaringan bisnis yang sedang dibangun, PSIS perlahan mendapatkan sponsor baru. Hal itu yang mungkin membuat PSIS Semarang mempunyai ambisi dan program jangka panjang.

Laskar Mahesa Jenar bakal belajar banyak dalam mengembangkan finansialnya seperti klub lain di Tanah Air, mulai dari Persipura Jayapura, Bali United, Barito Putera, Persib Bandung, Persija Jakarta, atau Madura United.

Demikian halnya dengan PSS Sleman yang baru mengenyam pengalaman tampil di kasta tertinggi pada tahun lalu. Berkaca musim lalu yang didominasi pemain warisan saat masih di Liga 2, PSS belum banyak melakukan perubahan.

Sejumlah pemain dari Liga 2 dalam dua musim terakhir tetap dipertahankan, karena dirasa masih dapat bersaing. Seperti kiper Ega Rizky, bek Asyraq Gufron, bek Bagus Nirwanto, gelandang Wahyu Sukarta, dan pemain sayap Irkham Zahrul Mila masih menghuni skuat utama Tim Super Elang Jawa.

Selain nama-nama tersebut, PSS juga mendatangkan amunisi baru yang memiliki kualitas mumpun. Bek asal Australia, Aaron Evans, gelandang Liberia, Zah Rahan, dan mantan bintang Bali United, Irfan Bachdim, diprediksi mampu meningkatkan mutu permainan PSS.

Datangnya investor baru PSS Sleman, yakni PT Palladium Pratama Cemerlang diharapkan membawa perubahan besar. Petinggi di jajaran direksi klub yang cukup tajir, bakal diuji loyalitasnya untuk membawa prestasi gemilang di bumi Sembada.

3 dari 3 halaman

Faktor Dukungan Fans

Situasi yang bertolak belakang dialami PSIS dan PSS Sleman dari sisi dukungan suporter. PSIS Semarang masih harus menjadi tim musafir, karena Stadion Jatidiri sebagai stadion utamanya belum selesai direnovasi.

PSIS masih bermain di luar Semarang untuk partai kandang. Seperti saat menumbangkan Arema FC akhir pekan kemarin, PSIS kembali berkandang di Stadion Moch. Soebroto, Magelang.

Stadion memang begitu penuh dan total dalam memberikan teror kepada lawan. Hanya saja kondisi ini tak akan selalu dirasakan para pemain ketika jadwal pertandingan tidak saat akhir pekan.

Jika jadwal laga kandang PSIS digelar pada tengah pekan, tidak banyak suporter yang akan hadir ke Magelang. Mengingat jarak yang lumayan jauh dari Semarang dan bersamaan dengan jam kerja.

Kondisi tersebut secara tidak langsung ikut memengaruhi performa terutama mental para pemain PSIS. Bagaimanapun tidak bermain di kandang sendiri terasa berbeda.

Sementara itu yang dialami PSS adalah ancaman boikot dari suporter yang terus membayangi. Jika suporter klub lain berdatangan ke stadion untuk mendukung timnya di kandang sendiri, fans fanatik PSS justru memilih mengosongkan tribune.

Seperti ketika PSS berkesempatan menjamu Tira Persikabo pada pekan kedua (90//3/2020). Stadion Maguwoharjo dikenal dengan 'berisik' ketika BCS melantangkan nyanyiannya, kini terlihat sunyi. Pada musim lalu, PSS juga mencatat rata-rata penonton yang hadir sebanyak 18 ribu orang.

Kelompok suporter terbesar PSS, Brigata Curva Sud (BCS), mengklaim bakal terus memboikot pertandingan timnya. Bahkan hingga PSS harus bermain di kasta terbawah, apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi pengelola klub.

Kondisi ini sangat berdampak pada psikologis pemain. Laga kandang yang seharusnya dipenuhi pendukung PSS Sleman, justru seakan seperti menjalani partai usiran.

Kelompok suporter PSS lainnya, yakni Slemania masih dengan setia mendukung tim pujaan. Meski jumlahnya tidak sebanyak BCS, dukungan dari kelompok suporter tertua di Sleman itu sedikit banyak turut mendongkrak motivasi bertanding para pemain.

Video Populer

Foto Populer