Bola.com, Jakarta - Musim panas 2025 menjadi babak baru dalam karier Trent Alexander-Arnold. Setelah lebih dari satu dekade membela Liverpool, sang bek kanan akhirnya memutuskan menjajal tantangan baru di luar Inggris, hampir pasti gabung Real Madrid—klub yang dikenal sebagai panggung megah bagi para pesepak bola elite dunia.
Akan tetapi, apa yang dihadapi Trent di Santiago Bernabeu jauh dari gambaran awal yang menjanjikan. Alih-alih bergabung dengan tim yang sedang berjaya, ia justru tiba di masa transisi yang penuh ketidakpastian dan tekanan berat.
Baca Juga
Advertisement
Ketika rumor kepindahannya mulai berkembang pada April 2024, Real Madrid berada di puncak kejayaan. Mereka baru saja menaklukkan Barcelona dan mengamankan gelar La Liga. Tak hanya itu, Los Blancos menambah koleksi trofi Liga Champions mereka menjadi 15 – sebuah simbol supremasi Eropa di bawah arahan Carlo Ancelotti.
Hanya, kenyataan berbicara lain. Musim 2024/2025 menjadi titik balik yang mengecewakan bagi Madrid, akibat rangkaian krisis yang mengguncang tim.
Lini belakang yang sebelumnya menjadi kekuatan utama porak-poranda akibat cedera jangka panjang Dani Carvajal dan Eder Militao. Sementara itu, kehadiran Kylian Mbappe justru menciptakan ketakseimbangan dalam lini serang, yang kemudian berdampak pada menurunnya performa Jude Bellingham, Vinicius, dan Rodrygo.
Ketimpangan skuad makin terasa setelah Toni Kroos dan Nacho hengkang tanpa ada pengganti setara. Kerapuhan ini tergambar jelas dalam kekalahan memalukan 1-5 dari Arsenal di perempat final Liga Champions (agregat) dan kekalahan 2-3 dari Barcelona di final Copa del Rey.
Insiden Antonio Rudiger yang meluapkan amarah kepada wasit menjadi simbol ketegangan yang melanda ruang ganti Madrid.
Berita Video, cuplikan pertandingan antara Inter Miami Vs Red Bulls pada Minggu (4/5/2025)
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Atmosfer Menekan
Tak hanya soal performa, Real Madrid sedang berada dalam konflik terbuka dengan berbagai institusi sepak bola. Klub secara terbuka mengkritik UEFA, La Liga, dan media, menempatkan diri dalam posisi yang kerap konfrontatif.
Situasi ini menciptakan atmosfer yang makin menekan bagi siapa pun yang mengenakan seragam putih Madrid saat ini.
Trent Alexander-Arnold pun tidak akan mendapat pengecualian. Ia harus bersaing langsung dengan kapten tim, Dani Carvajal – yang saat ini sedang dalam masa pemulihan – untuk memperebutkan tempat utama.
Di saat yang sama, masa depan pelatih Carlo Ancelotti belum pasti, menambah ketakjelasan dalam proses adaptasi Trent.
Jika Xabi Alonso ditunjuk sebagai pelatih pengganti, sistem permainan yang ia terapkan – menuntut bek sayap dengan kekuatan fisik dan kecepatan tinggi – bisa menjadi tantangan tersendiri bagi Trent, yang lebih dikenal karena visi permainan dan distribusi bolanya.
Tak hanya itu, proyek renovasi stadion senilai hampir 1,8 miliar euro membuat Madrid harus berhitung cermat dalam belanja pemain. Kemungkinan penjualan bintang dan tekanan terhadap pemain baru untuk langsung tampil maksimal pun tak terelakkan.
Itu tantangan 'teknis'. Di balik euforia dan ekspektasi tinggi, perpindahan ini juga menyuguhkan tantangan non-teknis yang bisa memengaruhi proses adaptasi dan bahkan performa Trent di atas lapangan.
Hal ini lantaran kepindahan ini pastinya menempatkan pemain kelahiran 7 Oktober 1998 ini di lingkungan yang sangat berbeda dibandingkan Liverpool.
Tantangan-tantangan apa sajakah itu?
Advertisement
Sorotan Media dan Tekanan Baru
Di Liverpool, Trent tak hanya pemain, tapi simbol lokalisme. Ia dibesarkan di klub, disanjung publik, dan diberi ruang untuk berkembang, bahkan ketika tampil kurang maksimal.
Di Spanyol, ekspektasi publik dan media sangat tinggi; setiap hari, berbagai surat kabar olahraga mengulas performa para pemain secara detail.
John Aldridge, mantan pemain Liverpool yang pernah berkarier di La Liga, memperingatkan bahwa kritik di Spanyol bisa jauh lebih "brutal" dibandingkan di Inggris. Satu penampilan buruk saja bisa membuat pemain "dihabisi" oleh media dan fans.
Tekanan ini menuntut adaptasi mental yang kuat, terlebih bagi pemain yang sudah lama menjadi ikon di klub lamanya.
Bagi Trent, ini adalah ujian karakter. Apakah ia bisa tetap tenang dan berkembang di tengah tekanan publik Santiago Bernabeu? Atau justru akan mengalami fase adaptasi yang penuh gejolak seperti yang dialami banyak pemain Inggris sebelumnya di La Liga—dari Michael Owen hingga David Beckham?
Selain tekanan eksternal, Trent juga harus menyesuaikan diri dengan budaya baru, bahasa, dan dinamika ruang ganti yang berbeda. Bahkan, perubahan nomor punggungnya bisa memberikan pengaruh kepadanya.
Nomor Punggung: Identitas yang Dipertaruhkan
Sejak debut di tim utama Liverpool, Trent selalu mengenakan nomor 66-angka yang kini melekat erat dengan identitas dirinya.
Namun, aturan La Liga hanya mengizinkan pemain tim utama menggunakan nomor 1 hingga 25, sesuai jumlah maksimal pemain yang boleh didaftarkan dalam satu musim. Nomor 66, yang begitu spesial baginya, tidak bisa digunakan di Spanyol.
Pilihan nomor punggung untuk Trent sangat terbatas. Nomor 2, yang secara tradisional digunakan bek kanan, sudah menjadi milik Dani Carvajal.
Dari skuad Madrid saat ini, hanya nomor 12, 24, dan 25 yang masih tersedia. Hal ini berarti anak kedua dari tiga bersaudara ini harus rela meninggalkan angka keramatnya dan membangun identitas baru di klub barunya.
Bagi sebagian pemain, nomor punggung bukan sekadar angka, melainkan bagian dari kepercayaan diri dan simbol perjalanan karier. Perubahan nomor bisa berdampak pada psikologis pemain, terutama jika angka lama sudah menjadi bagian dari rutinitas dan keberuntungan mereka.
Studi menunjukkan bahwa pemain yang mengenakan nomor kecil sering merasa lebih ramping, gesit, dan percaya diri-sementara nomor besar dapat memberi persepsi berbeda, baik pada pemain maupun lawan.
Trent, yang selama ini identik dengan nomor 66, bisa saja mengalami pergeseran persepsi diri ketika harus mengenakan angka baru yang lebih kecil atau tidak familier.
Namun, adaptasi ini juga bisa menjadi momentum untuk membangun babak baru. Banyak pemain besar yang sukses setelah berganti nomor punggung di klub baru.
Kunci utamanya adalah bagaimana Trent mengelola perubahan ini secara mental dan menjadikannya motivasi untuk membuktikan diri di level tertinggi.
Advertisement
Tantangan Bahasa, Budaya, dan Ekspektasi
Tantangan lain yang akan dihadapi Trent adalah penyesuaian dengan budaya baru. Spanyol—terutama Madrid—memiliki dinamika sosial dan kehidupan sehari-hari yang cukup berbeda dibandingkan Liverpool, tempat ia tumbuh besar.
Bahasa menjadi faktor utama. Meski Real Madrid memiliki skuad internasional dan staf bilingual, komunikasi dalam sesi latihan, briefing tim, hingga interaksi di luar lapangan banyak dilakukan dalam bahasa Spanyol.
Adaptasi bahasa menjadi keharusan agar ia bisa memahami instruksi pelatih dan membangun chemistry dengan rekan satu tim.
Steve McManaman, eks pemain Liverpool dan Real Madrid alias senior Trent, dalam wawancara dengan ESPN beberapa waktu lalu menekankan bahwa tantangan terbesar bagi pemain berusia 26 tahun itu bukanlah sepak bola, melainkan adaptasi budaya.
"Hal pertama yang paling penting, jika dia benar-benar pergi, adalah belajar bahasa secepat mungkin," ujar McManaman.
McManaman mengatakan bahwa ketika ia di Madrid, bukan hanya di klub, tetapi di seluruh kota hampir tidak ada yang berbicara bahasa Inggris.
Trent dikenal sebagai pribadi yang cukup pendiam dan cermat dalam berbicara. Transisi ke lingkungan yang menggunakan bahasa asing bisa jadi menghambat ekspresinya, terutama dalam membangun hubungan dengan rekan satu tim.
Ini bisa berpengaruh pada kepercayaan diri dan kenyamanannya dalam beradaptasi dengan taktik baru di bawah pelatih seperti Carlo Ancelotti—atau siapa pun yang akan menggantikannya musim depan.
Ambisi di Luar Zona Nyaman Premier League
Kendati tantangannya tak sedikit, keputusan Trent merantau ke La Liga adalah langkah yang menunjukkan ambisi. Ia ingin membuktikan diri di panggung yang lebih luas, di luar zona nyaman Premier League.
Jika mampu melewati masa adaptasi ini, ia berpotensi menjadi pelopor gelombang baru pemain Inggris yang sukses di Spanyol, menyusul jejak Jude Bellingham yang kini bersinar di Madrid.
Soal nomor punggung—barangkali ini justru jadi kesempatan pemain internasional Inggris ini untuk menulis bab baru dalam kariernya. Nomor 66 mungkin telah membesarkan namanya, tetapi siapa tahu, nomor baru ini akan menjadi simbol era keemasannya yang berikutnya.
Selain tekanan eksternal, pemain asli Merseyside ini juga harus menyesuaikan diri dengan budaya baru, bahasa, dan dinamika ruang ganti yang berbeda. Untuk tantangan ini, Trent mungkin bisa minta bantuan bestie-nya, Jude Bellingham, yang dipastikan sudah siap menyambutnya.
Advertisement