Spirit Jepang: Transformasi Sepak Bola di Asia

oleh Ary Wibowo diperbarui 21 Jun 2017, 16:33 WIB
Suporter The Shimizu S-Pulse saat melawan Jubilo Iwata, di Iwata, Jepang, 4 Desember 1999. (J-League Championship).

Bola.com — Pada akhir 1989, Jepang memasuki periode penurunan perekonomian—yang pada akhirnya memunculkan istilah collapse of the bubble. Harga beberapa saham utama penopang perekonomian untuk kali pertama menurun drastis semenjak era Perang Dunia II, terlebih ketika terjadi Krisis Ekonomi Asia pada 1997-1998.

Advertisement

Akan tetapi, industri olahraga Jepang tetap bertaji. Sama seperti era 1950-an, Jepang tetap mencoba menunjukkan kekuatan mereka kepada dunia, meski sedang dilanda masalah. Salah satunya dengan membentuk J-League. Tak ayal, beberapa perusahaan besar Jepang, misalnya, Mitsubishi, melihat potensi tersebut sehingga memutuskan ikut serta menanamkan modal dalam pembentukan kompetisi

Salah satu sosok yang berperan besar dalam pembentukan J-League—sekarang J1 League— adalah Saburo Kawabuchi. Ia adalah mantan pesepak bola dan manajer tim nasional Jepang pada periode 1980-1981. Berkat visinya pula beberapa perusahaan raksasa Jepang menggelontorkan dana besar untuk mengembangkan dunia sepak bola.

Proyek besar ini dimulai dengan penyusunan kriteria klub-klub profesional oleh Federasi Sepak Bola Jepang pada 1990. 15 dari total 20 klub peserta Japan Soccer League—kompetisi sepak bola amatir di Jepang— kemudian mencoba mendaftar untuk ikut serta.

Namun, dari ke-15 klub tersebut, Federasi Sepak Bola Jepang hanya meloloskan 10 klub yang sesuai dengan standar. Ke-10 klub tersebut, antara lain Gamba Osaka, JEF United Ichihara, Nagoya Grampus Eight, Sanfrencce Hiroshima, Urawa Red Diamond, Verdy Kawasaki, Yokohama Flugels, Yokohama Marinos, Kashima Antlers (promosi dari divisi dua), dan Shimizu S-Pulse, yang baru terbentuk. 

Logo 10 klub pertama di J-League (Bola.com/Adreanus Titus)

Menurut jurnal Japan Shoots for Goal karya Jonathan Friedland (1993), saham ke-10 klub peserta J-League dimiliki perusahaan-perusahaan besar di Jepang, seperti Toyota Motor, All Nippon Airways, hingga Mitsubishi Corp. Setiap klub mendapat suntikan dana sebesar 1,5 juta yen (setara 13,5 juta dolar AS) dari perusahaan tersebut.

Sebagian besar dana tersebut kemudian digunakan klub untuk mendatangkan beberapa bintang sepak bola dunia. Sebut saja Gary Lineker yang bergabung dengan Nagoya Grampus Eight, Pierre Littbarski (Yokohama FC), dan Zico (Kashima Antlers). Mereka mendapat bayaran sekitar 800.000 hingga 1 juta dolar AS untuk membantu mengembangkan kualitas serta citra positif sepak bola Jepang ke dunia.

Pada musim pertamanya, J-League meraup keuntungan 110 juta yen dari penjualan tiket, souvenir, dan hak siar televisi. Jumlah ini jauh dari perkiraan awal para penanam modal besar di Jepang. Menurut Hajime Fukuhara, mantan petinggi IMG Tokyo, salah satu perusahaan Sport Marketing di Jepang, keberhasilan J-League tidak lain karena mampu menarik atensi kaum muda.

Kala itu, salah satu lembaga survey di Jepang, merilis data, sepak bola menjadi olahraga favorit bagi pria dan wanita berusia 15 hingga 25 tahun. Catatan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan baseball yang digemari pria berumur 50 tahun ke atas. (baca: Spirit Jepang: Olimpiade 1964 dan Japan is Back!)

"Demografi bekerja sesuai keinginan kami. Bantuan dari para pemuda Jepang yang menggemari sepak bola merupakan hal yang sangat bernilai bagi J-League," ujar Kawabuchi, dalam artikel The Japan Times, edisi 16 Juni 1993.

Saburo Kawabuchi, saat menjabat sebagai Presiden Federasi Sepak Bola Jepang pada 2005. (FIFA).

Dalam menjalankan konsep J-League, Saburo Kawabuchi mengembangkan ide-ide dari luar negeri. Tidak seperti dua liga profesional baseball, yang membiarkan setiap klub mengurus pengoperasian secara independen, J-League secara ketat mengatur desain, marketing, penjualan souvenir setiap klub peserta, hingga perpanjian hak siar televisi.

Salah satu faktor kesuksesan marketing J-League adalah penunjukkan Sony Creative Products, yang bertanggung jawab atas desain setiap klub, termasuk logo hingga maskot. Oleh karenanya wajar jika setiap klub memiliki ciri khas "nyentrik" bila dipandang mata. Sementara itu, seragam ke-10 klub peserta J-League diproduksi Mizuno.

Pada 1994, asisten manajer Sony Creative, Nobuyaki Komai, mengungkapkan, penjualan souvenir resmi J-League di 105 toko yang tersebar di Jepang, menargetkan keuntungan penjualan sebesar 37 miliar yen. Namun, nyatanya, pada periode yang sama, satu toko bisa mendapat penjualan sebesar 10 miliar yen.

2 dari 2 halaman

Krisis Ekonomi

Suporter tim nasional Jepang saat membela negaranya di ajang Piala Dunia 2002, di Stadion Yokohama, Jepang, 9 Juni 2002. (FIFA).

Pembentukan J-League cukup sukses mengembalikkan antusiasme masyarakat Jepang terhadap dunia olahraga. Apalagi, rencana besar Saburo Kawabuchi berbuah nyata karena Jepang, bersama Korea Selatan, mendapat kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002 setelah ditunjuk FIFA pada 1996.

Akan tetapi, krisis ekonomi yang mengguncang Asia pada 1997-1998, membawa sedikit masalah. Awalnya, turnamen tersebut memang membawa optimisme besar karena dianggap bakal berperan signifikan terhadap perbaikan ekonomi Jepang, setidaknya menurut Perdana Menteri Jepang saat itu, Koizumi Junichiro.

"Tahun ini, Piala Dunia akan digelar. Harapan besar kami terhadap turnamen ini, termasuk dampak ekonomi, dapat menjadi peluang bagi Jepang dan masyarakat Jepang untuk kembali ke stabilitas ekonomi," ujar Koizumi Junichiro. (baca: Spirit Jepang: Keajaiban Ekonomi dan Proyek Besar Olahraga)

Optimisme tersebut muncul karena pengaruh media-media Jepang dalam pemberitaan persiapan negara mereka menggelar Piala Dunia 2002. Namun, berdasar jurnal The "Benefits" of Hosting: Japanese Experience from the 2002 Football World Cup karya Wolfram Manzenreiter (2008), kenyataannya sedikit berbeda.

Beberapa terbitan harian cetak di Jepang saat gelaran Piala Dunia 2002 berlangsung. (The Guardian).

Hasil riset NEC Research Institute, mencatat total keuntungan Jepang menggelar Piala Dunia 2002 sebesar 141,7 miliar yen, hanya 0,1 persen dari total GDP Jepang pada tahun yang sama. Sementara itu, Dai-ichi Life Research mengungkapkan, dampak ekonomi dari pagelaran itu hanya menyumbang 0,3 persen bagi GDP Jepang.

Terkait jumlah wisatawan yang hadir di Jepang saat turnamen berlangsung memang meningkat tajam. Berdasar data Kementerian Luar Negeri Jepang, tercatat sebanyak 441.000 dari berbagai negara mengunjungi Jepang sepanjang periode 31 Mei hingga 30 Juni 2002. Total, sepanjang tahun tersebut, Jepang pun mencatatkan rekor jumlah wisatawan luar negeri yang datang sebanyak 5,77 juta orang.

Hal ini kemudian berimpikasi terhadap penurunan jumlah penggangguran di Jepang. Tercatat, sepanjang 2002, penurunan jumlah pengangguran sebesar 8 persen di Jepang. Wilayah Miyagi menyumbang angka penurunan pengangguran paling besar, yakni sebesar 17 persen, diikuti Kanagawa (10,9 persen), dan Saitama (9,4 persen).

Lantas, apakah beberapa data hasil riset di atas membuat gairah dan antusiasme dunia sepak bola di Jepang menurun?

Bersambung…

Baca: 5. Spirit Jepang: Lompatan Ketiga dan Warisan Olahraga 

Sumber: Berbagai sumber

Baca dan saksikan berita serta vlog liputan Bola.com langsung dari Jepang dalam rangkaian acara Launching Mizuno Rebula - Japan Tour, di sini