Perbedaan Metode Kepelatihan Luis Milla dan Shin Tae-yong Versi Eks Timnas Indonesia

oleh Abdi Satria diperbarui 03 Jan 2021, 16:45 WIB
Hanafing, eks penyerang sayap Timnas Indonesia di SEA Games 1991. (Abdi Satria/Bola.com)

Bola.com, Makassar - Hanafing, eks penyerang sayap Timnas Indonesia di SEA Games 1991 mengungkap perbedaan metode kepelatihan Luis Milla dengan Shin Tae-yong dalam menangani skuad Garuda.

Menurut legenda Niac Mitra ini, Milla lebih mengutamakan pendekatan teknik. Sementara Shin Tae-yong fokus ke peningkatan fisik pemain. Hanafing tahu betul metode pelatihan ala Milla karena kapasitasnya sebagai instruktur pelatih. Apalagi saat ini, metode Filanesia merupakan masukan dari Milla sebagai kurikulum sepak bola Indonesia.

Advertisement

Melalui channel Youtube Omah Balbalan, Hanafing menjelaskan, dalam metode latihan ala Milla, fisik otomatis mengikuti program teknik. Misalnya, latihan bertahan, menyerang dan transisi. Dengan kata lain, Milla tidak melakukan latihan fisik secara spesifik seperti yang ditunjukkan Shin Tae-yong.

"Hal ini normal dalam sepak bola. Setiap pelatih tentu punya cara tersendiri untuk meningkatkan kemampuan timnya," ujar Hanafing.

Menurut Hanafing, kalau Shin Tae-yong konsisten menerapkan metodenya buat timnas, ia optimistis penampilan skuad Garuda bisa membaik. Terutama saat bersaing di SEA Games 2021 Vietnam mendatang.

"Bisa jadi metode Shin Tae-yong ini lebih pas diterapkan buat Timnas Indonesia. Setidaknya, Anatoli Polosin telah membuktikannya ketika saya dan teman-teman meraih medali emas di SEA Games 1991," ungkap Hanafing.

Hanafing merujuk aksi skuad Garuda Muda di SEA Games 2019 Filipina. Dimatanya, secara teknik, Indonesia lebih baik dari Vietnam yang meraih medali emas. Sayang, fisik pemain Indonesia masih kalah dari Vietnam. "Bila kondisi drop, sulit buat sebuah tim mengimbangi lawan yang fisiknya lebih terjaga," lanjutnya. 

 

 

 

 

Saksikan Video Pilihan Kami:

2 dari 2 halaman

Memori 1991

Timnas Indonesia di SEA Games 1991. (Bola.com/Repro)

Meski sama-sama melakukan pendekatan pada peningkatan fisik, program latihan fisik Shin Tae-yong lebih modern sesuai dengan teknologi terkini. Sementara Polosin masih tradisional saat mempersiapkan timnas SEA Games 1991.

Hanafing mencontohkan setiap pemain harus berlari sejauh 20 km di daerah tanjakan sebelum melahap program teknik. "Program latihan fisik ala Polosin sangat berat sehingga banyak pemain yang mundur karena tak tahan," kenang Hanafing.

Pemusatan latihan Timnas Indonesia di Australia ditunjuk Hanafing sebagai puncak program latihan fisik ala Polosin. Setiap hari, pemain melahap program latihan dalam tiga fase. Pertama, seperti biasa, seluruh pemain melahap rute sejauh 20 km di daerah pegunungan.

Kemudian, setelah ganti sepatu, mereka melakukan latihan relaksasi di lapangan sebelum istirahat dan makan. Setelah istirahat, Polosin melatih otot pemain di gym dan kemudian baru memberikan latihan teknis di sore hari. "Kami hanya diberi jatah libur pada hari Minggu," papar Hanafing.

Meski kerap muncul perasaan dongkol, para pemain tetap mengikuti latihan berat ala Polosin. "Sempat ada yang bilang, andai TC-nya di Indonesia, mereka sudah meninggalkan Pelatnas. Pemilihan TC di Australia mungkin cara Polosin agar tak ada lagi pemain yang lari seperti saat pelatnas di Bandung dan Gresik," Hanafing mengenang.

Metode latihan Polosin terbukti efektif lewat sukses Indonesia mengalahkan Thailand yang lebih diunggulkan pada laga final SEA Games 1991.

Sampai babak perpanjangan waktu usai, kondisi fisik pemain Indonesia terlihat lebih bugar. Itulah mengapa saat drama adu penalti, skuad Timnas Indonesia lebih percaya diri dan akhirnya meraih emas.

Berita Terkait