Jejak Sejarah Arema FC: Kera-kera Ngalam Terbiasa Dihujam Masalah Sejak Lahir

oleh Iwan SetiawanArio Yosia diperbarui 18 Okt 2022, 13:15 WIB
Cover Story - Jejak Sejarah Arema dan Sepak Bola di Malang (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Arema FC adalah Malang. Klub sepak bola satu ini jadi maskot Kota Apel. Tim Singo Edan menjadi identitas bagi Kera-kera Ngalam. Dalam sejarahnya Arema kerap jatuh bangun dalam menjaga marwah eksistensi.

Sejatinya sepak bola di Malang bukan hanya soal Arema. Di Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Batu), ada banyak klub sepak bola yang ambil bagian pada beberapa jejang kompetisi antarklub di Indonesia.

Advertisement

Di Batu, ada Persikoba yang kini bermain di Liga 3. Di Kabupaten Malang, ada Metro FC yang dulu acap kali menjadi batu loncatan bagi pemain-pemain sebelum membela Arema. Lalu, ada Persema Malang, Sumbersari FC, dan masih banyak yang lain.

Persema Malang menjadi klub paling sepuh di antara nama-nama yang disebut di atas. Persema disebut-sebut didirikan pada 1953. Persema sempat berada di era kejayaan pada awal 2000-an. Pada musim 2009/2010, Persema finis di posisi ke-10 klasemen Liga Super Indonesia, namun belakangan terbenam di jajaran kasta bawah.

Jauh sebelum itu, bal-balan sudah tumbuh subur di Malang. Pada era kolonial Belanda, Malang punya Malangsche Voetbal Bond (MVB), Voetbalbond Malang en Omstreken (VMO), hingga Persatoean Sepak Raga Toemapel (PST).

Jejak sepak bola di Malang juga bisa ditelurusi di buku Malang Tempoe Doeloe (2006) yang ditulis Dukut Iman Widodo. Pada buku itu, disebut nama PS Ardjoena sebagai salah satu klub sepak bola sohor di Malang. Nama PS Ardjoena, juga PST, kemungkinan diambil dari nama jalan atau tempat di Malang yakni Ardjoenastraat dan kawasan Tumapel.

Konten-konten liputan khusus Cover Story Kanjuruhan lainnya bisa Sahabat Bola.com nikmati dengan mengklik tautan lain. Berbagai kisah humanis dan investigatif kami rangkum dan sajikan secara eksklusif untuk mengurai tragedi kemanusiaan seusai laga Arema FC Vs Persebaya yang menelan banyak korban jiwa. 

 

2 dari 11 halaman

Identitas Baru Bernama Arema di Galatama

Gambar logo Arema FC di dinding mes Arema FC yang terletak di Lowokwaru, Kota Malang, Minggu (09/10/2022). (Bola.com/Bagaskara Lazuardi)

Perkembangan sepak bola di Malang tidak berjalan sendiri. Situasi yang terjadi pada level nasional juga punya pengaruh yang besar. Salah satu momen penting dalam sejarah sepak bola adalah lahirnya kompetisi yang bernama Galatama (Liga Sepakbola Utama) pada 1978.

Belum ada nama Arema sebagai peserta Galatama musim pertama. Nama Arema baru muncul di Galatama ketika memasuki musim ke-8, yang digelar pada periode 3 Oktober 1987 hingga 6 April 1988. Ketika itu, Niac Mitra dari Surabaya menjadi juara dan Nasrul Koto dari Arseto Solo menjadi top scorer dengan 16 gol.

Lantas, bagaimana dengan prestasi Arema? Sebagai pendatang baru, prestasi mereka tidak terlalu buruk. Kera-kera Ngalam mampu menempati posisi ke-6 klasemen dengan raihan 40 poin.

Dikutip dari buku Arema Never Die (2009) yang ditulis Abdul Munthalib, ketika itu Arema punya materi pemain yang cukup bagus. Arema diperkuat oleh Sudarno, Singgih Pitono, Maryanto, Nasdim, Mahdi Haris, Muchrim Akbar, Efendi Aziz, Jonathan, Hilal Lahji, Kusnadi Kamaludin, Johanes Geohera, dan Jamrawi.

Pada 1990-an, nama Singgih Pitono cukup tenar. Bahkan, Singgih tercatat sebagai pencetak gol terbanyak Galatama pada musim ke-11. Saat itu, Singgih mampu mencetak 21 gol. Di lini depan Arema, Singgih berduet dengan Micky Tata. Dia adalah top scorer Galatama musim ke-9 dengan 18 gol.

Puncak prestasi Arema di Galatama terjadi pada musim ke-12 atau pada 1992/1993. Arema sukses membawa trofi juara ke Malang. Pada klasemen akhir, Arema mampu mendapatkan 45 poin, unggul empat poin dari Pupuk Kaltim Bontang yang berada di posisi kedua klasemen.

Arema tentu tidak muncul begitu saja dan ambil bagian pada Galatama musim ke-8. Ada proses panjang yang kemudian menjadi latar belakang munculnya klub satu ini. Proses tersebut dirangkum dengan apik oleh Abdul Munthalib di buku Arema Never Die.

3 dari 11 halaman

Warisan Bapak ke Anak

Manajemen dan pemain Arema Indonesia saat berziarah ke makam pendiri Arema, Lucky Zaenal. (Bola.com/Iwan Setiawan)

Acub Zainal menjadi sosok penting di balik lahirnya Arema. Dia dikenal gila bola. Pria itu pernah menjabat sebagai Gubernur Papua (ketika menjabat masih bernama Irian Jaya) periode 1973-1975. Dia pernah membantu klub bernama Perkesa 78 yang bermain di Galatama.

Acub juga pernah terlibat pengelolaan klub Niac Mitra Surabaya sebagai Ketua Umum. Darah sepak bola Acub lantas ditularkan pada sang anak, Lucky Acub Zaenal. Warga Malang mengenang Lucky dengan nama Sam Ikul.

Nama itu diambil dari Osob Kiwalan (bahasa walikan) khas Malang. Sam adalah Mas, Ikul adalah Lucky.

Pada April 1987, Acub memanggil Sam Ikul untuk datang ke Jakarta. Sam Ikul yang awalnya lebih suka dunia balap ditawari untuk mendirikan klub sepak bola. Sang Papi, begitu Sam Ikul memanggil Acub, ingin Malang punya klub yang bermain di Galatama.

Sam Ikul lantas menemui Ovan Tobing untuk membahas rencana pendirian klub baru. Mereka kemudian menggelar rapat kecil dengan Dirk Sutrisno, pemilik klub Armada 86. Saat itu, nama Armada 86 tercatat sebagai klub anggota Persema Malang. Lalu, Armada 86 diakuisi dan kemudian diubah menjadi Arema.

M. Lukman Hakim dkk., lewat penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPPI, menyebut nama Arema sudah dikenal cukup lama dalam sejarah Malang. Menurutnya, nama Arema sudah ada sejak zaman lampau tepatnya pada era Kerajaan Singasari.

Pada periode itu, seperti tercatat dalam kitap Negarakertagama ada nama Kebo Arema sebagai patih yang dipercaya oleh Raja Singasari. Nama Arema juga disebutkan dalam Piagam Penampihan, yang dikeluarkan pada bulan Kartika tahun 1191 Saka.

Namun, sejatinya nama Kebo Arema dan Arema diyakini tidak saling berkesinambungan. Nama Arema lebih merujuk pada singkatan Arek Malang. Arema resmi didirikan pada 11 Agustus 1987.

 

4 dari 11 halaman

Bondho Dhuwek

Rodriguez “Pacho” Rubio salah satu bintang Arema berduel dengan pemain Persikota, Simamo A Basille di Liga Indonesia musim 2001. (Dok. Pribadi Pacho Rubio)

Musim ke-13 (1994) menandai berakhirnya kompetisi Galatama. Pelita Jaya keluar sebagai juara dengan Ansyari Lubis sebagai pemain paling produktif dengan 19 gol. Pada musim terakhir ini, Arema bersaing di papan tengah Grup Timur. Arema berada di posisi ke-6 dari delapan tim.

Azwar Anas, yang menjabat Ketua PSSI pada 1990 hingga 1999, membuat terobosan dengan menggabungkan dua kompetisi yang ada yakni Galatama dan Perserikatan. Gabungan dua kompetisi itu berlabel Liga Indonesia.

Perubahan yang dibuat PSSI tidak membuat eksistensi Arema luntur. Arema ambil bagian pada musim perdana Liga Indonesia 1994 (Liga Dunhill) dan bersaing di Grup Timur. Pada klasemen akhir, Arema berada di posisi ke-6 dan mengumpulkan 52 poin. Pada musim ini, Persib Bandung menjadi juara.

Pada era Liga Indonesia, prestasi Arema tidak bisa dikatakan buruk. Capaian terbaik Arema terjadi pada musim 1996-1997. Ketika itu, Arema lolos ke babak 12 Besar usai menjadi peringkat ketika Grup Barat.

Namun, langkah Arema terhenti pada babak 12 Besar. Bersaing di Grup C bersama PSM Makassar, Pelita Mastrans, dan Persipura Jayapura, Arema hanya mampu berada di posisi ketiga. Pada kompetisi musim 1996/1997, gelar juara diraih oleh Persebaya Surabaya.

Arema memiliki wadah untuk suporter mereka yang diberi nama Arema Fans Club (AFC). Namun, perlahan arah angin berubah. Pada Galatama musim 1994, Arema krisis finansial. Menurut penelitian Faishal Hilmy Maulida, lewat penelitian berjudul 'Gangster, Music, and Aremania: Modernity and The Dynamics of Arek Malang to Defend the Existence 1970-2000' , Arema mampu melanjutkan kompetisi hingga usai berkat usaha keras para pengurus dan fans.

Semenjak itu muncul istilah bondho dhuwek (modal uang). Muncul kesadaran secara kolektif di kalangan fans Arema untuk membeli tiket. Mereka menyadari bahwa klub tidak disokong APBD dan pendapatan dari tiket punya arti yang penting. Fans Arema yang ingin menonton ke stadion harus membeli tiket.

Terkait nama Aremania untuk menyebut fans Arema, Ovan Tobing punya peran yang penting. Salah satu pendiri Arema itu, menyebut kata Aremania ada pada jaket yang dia pakai pada 4 September 1994 saat menyaksikan Arema bertanding. Kata Aremania terukir di bagian belakang jaket Ovan Tobing.

Sementara, walau sudah muncul sejak 1994, menurut Lukman Hakim, kata Aremania menjadi lebih populer pada 1997. Ketika itu, penyebutan Aremania sudah dipakai secara kolektif. Dari situ, Aremania terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Aremania sejak awal tidak memiliki struktur atau pemimpin formal.

Massa Aremania tak hanya tersentral di Malang, tapi di berbagai penjuru Tanah Air atau bahkan luar negeri. Mereka kerap mudik ke kota kelahirannya saat big match. Fanatisme Aremania amat luar biasa jika tim kesayangan bertanding.

 

5 dari 11 halaman

Diselamatkan Bentoel

Ovan Tobing, salah satu dari tiga pendiri Arema selain almarhum Acub Zaenal, Lucky Acub Zaenal (Sam Ikul), dan Dirk Sutrisno. Ovan masih eksis menjadi pembina dan MC pertandingan Arema hingga kini. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Karena kepemilikannya bersifat pribadi, tidak dibantu pendanaan daerah APBD, seperti kebanyakan klub perserikatan, Arema kerap menghadapi krisis keuangan.

Sam Ikul punya jasa besar menjaga eksistensi Arema. Dia mencari sponsor, dana talangan, dan utang ke sana kemari demi membuat Tim Singo Edan tetap mampu bersaing di kancah sepak bola nasional.

"Pokoknya bagaimana caranya Arema harus selamat. Ini klub kebanggaan Malang yang tak boleh mati," kata Sam Ikul di era awal 2000-an.

Nama Iwan Budianto yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PSSI juga sempat digandeng Sam Ikul sebagai manajer Arema musim 1998/1999. Ketika itu, Iwan masih berusia 21 tahun.

Berkat kerja keras pontang-panting menghidupi Arema, Sam Ikul dianggap sebagai bos yang disegani oleh para pemain. Meskipun manajemen sering menunggak gaji para pemain.

Setelah belasan tahun bergelut dengan masalah finansial, Sam Ikul mengangkat bendera putih. Ia memberikan hak pengelolaan kepada perusahaan rokok di Malang, PT Bentoel pada 2003.

Sosok Darjoto Setiawan muncul sebagai direkturnya. Pada tahun tersebut, Arema terdegradasi ke kasta kedua. Namun, tak ada lagi cerita gaji terlambat. Kesejahteraan pemain dan keluarganya juga sangat diperhatikan oleh manajemen anyar Arema ketika itu.

6 dari 11 halaman

Juara Beruntun Copa Indonesia

Arema memecundangi Persija 4-3 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, untuk memastikan gelar juara Piala Indonesia 2005. (Bola.com/Dok. PSSI)

Andaikan ada anak atau istri pemain yang sakit, PT Bentoel yang menanggung biaya pengobatannya. Sampai saat ini, pemain atau karyawan Arema yang pernah merasakan kepemimpinan Bentoel menganggap era tersebut sebagai masa sejahtera.

"Kami digaji ala kantoran. Tanggalnya pasti. Di era Bentoel bisa dibilang sistem pengelolaan klub amat profesional," cerita Erol Iba pilar Arema periode 2004-2006 ke Bola.com beberapa tahun silam.

Bahkan, sampai tim Akademi Arema, semua bebas dari biaya. Sehingga muncul bakat-bakat istimewa, seperti Dendi Santoso dan Ahmad Alfarizi yang sampai saat ini membela Arema sebagai produk jebolan akademi.

Di level tim senior, Arema kembali berprestasi. Di tangan nakhoda sarat pengalaman, Benny Dollo mereka menjuarai kasta kedua pada 2004 dan promosi ke level tertinggi.

Di tangan Bendol pada 2005 dan 2006, Tim Singo Edan menjuarai Piala Indonesia (Copa Dji Sam Soe). Sebuah pencapaian luar biasa. 

Di era Bentoel, banyak pemain label bintang yang didatangkan, sebut saja Ponaryo Astaman, Elie Aiboy, Hendro Kartiko, Ortizan Salossa, Erol Iba, dan masih banyak yang lainnya.

Sayangnya, era tersebut berakhir pada 2009. Waktu itu saham PT Bentoel dikuasai BAT (British American Tobacco). Kebijakan mendanai aktivitas olahraga pun dicabut. Hal itu membuat Bentoel melepas Arema.

Konten-konten liputan khusus Cover Story Kanjuruhan lainnya bisa Sahabat Bola.com nikmati dengan mengklik tautan lain. Berbagai kisah humanis dan investigatif kami rangkum dan sajikan secara eksklusif untuk mengurai tragedi kemanusiaan seusai laga Arema FC Vs Persebaya yang menelan banyak korban jiwa. 

 

7 dari 11 halaman

Juara ISL

Arema FC- Juara ISL 2009-2010 (Bola.com/Adreanus Titus)

Lepas dari Bentoel, Arema diserahkan kepada konsorsium. PT Arema Indonesia sebagai pengelola yang baru juga dibentuk pada masa itu. Di dalamnya banyak orang yang berusaha menyelamatkan Arema.

Tokoh sepak bola nasional seperti Andi Darussalam Tabusalla terlibat didalamnya. Dia jadi Ketua Dewan Pembina Yayasan Arema. Di bawah konsorsium, Arema ternyata berhasil menjuarai Indonesia Super League (ISL) 2010 saat diasuh Robert Alberts.

Ketika itu, Arema memulai musim dengan penuh keraguan. Materi pemain mereka tidak begitu mentereng. Di bawah kendali Robert Rene Albert, Arema banyak mengandalkan pemain muda.

"Kami harus juara musim ini, kalau tidak klub ini bangkrut," tutur Andi Darussalam yang saat itu sudah berstatus Ketua Badan Liga Indonesia (BLI) bentukan PSSI.

Namun, Arema mampu membalikkan prediksi banyak pihak. Singo Edan sukses meraih gelar juara pada kompetisi yang digelar dengan sistem satu wilayah dan diikuti 18 klub tersebut. Arema juara dengan torehan 73 poin. Mereka unggul jauh dari Persipura Jayapura yang berada di posisi kedua dengan 67 poin.

Selain meraih gelar juara, Arema juga menyetorkan nama Kurnia Meiga sebagai pemain terbaik ISL 2010. Ketika itu, peran Meiga memang sangat penting bagi Arema. Sepanjang musim, Arema hanya kebobolan 22 gol dari 34 laga.

Tetapi setelah menjuarai ISL 2010, persoalan besar lainnya muncul. Berawal dari dualisme kompetisi, Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL) musim 2012, Arema pun terpecah.

IPL kompetisi sempalan garapan pengusaha Arifin Panigoro. Dihelat sebagai bentuk perlawanan atas kepengurusan PSSI, Nurdin Halid. Kudeta kepengurusan berhasil dan kemudian berbalik IPL yang menjadi kompetisi resmi, sementara ISL berstatus breakaway league.

 

8 dari 11 halaman

Prahara Dualisme

Pemain Arema mengikuti pawai juara dengan naik jeep tanpa atap. Peristiwa itu mengingatkan konvoi Tim Singo Eddan juara ISL 2010. (Bola.com/Iwan Setiawan)

Dualisme kompetisi ISL dan IPL membuat Arema terpecah jadi dua. Dengan manajemen dan direksi yang berbeda.

Arema yang bermain di ISL seperti tampil dengan materi pemain seadanya. Banyak pemain dari tim kasta kedua dan pemain muda yang direkrut. Manajemennya juga dililit persoalan finansial.

Tim ini berkutat di zona degradasi sampai jelang kompetisi berakhir. Untungnya paruh musim mereka berhasil mendatangkan pemain lama seperti Kurnia Meiga, Ahmad Alfarizi, Dendi Santoso dan M. Ridhuan. Para pemain ini sebelumnya membela Arema yang tampil di IPL. Tambahan amunisi itu membuat Arema selamat dari degradasi dan finish di urutan 12.

Tapi mereka hanya berjarak dua poin dari penghuni zona degradasi. Arema yang berkiprah di ISL juga berhasil memikat Aremania untuk memberi dukungan lagi ke Stadion Kanjuruhan. Karena di awal musim, tim ini kering dukungan.

Kondisi ini memperparah finansial tim karena minim pemasukan dari tiket penonton. Di sisi berbeda, Arema yang bermain di IPL, kondisinya berbanding terbaik.

Awal musim mereka dapat dukungan penuh Aremania. Karena mayoritas skuat juara ada di tim ini. Seperti Noh Alam Shah, Roman Chmelo, Esteban Guillen dan lainnya. Dukungan finansial dari PT Ancora Indonesia Resources sebagai pengelola klub juga sangat total. Namun, tim ini justru digerogoti persoalan internal dalam perjalanannya.

Ada momen dimana Arema di IPL terpecah menjadi dua tim dengan pelatih yang berbeda. Milomir Selsija dan Abdulrahman Gurning. Tapi akhirnya keduanya dilebur dan pelatih baru Dejan Antonic didatangkan.

Walau bermasalah dalam hal prestasi tim ini tergolong lumayan. Mereka menembus delapan besar AFC Cup dan finish di urutan ketiga IPL. Namun, karena ISL disesaki banyak bintang terbaik Tanah Air, mereka ditinggalkan Aremania sejak pertengahan musim.

Sampai saat ini, Arema masih tak bisa disatukan lagi. Padahal penggabungan kompetisi ISL dan IPL, sudah dilakukan tahun 2014 silam. Tim yang sempat bermain di ISL menjadi Arema FC dan kini eksis di kasta tertinggi Liga 1.

Sedangkan tim di IPL, kini bernama Arema Indonesia (di bawah kepemilikan istri Lucky Acub Zaenal, Novi) tampil di kasta terendah, Liga 3. Kondisi ini terasa mengenaskan, di akhir hayatnya Sam Ikul yang wafat pada 24 April 2013 menanggung beban klub yang didirikan ayahnya masih terbelah dua.

 

9 dari 11 halaman

Era Cronus

Samsul Arif merayakan gol yang dicetaknya ke gawang Gresik United bersama Esteban Vizcarra. Samsul mencetak tiga gol dan membawa Arema Cronus menang telak 4-1 atas Gresik United di Stadion Kanjuruhan, Selasa (10/11/2015). (Bola.com/Kevin Setiawan)

Ketika IPL mati pada awal tahun 2013, Arema ISL dapat kucuran dana segar dari Bakrie Grup lewat PT Pelita Jaya Cronus.

Nama klub berubah menjadi Arema Cronus di ajang ISL 2013. Iwan Budianto (IB) muncul kembali sebagai CEO. Di sini era Los Galaticos dimulai.

Materi pemain yang didatangkan lebih gemerlap ketimbang era Bentoel. Pelatih berkelas Rahmad Darmawan datang beserta deretan pemain terbaik di Indonesia ketika itu. Sebut saja Beto Goncalves, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Cristian Gonzales, Kayamba Gumbs, dan banyak lainnya. Namun, prestasi terbaik mereka di kompetisi hanya jadi runner-up ISL 2013.

Uniknya justru Arema menjadi raja turnamen. Tim Singo Edan berhasil menjuarai Piala Menpora, Piala Gubernur Jatim, Trofeo Persija, Bali Island Cup, Inter Island Cup, dan SCM Cup dalam waktu tiga tahun.

Tetapi, Bakrie Grup perlahan lepas dari Arema. Pada 2016 kucuran dana mulai terhenti, dan nama Arema Cronus berubah menjadi Arema FC. Meski begitu, era Bakrie bukanlah masa pengelolaan terbaik.

Pasalnya, selalu ada tunggakan gaji pemain yang menjadi persoalan setiap akhir musim. Pada saat Bakrie cabut, ada satu nama yang masih tersisa, yakni Iwan Budianto.

Dia melanjutkan kepemimpinannya sebagai orang nomor satu di Arema.

10 dari 11 halaman

Langganan Juara Turnamen

Iwan Budianto saat mendampingi latihan Arema di Stadion Kanjuruhan, Selasa (24/4/2018). (Bola.com/Iwan Setiawan)

Setelah satu musim nyaris degradasi di ISL 2012, Arema FC bisa dengan cepat bangkit. Musim 2013 jadi mereka jadi tim papan atas lagi. Bakrie Grup datang dengan dana besar untuk membentuk tim bertabur bintang. Pemain sekelas Cristian Gonzales, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Beto Goncalves didatangkan bersamaan. Tapi Arema hanya jadi runner-up di ISL 2013.

Hasilnya baru didapat pengujung tahun 2013 hingga sekarang. Singo Edan jadi raja turnamen. Lemari trofi Arema dipenuhi dengan gelar juara Menpora Cup edisi pertama (2013), Inter Island Cup, Bali Island Cup, Trofeo Persija, Sunrise of Java Cup, Bhayangkara Cup, dan dua kali Piala Presiden. Hebatnya, ada 8 trofi yang diraih dalam kurun waktu 3 tahun saja.

Bisa dibilang Arema berhasil membentuk tim lebih cepat ketimbang pesaingnya. Arema sudah punya skuat komplit ketika tim lain masih dalam tahap awal persiapan. Itu yang membuat Arema jadi raja turnamen.

Tapi untuk kompetisi, Arema belum pernah lagi angkat piala sejak 2010 silam. Ketika tim lain menemukan permainan terbaik, justru Arema seperti kehabisan bensin di kompetisi. Sebab, mereka sudah tancap gas di turnamen pramusim.

Termasuk musim 2022 ini. Arema berhasil menyabet Piala Presiden 2022. Namun di Liga 1, Singo Edan tercecer di papan tengah. Hingga pekan 11, Singo Edan masih berada di posisi 9 dengan 14 poin. Mereka sudah menelan 5 kekalahan. Tiga diantaranya terjadi di kandang sendiri, Stadion Kanjuruhan. Termasuk kekalahan dari Persebaya yang meledakkan tragedi Kanjuruhan.

 

11 dari 11 halaman

Dinasti Crazy Rich Malang

Presiden Arema FC, Gilang Widya Pramana membuat Arema kembali jadi tim yang kuat secara finansial. (Bola.com/Iwan Setiawan)

Arema FC memasuki era baru tahun 2021 lalu. Di mana pengusaha muda berjuluk Crazy Rich Malang diberi jabatan sebagai Presiden Arema. Yakni Gilang Widya Pramana yang akrab disapa Juragan 99. Pengusaha muda 33 tahun tersebut dapat mandat selama 3 tahun mengelola Arema.

Iwan Budianto melepas kepemilikannya karena fokus pada jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum PSSI. "Saya tidak ingin Arema terjebak pada konflik kepentingan. Biarlah Arema diurus Sam Gilang," kata Iwan.

Sebuah era baru yang lebih modern terasa di internal tim Singo Edan. Dengan kekuatan finansialnya, Gilang berupaya membentuk tim dengan kedalaman skuat yang bagus. Terutama di musim 2022 ini. Evan Dimas, Irsyad Maulana, Hasim Kipuw, Adam Alis dkk. didatangkan. Mereka berkolaborasi dengan pemain lama seperti Ahmad Alfarizi, Dendi Santoso, Dedik Setiawan dan masih banyak pemain lama lainnya.

Selain menggelontorkan dana untuk perekrutan pemain, Gilang membuat citra Arema jadi tim elite. Terutama fasilitas yang disiapkan untuk tim. Seperti mes ekselusif, bus khusus, dan hingga rencana membangun training ground. Di era Gilang, Arema sudah merengkuh gelar Piala Presiden 2022.

Harusnya musim ini dia ingin membawa Arema juara Liga 1. Namun upaya itu mulai terasa berat akibat Tragedi Kanjuruhan. Di mana Arema disanksi harus bermain tanpa penonton di stadion yang jaraknya minimal 250 km dari Stadion Kanjuruhan.

Jadi tim musafir sampai akhir musim bukan hal mudah. Ini jadi tantangan tersendiri. Ditambah lagi Arema harus memulihkan trauma pemain setelah melihat ratusan korban nyawa dalam Tragedi Kanjuruhan. Kita berharap Arema bisa bangkit dari keterpurukan. Sejarah mencatat Tim Singo Edan selalu jadi pemenang, mengatasi masalah-masalah yang mendera.

  • Tim Peliput: Ario Yosia, As'ad Arifin, Iwan Setiawan

Konten-konten liputan khusus Cover Story Kanjuruhan lainnya bisa Sahabat Bola.com nikmati dengan mengklik tautan lain. Berbagai kisah humanis dan investigatif kami rangkum dan sajikan secara eksklusif untuk mengurai tragedi kemanusiaan seusai laga Arema FC Vs Persebaya yang menelan banyak korban jiwa. 

 

Berita Terkait