Luis Enrique dan Putrinya, Xana, Bintang yang Terus Menuntunnya

Kisah ketegaran pelatih PSG, Luis Enrique, dalam menjalani kehidupan sepeninggal putri terkasihnya, Xana.

BolaCom | Aning JatiDiperbarui 30 Mei 2025, 17:06 WIB
Pelatih Barcelona, Luis Enrique (kanan), berbincang dengan putrinya, Xana, setelah Barcelona memenangkan pertandingan final Copa del Rey (Piala Raja) Spanyol FC Barcelona vs Deportivo Alaves di stadion Vicente Calderon di Madrid pada 27 Mei 2017. Barcelona menang 3-1. (JAVIER SORIANO/AFP)

Bola.com, Jakarta - Bendera itu begitu besar. Terlalu besar untuk dikibarkan seorang diri. Tetapi, ia tidak sendiri.

Ia mengayunkannya tinggi-tinggi di atas kepala, tangannya tergenggam erat bersama tangan sang ayah. Ia memperhatikan warna marun, biru, dan kuning yang menari di udara hangat malam itu. Ia begitu senang, bangga karena merasa mengendalikannya.

Advertisement

Malam sudah larut, hampir tengah malam, tetapi ia tetap riang, tertawa lepas. Sang ayah pun begitu. Ini bukan hanya momen miliknya, tetapi juga milik mereka berdua—dan justru karena dibagi, momen itu menjadi jauh lebih berharga.

Nanti, mereka akan berjalan berkeliling lapangan sambil bergandengan tangan, membicarakan segala hal dan tak ada hal sekaligus, di bawah cahaya sorot lampu stadion. Mereka akan meloncat-loncat kecil. Medali akan tergantung di lehernya. Ia akan naik ke pundak ayahnya untuk menumpang. Mereka akan mencari kamera, melambai ke lensa, dua orang konyol yang merayakan kemenangan.

Namun, untuk saat itu, hanya ada bendera—suara kainnya yang dimainkan angin, momen yang begitu sederhana, tetapi sempurna. Sebuah potongan kecil surga yang kini abadi dalam kenangan.


Sosok Luar Biasa

Luis Enrique bersama anaknya, Xana, ketika Barcelona menjadi juara Liga Champions pada 2015. (AFP/Odd Andersen)

Namanya Xana.

Putri bungsu Luis Enrique.

Lahir pada November 2009.

Dalam kata-katanya sendiri, ia adalah sosok yang "luar biasa, seperti badai kecil".

Ia baru berusia lima tahun saat tim Barcelona asuhan ayahnya mengalahkan Juventus di final Liga Champions musim 2014–2015.

Pada 29 Agustus 2019, Xana meninggal dunia.


Waktu Seakan Berhenti

Pelatih Barcelona, Luis Enrique, dan putrinya, Xana, melambaikan bendera setelah pertandingan Final Liga Champions UEFA antara Juventus dan FC Barcelona di Stadion Olimpiade di Berlin pada 6 Juni 2015. FC Barcelona memenangkan pertandingan dengan skor 1-3. (LLUIS GENELLUIS GENE/AFP)

Menjelang akhir dokumenter No Teneis Ni P** Idea* (Kalian Tak Tahu Apa-Apa), sebuah tayangan tiga bagian yang sangat menyentuh tentang Luis Enrique yang tayang di Spanyol dan Prancis tahun ini, ada satu adegan yang benar-benar membuat waktu seakan berhenti.

Adegan itu berlangsung dalam acara makan malam penggalangan dana untuk Fundacion Xana, yayasan yang didirikan Luis Enrique dan istrinya, Elena Cullell, untuk mengenang putri mereka.

Carles Puyol, mantan kapten Barcelona, hadir di sana. Juga musisi Katalonia, Joan Dausa, yang mempersembahkan lagu penghormatan emosional untuk Xana.

Dalam satu momen, Luis Enrique menyapa sekelompok gadis remaja dan para ibu mereka. Mereka mengobrol, bercanda. Tetapi, perlahan-lahan, Anda menyadari siapa gadis-gadis itu. Mereka adalah sahabat-sahabat Xana.

Usia mereka kini lebih tua dari Xana.


Momen Berat, Mengharukan

Para pemain Barcelona dan Osasuna mengheningkan cipta untuk mengenang anak Luis Enrique pada laga La Liga di Stadion El Sadar, Pamplona, Sabtu (31/8). Kedua klub bermain imbang 2-2. (AP/Alvaro Barrientos)

Xana baru sembilan tahun ketika ia divonis mengidap osteosarkoma, sejenis kanker tulang yang langka. Saat itu, Luis Enrique masih menjabat pelatih Timnas Spanyol. Ia memilih mundur dari posisinya ketika kondisi putrinya memburuk.

Selama lima bulan, Xana dirawat di Rumah Sakit Sant Joan de Deu, rumah sakit anak-anak di Barcelona.

Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya.

"Momen-momen itu sangat berat, tapi juga sangat mengharukan, sangat pribadi," ujar Luis Enrique dalam dokumenter tersebut.


Ketegaran Luar Biasa

Pelatih Barcelona, Luis Enrique (kanan), merayakan kemenangan mereka di akhir pertandingan final Copa del Rey (Piala Raja) Spanyol antara FC Barcelona dan Deportivo Alaves di stadion Vicente Calderon di Madrid pada 27 Mei 2017. Barcelona menang 3-1. (Ander GILLENEA/AFP)

Wajahnya bersinar saat mengenang kepribadian Xana—kebahagiaan yang dibawanya, bukan hanya untuk keluarga, tetapi juga bagi banyak orang di sekitarnya.

Yang mencolok, tidak ada nada marah atau getir dalam suaranya. Padahal, rasa sakit dan kehilangan sebesar itu bisa saja melahirkan kemarahan, tetapi tidak kepadanya. Yang ada justru ketenangan, penerimaan, dan kebesaran hati yang luar biasa menyentuh.

"Pengalaman paling negatif dalam hidup justru yang paling banyak mengajarkan kita," katanya.

"(Orang mungkin berkata,) 'Tapi, putrimu… anak perempuanmu… meninggal di usia sembilan tahun…'. Tapi, putriku datang ke dunia ini dan tinggal bersama kami selama sembilan tahun yang luar biasa. Kami punya ribuan kenangan bersamanya."

"Anda bisa bertanya, apakah saya merasa beruntung atau malang? Saya merasa sangat beruntung. Sangat beruntung."


Bintang Penuntun Keluarga

Luis Enrique. Pelatih berusia 51 tahun yang kini mengarsiteki Timnas Spanyol sejak November 2019 lalu merupakan pelatih terakhir asal Spanyol yang mampu meraih trofi Liga Champions. Ia melakukannya bersama Barcelona pada musim 2014/2015. Selama tiga musim mulai 2014/2015 hingga 2016/2017 ia juga mampu mempersembahkan trofi domestik berupa 2 gelar La Liga dan 3 gelar Copa Del Rey. (AFP/Oliver Lang)

Enam tahun setelah kepergian Xana, Luis Enrique masih membawa putrinya ke mana pun ia pergi—bukan sekadar sebagai memori, tetapi sebagai kehadiran yang nyata.

"Kau akan menjadi bintang penuntun bagi keluarga kami," tulisnya di media sosial setelah kematian Xana.

"Energinya masih sangat terasa di antara kami," tambahnya saat peluncuran Fundacion Xana.

Dalam dokumenter itu, ia bahkan mengatakannya secara lebih gamblang: "Xana masih mengawasi kami."


Kenangan Kembali Menyeruak

Pelatih kepala PSG, Luis Enrique, melambaikan tangan di akhir pertandingan leg kedua perempat final Liga Champions antara Aston Villa dan Paris Saint-Germain di stadion Villa Park, di Birmingham, Inggris, Rabu dini hari WIB (16-4-2025). (Foto AP/Frank Augstein)

Ini bukan kisah sepak bola, tetapi sepak bola tetap hadir di dalamnya. Minggu dini hari WIB ini, Luis Enrique akan memimpin Paris Saint-Germain di final Liga Champions melawan Inter Milan. Ini akan menjadi final Liga Champions kedua dalam karier kepelatihannya.

Sudah satu dekade berlalu sejak ia dan Xana merayakan kemenangan Barcelona di Berlin. Tak heran, kenangan itu kembali hadir dalam benaknya.

"Itu kenangan yang luar biasa," ujarnya dalam konferensi pers sebelum laga Ligue 1 melawan Lens, Januari lalu.

"Saya punya foto indah Xana menancapkan bendera Barcelona di atas rumput stadion."

"Saya ingin bisa melakukan hal yang sama dengan bendera Paris Saint-Germain. Putri saya mungkin tak hadir secara fisik, tapi secara spiritual, ia akan ada di sana, dan itu sangat berarti bagi saya."

Ketika ditanya bagaimana ia menemukan kekuatan untuk terus melangkah setelah kehilangan Xana, ia menjawab, "Saya termotivasi untuk terus maju, menghadapi apa pun yang ditawarkan hidup kepada saya."

Dan, dalam waktu dekat ini, hidup menawarkannya malam penting—bagi dirinya dan timnya.

Beban itu terlalu besar jika harus dipikul sendiri. Bahkan bagi pelatih seberpengalaman dia.

Namun, Luis Enrique tidak sendiri.

 

Sumber: The Athletic - NYTimes

Berita Terkait