Alvaro Morata Ungkap Depresi: Saya Takut Tidur dan Tak Bangun Lagi

Alvaro Morata ungkap depresi, keinginan palsukan cedera, dan bantuan Andres Iniesta di titik terendah hidupnya.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 14 Juni 2025, 20:30 WIB
Pemain Spanyol, Alvaro Morata, berjalan melewati trofi setelah menerima medali juara kedua dalam pertandingan final Nations League antara Portugal dan Spanyol di Allianz Arena di Munich, Jerman, Senin, 9 Juni 2025. (Foto AP/Martin Meissner)

Bola.com, Jakarta - Alvaro Morata dengan jujur mengungkap perjuangannya melawan depresi dalam sebuah dokumenter terbaru yang akan dirilis.

Dalam pengakuan yang menyentuh, ia menceritakan bagaimana tekanan mental yang luar biasa membuatnya nyaris menyerah, bahkan sempat terpikir untuk memalsukan cedera agar bisa absen dari Euro 2024.

Advertisement

Morata mengaku bahwa sepanjang kariernya, ia menerima hujatan dan kritik bertubi-tubi yang meninggalkannya dalam kondisi "hancur secara mental". Hingga kini, ia masih berusaha menyusun kembali kepingan hidupnya yang tercerai-berai.

Hubungan pribadinya juga sempat terguncang. Ia dan istrinya, Alice Campello, sempat berpisah tak lama setelah Euro 2024 akibat beban mental yang mereka alami, meski kini telah kembali bersama.

Satu di antara tokoh penting yang membantunya keluar dari masa kelam itu adalah legenda sepak bola Spanyol, Andres Iniesta, yang juga pernah mengalami depresi usai kematian sahabatnya, Dani Jarque, pada 2009.

"Kamu mulai merasakan berbagai hal di tubuhmu tanpa tahu kenapa dan bagaimana," ungkap Morata dalam dokumenter tersebut, dikutip dari The Athletic.

"Kakimu terasa sakit. Dadamu terasa sesak. Kamu tidak bisa bernapas. Saya takut tidur dan tidak bangun lagi. Saya takut pada segalanya," imbuhnya.


Puncak Penderitaan Mental

Alvaro Morata menjadi pemain yang mengisi daftar topskorer selanjutnya dengan raihan 7 gol. Catatan pemain Atletico Madrid tersebut juga diisi oleh beberapa pemain lain termasuk penyerang Barcelona, Robert Lewandowski. (AFP/Julio Cesar Aguilar)

Penderitaan mental Alvaro Morata mencapai puncaknya usai Atletico Madrid, klubnya saat itu, tersingkir di perempat final Liga Champions 2024 oleh Borussia Dortmund. Ia menyia-nyiakan sejumlah peluang, termasuk satu lawan satu dengan Gregor Kobel, yang terus menghantuinya.

"Saya tidak tidak bisa mengikuti bola," katanya.

"Kami belum kalah saat itu, tapi di kepala saya, saya sudah menghancurkan peluang untuk membawa Atletico ke final Liga Champions. Setelah laga usai, saya lama diam sendirian di ruang ganti. Saya hanya ingin menangis. Dari sanalah semuanya bermula," tuturnya.

Morata mengaku mulai dihantui pikiran-pikiran gelap dan merusak diri.

"Pernah terlintas di pikiran saya untuk pura-pura cedera agar tidak dipanggil ke Euro."

"Apa gunanya bermain untuk Spanyol kalau ke mana pun saya pergi bersama keluarga saya, selalu ada insiden tidak menyenangkan, orang-orang menghina dan mengejekmu?"

"Kalau kamu pakai jersey Spanyol ke stadion dan disiuli atau dicaci maki—apa gunanya? Banyak fans Spanyol yang mendukung saya, tapi juga banyak yang tidak menginginkan saya di sana. Tapi, kalau saya pensiun dari timnas, mereka yang menang."


Titik Balik Morata

Andres Iniesta pun tak dapat menahan tangis saat berbicara dalam pidato perpisahannya. (AFP/Jiji Press)

Dalam keputusasaan itu, Morata sempat menghubungi dokter Timnas Spanyol, Oscar Celada, untuk mundur dari skuad. Namun, Celada justru mengatur pertemuan dengan Andres Iniesta, yang menjadi titik balik baginya.

Keputusan untuk tetap ikut Euro 2024 ternyata membawa berkah. Morata tampil dalam semua pertandingan Spanyol, menjadi poros serangan yang memberi ruang bagi Lamine Yamal, Nico Williams, dan Dani Olmo untuk tampil gemilang.

Sepanjang turnamen, ia juga menjalani sesi terapi dengan psikiater Pilar de Castro-Manglano dan menemukan ketenangan lewat bermain golf bersama Mikel Oyarzabal dan Alex Remiro.

Sosok-sosok seperti Koke, Miguel Angel Gil, pelatih Diego Simeone, dan pelatih Timnas Spanyol, Luis de la Fuente, juga memberi dukungan besar.

"(Alvaro) kini sedang dalam proses pemulihan," ujar De Castro-Manglano.

"Seperti cedera ligamen yang harus belajar berjalan kembali, begitu pula dalam menghadapi kehidupan. Belajar mengelola hidup itu sulit, apalagi bagi orang-orang yang terus berada dalam sorotan publik."


Hindari Depresi Lagi, Pindah ke Milan

Gol Alvaro Morata pada menit ke-89 dan Noah Okafor (90+5) berhasil menyelamatkan muka AC Milan dari kekalahan. (Piero CRUCIATTI/AFP)

Hasil dari perjuangan itu terbayar. Momen puncak Morata datang saat Mikel Oyarzabal mencetak gol kemenangan atas Inggris pada menit ke-86 di final Euro 2024, menghadirkan kemenangan 2-1 dan menjadi titik terang dalam perjalanan kariernya.

Selama ini, tekanan dari publik Spanyol dan para suporter klubnya telah menjadi beban berat. Meski kariernya penuh prestasi—lima gelar liga bersama Real Madrid, Juventus, dan terakhir Galatasaray; dua trofi Liga Champions bersama Madrid—ia tetap menjadi sasaran kritik, terutama saat berseragam Atletico Madrid.

Akhirnya, hujatan dari fans Atletico membuatnya memilih hengkang ke AC Milan pada musim panas 2024.

"Saya tidak bisa ambil risiko mengalami depresi lagi," kata Morata.

"Saya ingin meraih trofi bersama Atletico Madrid, tapi itu tidak sebanding dengan kemungkinan kembali terpuruk. Tidak enak mengatakannya, tapi itu keputusan paling mudah yang bisa saya ambil."

Ayah empat anak itu juga sempat mengalami masa kelam lain saat istrinya, Alice, nyaris kehilangan nyawa saat melahirkan anak mereka, Bella, pada 2023.


Bukan "Perjuangan" Pertamanya

Kapten Timnas Spanyol, Alvaro Morata, merayakan kemenangan dengan trofi saat parade kemenangan Euro 2024 di Madrid, Spanyol, Senin (15/07/2024) waktu setempat. (AFP/Oscar Del Pozo)

Ini bukan kali pertama Morata bicara terbuka soal perjuangannya. Dalam wawancara dengan radio Cope tahun lalu, ia pernah berkata:

"Saat kamu mengalami masa-masa berat—depresi, serangan panik—itu tidak peduli pekerjaan apa yang kamu jalani, status apa yang kamu punya. Kamu seperti bertarung melawan diri lain yang ada di dalam tubuhmu, setiap hari, setiap malam."

"Yang orang lihat di TV, di media sosial, itu bukan dunia nyata. Kita dituntut untuk menampilkan citra tertentu karena itu pekerjaan kita. Tapi, saya mengalami masa-masa sangat buruk, sampai-sampai saya tak sanggup mengikat tali sepatu. Saat bisa mengikat tali sepatu pun, saya langsung ingin pulang karena leherku terasa sesak, penglihatanku buram. Itu sangat berat."

"Setiap kali saya keluar bersama anak-anak, selalu saja ada kejadian tak menyenangkan. Kadang orang tidak bermaksud jahat, tapi lama-lama saya merasa malu berada di dekat mereka. Saya jadi bahan candaan untuk membuat orang lain tertawa."

"Saya sering kehilangan kendali. Orang-orang menghina dan saya mencoba mempermalukan mereka agar mereka sadar. Tapi, Euro mengubah hidup saya karena kini mereka lebih menghormati saya. Foto sebagai juara itu akan selalu abadi," ucapnya.

 

Sumber: Daily Mail

Berita Terkait