Bola.com, Jakarta - FIFA kembali menuai kritik setelah diduga melanggar satu di antara aturan baku sepak bola dalam partai final Piala Dunia Antarklub 2025 antara Chelsea dan Paris Saint-Germain (PSG) di New Jersey, Amerika Serikat, Senin (13-7-2025) dini hari WIB.
Sorotan tajam datang dari jurnalis senior The Times, Martyn Ziegler, yang mempertanyakan kepatuhan badan sepak bola dunia itu terhadap Laws of the Game, kumpulan regulasi resmi pertandingan yang berlaku secara global.
Satu di antara pelanggaran yang dikritik adalah lamanya jeda paruh waktu yang berlangsung selama 24 menit, jauh melebihi batas maksimum 15 menit yang tercantum dalam aturan resmi.
"Apa gunanya FIFA mengklaim menjunjung tinggi Laws of the Game jika mereka sendiri mengabaikan batas maksimal 15 menit waktu jeda demi menayangkan pertunjukan selama 24 menit demi Infantino?" tulis Ziegler lewat akun media sosial X.
Bentuk Pengabaian
Pertunjukan paruh waktu yang dimaksud mengusung kemegahan ala Super Bowl, termasuk penampilan musisi Robbie Williams, yang dinilai sebagai upaya FIFA menarik minat penonton muda terhadap turnamen yang kerap dicibir kurang prestisius.
Padahal, Law 7: The Duration of the Match jelas menyebutkan:
"Pemain berhak mendapatkan jeda paruh waktu, yang tidak boleh melebihi 15 menit. Istirahat minum singkat (tidak lebih dari satu menit) hanya diperbolehkan saat jeda tambahan waktu."
Kendati wasit memiliki sedikit keleluasaan dalam penerapannya, aturan 15 menit tetap berlaku sebagai standar waktu resmi.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu, apalagi oleh FIFA sendiri sebagai penyelenggara, dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap integritas Laws of the game.
Memprioritaskan Kepentingan Komersial?
Sebagai catatan, FIFA memang bukan satu-satunya badan yang menentukan hukum pertandingan. Aturan resmi sepak bola disusun oleh International Football Association Board (IFAB), yang membutuhkan persetujuan enam dari delapan suara untuk mengubah aturan.
Empat suara berasal dari FIFA, sementara empat lainnya dimiliki asosiasi sepak bola dari Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Dalam konteks ini, sembilan menit tambahan yang diberikan demi pertunjukan musik mungkin terdengar sepele.
Namun, bagi banyak pengamat, termasuk Ziegler, hal ini mencerminkan bagaimana FIFA, di bawah kepemimpinan Gianni Infantino, cenderung memprioritaskan kepentingan komersial ketimbang menghormati prinsip dasar olahraga.
Tudingan ini juga memperkuat kekhawatiran terhadap arah penyelenggaraan Piala Dunia 2026, yang dinilai rawan mengorbankan nilai-nilai fundamental sepak bola demi tayangan spektakuler.
Sebuah pertanyaan besar pun mengemuka: apakah FIFA masih bertindak demi sepak bola, atau demi panggungnya sendiri?
Sumber: Sportbible