Bola.com, Jakarta - Pemerintah kian serius memperkuat penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Hal itu tersirat dari pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang mengaitkan kewajiban membayar pajak dengan praktik keagamaan, seperti zakat dan wakaf.
"Bu Sri Mulyani telah mengatakan bahwa kira-kira sebagian rezeki kita ada untuk pajak dan ada untuk sedekah," ujar Deni Friawan, peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS, dalam Media Briefing CSIS RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, Senin (18-8-2025)
Pernyataan itu, menurut Deni, memperlihatkan filosofi fiskal pemerintah: sebagian penghasilan masyarakat harus dialokasikan untuk membiayai kebutuhan negara, sementara sisanya tetap diarahkan untuk kepentingan sosial dan keagamaan.
Pajak Kian Digenjot, Tantangan Masih Berat
Deni menilai, pernyataan Sri Mulyani menjadi sinyal bahwa pemerintah bakal lebih agresif mengejar penerimaan pajak di tahun-tahun mendatang, baik lewat perbaikan administrasi maupun penegakan kepatuhan wajib pajak.
"Jadi, itu indikasi bahwa pemerintah akan memburu menaikkan penerimaan pajak lebih gencar di tahun depan dan tahun-tahun berikutnya," ujarnya.
Namun, jalan menuju target ambisius itu tidak mulus. Dari 145 juta penduduk usia kerja, hanya 17 juta yang tercatat rutin membayar atau melaporkan pajak. Sementara itu, 59 persen tenaga kerja masih bergantung pada sektor informal yang sulit dijangkau sistem perpajakan.
"Basis pajak kita memang sangat kecil. Hanya 17 juta dari 145 juta orang yang usia kerja itu yang bayar pajak atau mengisi form pajak," kata Deni.
Risiko "Kelelahan Fiskal"
Deni mengingatkan, upaya meningkatkan target pajak di tengah struktur ekonomi yang rapuh bisa memunculkan risiko fiscal fatigue atau kelelahan fiskal. Beban tambahan bisa dirasakan bukan hanya oleh perusahaan besar, melainkan juga oleh UMKM.
"Kita tidak bisa memaksakan peningkatan pendapatan pajak terutama dalam waktu singkat," ucapnya.
Di sisi lain, tax ratio Indonesia masih tertahan di level rendah, yakni sekitar 10–12 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata negara tetangga.
Situasi tersebut membuat pemerintah sulit memperluas ruang fiskal untuk belanja publik, meski target penerimaan pajak terus dinaikkan.
Ketergantungan pada Pajak Meningkat
Tren lima tahun terakhir juga menunjukkan pergeseran besar dalam struktur penerimaan negara. Porsi pajak naik dari 77 persen menjadi 86 persen, sedangkan kontribusi PNBP, khususnya dari sumber daya alam, merosot dari 23 persen menjadi hanya 14 persen.
"Meski demikian walaupun penerimaan meningkat, tax ratio kita itu ternyata masih tetap stagnan di sekitar 10%, kalau dia dalam arti sempit atau 12% dalam artian luas. Kenapa? Karena memang struktur perekonomian kita seperti itu," ucap Deni.
Sumber: merdeka.com