Bola.com, Jakarta - Momen itu seakan penuh simbol. Manchester United (MU), klub yang selalu dikenang dengan "Holy Trinity"; George Best, Bobby Charlton, dan Denis Law, seolah menemukan generasi penerusnya.
Tanggal 4 Februari 2024, Old Trafford dipenuhi optimisme.
Kobbie Mainoo tampil sebagai starter ketujuh beruntunnya di Premier League dan baru saja mencetak gol kemenangan dramatis ke gawang Wolves. Rasmus Hojlund, yang sempat kesulitan beradaptasi di Inggris, akhirnya menemukan sentuhannya dengan torehan gol dalam empat laga liga berturut-turut. Sementara Alejandro Garnacho mencuri sorotan lewat dua gol ke gawang West Ham.
Selebrasi mereka pun ikonik. Garnacho duduk di papan iklan depan Sir Alex Ferguson Stand, lalu disusul Mainoo dan Hojlund di sisinya.
Jepretan kamera mengabadikan gambar yang kemudian jadi headline di berbagai media dunia. Trio ini bahkan dijadikan wajah promosi seragam baru MU musim 2024/25.
Garnacho dan Mainoo ikut mencetak gol di final Piala FA yang mengejutkan Manchester City dan memberi sedikit pelipur lara di musim mengecewakan era Erik ten Hag. Di titik itu, masa depan MU seolah ada di tangan mereka.
Namun, cepat sekali keadaan berubah. Memasuki akhir musim panas 2025, jalan ketiga pemain itu di bawah pelatih baru Ruben Amorim justru suram. Bagaimana bisa?
Garnacho: dari Copa America ke Pintu Keluar Old Trafford
Selepas musim 2023/24, Garnacho makin melejit bersama Timnas Argentina yang menjuarai Copa America 2024. Ia bahkan membuka musim dengan gol ke gawang Manchester City di Community Shield, meski MU akhirnya kalah lewat adu penalti.
Optimisme tinggi langsung menghampiri Old Trafford, apalagi di tengah pemecatan Ten Hag.
Namun, sikap percaya diri Garnacho justru tidak sejalan dengan selera Amorim. Ia sempat dicoret dari skuad pada derbi Manchester, lalu berjuang kembali masuk tim. Bahkan sempat jadi starter reguler di 25 laga.
Namun, di final Liga Europa kontra Tottenham, ia hanya duduk di bangku cadangan. Di pekan pamungkas melawan Aston Villa, namanya kembali dicoret.
Hanya seminggu kemudian, Amorim terang-terangan memberi tahu bahwa Garnacho dipersilakan hengkang. Ia bahkan tidak dibawa dalam tur pramusim.
Transfer ke Chelsea yang lama diisukan tampaknya tinggal menunggu waktu.
Mainoo: Anak Emas Publik, Tersandung Skema Amorim
Bagi fans MU, kehilangan Mainoo akan jadi pukulan paling menyakitkan. Pemain asli Manchester ini tumbuh dari akademi klub dan langsung jadi andalan Inggris di Euro 2024. Ia membawa stabilitas ke lini tengah timnas yang ketika itu berantakan, bahkan ikut tampil di final kontra Spanyol.
Masalahnya, posisi Mainoo tidak sesuai dengan sistem 3-4-2-1 yang dipegang teguh Amorim. Ia pernah dicoba sebagai gelandang serang, tetapi posisi itu kini diisi Bryan Mbeumo dan Matheus Cunha.
Di lini tengah, ia harus bersaing langsung dengan kapten Bruno Fernandes, sebuah misi nyaris mustahil jika bicara produktivitas. Posturnya juga dianggap kalah fisik dibanding gelandang bertahan seperti Manuel Ugarte maupun Casemiro.
Situasi inilah yang membuat Mainoo mulai goyah. Menurut laporan The Athletic, sang gelandang muda kini terbuka dengan opsi hengkang.
Belum tentu jadi kenyataan, tetapi peluangnya makin nyata.
Hojlund: Kehilangan Kepercayaan, Tersisih di Depan Gawang
Kisah Hojlund berbeda. Bukan soal sikap, melainkan kepercayaan pelatih. Striker asal Denmark ini sebenarnya punya atribut fisik mumpuni, tetapi gagal meyakinkan. Musim lalu ia hanya mencetak empat gol liga dari 32 penampilan.
Kendati sempat tampil cukup baik di pramusim, Amorim tak lagi memberi kesempatan sejak kompetisi resmi bergulir. Mason Mount malah dipasang sebagai false nine, sementara Benjamin Sesko dan Joshua Zirkzee kini lebih dipercaya.
Nama Hojlund pun terlempar dari daftar prioritas. Kabar kembalinya ia ke Serie A makin kuat, dengan Napoli dan AC Milan disebut berminat mendatangkannya.
Dari Harapan ke Ketidakpastian
Apa yang semula disebut "tiga sahabat baru" MU kini justru menghadapi masa depan yang abu-abu.
Garnacho berada di ambang pintu keluar, Hojlund makin dekat dengan kepulangan ke Italia, dan Mainoo terjepit dalam sistem yang tak memberinya ruang.
Old Trafford pernah melihat banyak "false dawn" sejak era Ferguson berakhir, dan kisah trio muda ini tampaknya menambah satu catatan pahit lagi dalam perjalanan panjang MU.
Sumber: Sporting News