Arus Digital Disebut Jadi Pemicu Anak Terlibat Aksi Demo

KPAI ingatkan bahaya anak ikut demo. Arus digital jadi pemicu utama.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 06 September 2025, 06:20 WIB
Ilustrasi aksi unjuk rasa, protes, demonstrasi. (Photo by Wizurai Mahatma on Pexels)

Bola.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti meningkatnya jumlah anak yang ikut terlibat dalam aksi demonstrasi belakangan ini.

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, menilai fenomena tersebut tidak bisa dipandang sepele karena usia remaja merupakan fase krusial dalam pembentukan pola pikir dan seharusnya difasilitasi lewat ruang aman untuk menyampaikan aspirasi.

Advertisement

"Tren anak-anak dalam pusaran massa demonstrasi terus naik. Kalau kita perhatikan sejak 2014, 2019, hingga sekarang 2025, peningkatannya cukup drastis,” kata Jasra dalam keterangan yang diterima Jumat (5-9-2025).

Menurutnya, derasnya arus informasi di dunia digital menjadi satu di antara pintu masuk utama anak-anak terlibat aksi massa.

Sebagai kelompok pengguna media sosial terbesar, mereka mudah terpapar ajakan melalui pesan langsung (direct message/DM) atau terseret isu viral.


Penyaluran Aspirasi Lebih Sehat

Seorang pria memegang spanduk ikut serta dalam protes terhadap Korps Brigade Mobil, atau 'Brimob', menyusul tewasnya seorang pengemudi ojek pada malam sebelumnya, di depan Markas Besar Brimob di Jakarta pada 29 Agustus 2025. (YASUYOSHI CHIBA/AFP)

Lebih jauh, Jasra menilai fenomena fear of missing out (FOMO) juga berperan mendorong anak-anak mendatangi lokasi demo.

Ada yang sekadar ingin berfoto atau membuat konten, tetapi kondisi lapangan yang cepat berubah kerap menyeret mereka ke dalam situasi penuh amarah.

"Risikonya sangat tinggi, baik terpapar kekerasan fisik maupun psikis," ujarnya.

Keterlibatan anak dalam unjuk rasa, lanjut Jasra, tidak hanya berisiko menyebabkan luka fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis. Mereka kerap menghadapi stigma negatif dari sekolah, keluarga, maupun lingkungan sosial, apalagi bila sempat diamankan aparat.

"Anak terpapar dengan isu-isu politik dan kebijakan pemerintah terakhir yang dianggap dekat dengan kehidupannya. Bahkan ada yang langsung di-mention. Jadi, kalau kita dengarkan, ada perkataan-perkataan spontan keluar dari mulut kecil mereka dalam merespons situasi saat ini," jelasnya.

KPAI menilai kondisi ini memperlihatkan perlunya kanal penyaluran aspirasi anak yang lebih sehat.


Memperkuat Regulasi

Ilustrasi aksi unjuk rasa, protes, demonstrasi. (Photo by Muhammad Renaldi on Pexels)

Fenomena keterlibatan anak dalam demonstrasi sejak 2014 membuktikan bahwa isu politik tidak hanya dilihat dari kacamata orang dewasa, tetapi juga menyentuh perspektif generasi muda.

"Ada ajakan dari Presiden untuk tetap kritis, tapi tidak krisis. Saya kira pesan ini penting diteruskan kepada anak-anak di usia kritis ini," tegas Jasra.

Untuk itu, KPAI mendorong pemerintah memperkuat regulasi sekaligus koordinasi lintas lembaga.

Jasra menekankan pentingnya implementasi serius berbagai aturan, dari Undang-Undang Perlindungan Anak, UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, hingga pembatasan akses media sosial bagi anak.

"Jalanan bukan tempat bagi anak-anak menyampaikan pendapat. Risikonya sudah terlihat: setelah kejadian, banyak terungkap peristiwa memilukan, mulai dari korban jiwa hingga konflik hukum yang melibatkan anak," ucapnya.

Berita Terkait