Dulu Jadi Kebanggaan, Kini Pemain Lokal di Premier League Hampir Punah

Premier League kini hanya punya segelintir putra daerah, mengapa bisa begitu?

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 11 September 2025, 09:15 WIB
Liga Inggris - Ilustrasi logo klub Premier League musim 2025-2026. (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Jurgen Klopp pernah mengungkapkan ambisinya ingin meraih gelar bersama "tim penuh Scousers". Eddie Howe juga menyebut para Geordies di skuad Newcastle United sebagai sosok yang sangat istimewa karena membawa keunikan tersendiri.

Seruan "He's one of our own" kerap terdengar dari tribune di berbagai stadion Inggris. Namun, kini, jumlah pemain lokal dalam skuad Premier League makin menurun.

Advertisement

Contoh nyata terlihat pada derbi Manchester akhir pekan ini. Manchester City masih memiliki pemain asli kota, seperti Phil Foden, Nico O'Reilly, dan Rico Lewis. Sebaliknya, dengan Kobbie Mainoo tersisih, Manchester United diperkirakan tidak akan menurunkan satu pun pemain Mancunian di susunan inti.

Situasi serupa juga dialami Aston Villa. Setelah Jacob Ramsey dilepas ke Newcastle demi menyesuaikan aturan profit and sustainability (PSR), mereka kini tak memiliki pemain lokal di tim utama.

Leeds United pun demikian setelah Archie Gray hengkang ke Tottenham musim panas lalu, sementara adiknya, Harry, yang masih berusia 16 tahun belum naik level. Wolverhampton Wanderers dan Burnley juga berada di kondisi sama.

Fenomena empat klub bersejarah tanpa pemain lokal ini mencerminkan tren yang lebih luas: keberadaan pemain asli daerah makin jarang.


Dari 6,5 Jadi 2,7 Pemain Lokal per Klub

Manajer Manchester City asal Spanyol Pep Guardiola bereaksi dengan gelandang Inggris Phil Foden pada akhir pertandingan sepak bola Grup D Piala Dunia Antarklub 2025 antara Juventus Italia dan Manchester City Inggris di stadion Camping World di Orlando pada 26 Juni 2025. (PATRICIA DE MELO MOREIRA / AFP)

Data mempertegas tren ini. Pada musim 1995/96, rata-rata tiap klub Premier League memiliki 6,5 pemain lokal. Wimbledon bahkan punya 16 pemain asal London, sedangkan Tottenham Hotspur dan Chelsea juga dipenuhi talenta setempat.

Namun, era itu kini tinggal kenangan. "Putusan Bosman" pada Desember 1995, yang menghapus batas jumlah pemain Uni Eropa dalam skuad, mengubah peta sepak bola. Klub makin mudah merekrut pemain asing, terlebih setelah banjir dana dari kontrak siaran televisi Sky.

15 tahun kemudian, pada musim 2010/11, jumlah pemain lokal menyusut menjadi 3,7 per tim. Manchester City dan Bolton Wanderers bahkan tak punya satu pun.

Kini, di awal musim 2025/26, rata-rata pemain lokal per klub hanya 2,7. Aston Villa, Leeds, Wolves, dan Burnley sama sekali nihil. Nottingham Forest, Liverpool, dan Bournemouth hanya punya satu.


Identitas Lokal Masih Penting

Pemain Crystal Palace, Eberechi Eze merayakan kemenangan timnya atas Manchester City dalam laga final Piala FA yang berlangsung di Stadion Wembley, London, Inggris, Sabtu (17/05/2025). (AFP/Adrian Dennis)

Kendati angka kian menurun, pemain lokal tetap punya tempat spesial di hati suporter. Penelitian EFL menunjukkan 89 persen fans menganggap klub mereka bagian penting dari identitas sosial kota.

Survei FSA pada 2017 pun mencatat 78 persen suporter menilai keterwakilan pemain lokal itu penting.

Riset terbaru dari Sheffield Hallam University bahkan lebih tegas. Dari 64 klub Inggris, pernyataan dengan skor tertinggi adalah: "Saya bangga ketika pemain lokal dari akademi kami menembus tim utama", lebih tinggi daripada sekadar pemain akademi non-lokal.

Bukti nyata bisa dilihat pada momen-momen emosional. Gol Dan Burn, pemain kelahiran Blyth, di final Carabao Cup lalu sangat berarti bagi fans Newcastle. Begitu pula gol penentu kemenangan Eberechi Eze, putra asli London Selatan, di final Piala FA bagi pendukung Crystal Palace.

Sebaliknya, kepergian Trent Alexander-Arnold ke Real Madrid lebih sulit diterima fans Liverpool karena ia adalah putra kota.


PSR dan Pemain Lokal Jadi "Korban"

Pemain Everton, Ashley Young, berebut bola dengan pemain Newcastle United, Elliot Anderson, pada laga pekan ke-31 Liga Inggris di St. James' Park, Rabu (3/4/2024). (Owen Humphreys/PA via AP)

Lalu mengapa jumlah pemain lokal makin berkurang?

Selain efek Bosman, belakangan aturan PSR ikut berperan karena pemain lokal biasanya datang tanpa biaya transfer, penjualan mereka dicatat sebagai keuntungan murni di laporan keuangan.

Dalam 18 bulan terakhir saja, Chelsea melepas Conor Gallagher, Newcastle menjual Elliot Anderson, dan Aston Villa berpisah dengan Ramsey. Total nilai transfer ketiganya lebih dari 110 juta paun.

Kisah Anderson cukup menyayat hati. Ia bertanya kepada Howe, "Apakah saya benar-benar harus pergi?" dan dijawab bahwa kepergiannya bisa membantu menyelamatkan klub masa kecilnya.

Seorang direktur olahraga bahkan berkata, "Mungkin ini tak disengaja, tapi aturan ini memaksa klub menjual pemain terbaik mereka. Tradisi pemain lokal kini terancam."

Namun, tak semua karena PSR. Manchester City, misalnya, menjual Cole Palmer, James McAtee, Taylor Harwood-Bellis, dan James Trafford bukan karena aturan finansial, melainkan karena gagal menembus tim utama Pep Guardiola.


Persaingan Akademi dan Perburuan Dini

Pemain Liverpool, Rio Ngumoha, bereaksi setelah mencetak gol dalam pertandingan Liga Inggris melawan Newcastle di St James' Park, Inggris, Selasa (26 Agustus 2025). (AP Photo/Jon Super)

Faktor lain yang tak kalah besar adalah perekrutan pemain muda sejak usia belia. Klub-klub besar kini saling memburu talenta remaja dari akademi lain.

Liverpool, misalnya, merekrut Trey Nyoni dari Leicester dan Rio Ngumoha dari Chelsea. Manchester United mendatangkan Chido Obi dan Ayden Heaven dari Arsenal. Chelsea merekrut Shim Mheuka dari Brighton dan Isaac McGillvary dari Manchester City.

Fenomena ini membuat peluang pemain lokal akademi asli daerah kian menipis. Newcastle menjadi contoh ekstrem, merekrut belasan remaja dari berbagai klub dalam dua tahun terakhir demi memperkuat akademi.

Akibatnya, untuk menembus tim utama, pemain lokal tak hanya harus jadi yang terbaik di daerahnya, tetapi juga bersaing dengan talenta dari seluruh Inggris bahkan luar negeri.


Identitas Lokal yang Makin Samar

Gelandang Chelsea asal Argentina #08, Enzo Fernandez (kiri), berebut bola dengan gelandang Manchester United asal Inggris #37, Kobbie Mainoo, selama pertandingan Liga Primer Inggris antara Chelsea dan Manchester United di Stamford Bridge di London pada Sabtu, 17 Mei 2025 dini hari WIB. Setan Merah kalah 0-1 dari The Blues. (HENRY NICHOLLS/AFP)

Regulasi homegrown UEFA maupun Premier League hanya menekankan pada pemain hasil didikan akademi domestik, bukan pemain asli kota atau daerah. Akibatnya, makna "lokal" kian kabur.

Kini, muncul pertanyaan: apakah kebanggaan komunitas hanya berasal dari kemenangan, atau dari melihat putra daerah tampil di lapangan?

Para pelatih dan direktur olahraga mungkin lebih memilih kemenangan.

Namun, seiring klub-klub Premier League makin fokus pada margin tipis dan perekrutan dini, ada sesuatu yang terasa hilang, keterhubungan emosional antara klub dan kota melalui sosok pemain lokal.

 

Sumber: NY Times

Berita Terkait