Bola.com, Jakarta - Dua laga perdana Gennaro Gattuso sebagai pelatih Timnas Italia menghadirkan banyak cerita. Dari kemenangan telak hingga kekacauan di lini belakang, Azzurri tampil berani menyerang, tetapi memperlihatkan kelemahan yang jarang terlihat dalam sejarah mereka.
Pada laga pertama, Sabtu (6-9-2025) dini hari WIB, Italia baru bisa membuka kebuntuan hampir satu jam sebelum akhirnya menekuk Estonia 5-0. Mereka melepaskan 40 tembakan dengan catatan expected goals (xG) mencapai 4,74.
Sulit memastikan apakah itu rekor, mengingat data statistik tidak mencatat sejauh itu, tetapi jelas sebuah performa ofensif luar biasa.
Empat hari berselang, giliran Israel yang dihadapi. Italia menang 5-4, tetapi jalannya pertandingan penuh drama.
Azzurri kebobolan dua gol dalam tiga menit terakhir waktu normal, bahkan mencetak dua gol bunuh diri. Baru pada masa tambahan waktu mereka memastikan kemenangan.
Itu menjadi kali pertama Italia kebobolan empat gol di kualifikasi Piala Dunia, dan pertama kali dalam setengah abad mereka mencetak dua gol bunuh diri dalam satu pertandingan.
"Kami ini tim gila; kami kebobolan gol-gol absurd!' geram Gattuso selepas laga.
Identitas Bertahan Italia Dipertanyakan (1)
Siapa pun yang menonton laga itu, bahkan hanya cuplikan, akan sependapat dengan Gattuso. Italia memang tampil agresif, positif, dan efektif dalam menyerang. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah agresivitas itu membuat mereka lupa bagaimana cara bertahan?
Pertanyaan ini terasa ironis, mengingat Italia dikenal sebagai negara dengan tradisi pertahanan kukuh.
Empat kali juara dunia, dan sejak 1950-an identitas mereka dibangun di atas kecerdikan taktik serta lini belakang yang legendaris. Nama-nama seperti Chiellini, Bonucci, Cannavaro, Baresi, Maldini, hingga Bergomi menjadi simbolnya.
Persis hal itulah yang justru absen saat menghadapi Israel, bahkan sebelumnya juga terselip melawan Estonia.
Contoh nyata terlihat di menit kelima ketika Gianluigi Donnarumma salah mengantisipasi bola dan hampir saja membuat gol bunuh diri. VAR menyelamatkan karena wasit Slavko Vincic menemukan pelanggaran tipis pada kapten Italia.
Namun, keberuntungan tak bertahan lama. Manuel Locatelli melakukan sapuan salah yang berakhir menjadi gol bunuh diri. Dor Peretz kemudian menambah keunggulan Israel setelah tiga bek Italia hanya berdiri terpaku.
Identitas Bertahan Italia Dipertanyakan (2)
Alessandro Bastoni juga tak luput, dengan salah potong bola yang kembali menghasilkan gol ke gawang sendiri. Gol keempat Israel lahir dari kesalahan kolektif pertahanan yang membiarkan lawan menyundul bebas di tiang jauh.
Kesalahan itu bukan sekadar insiden individu. Italia selama satu dekade terakhir memang tak selalu konsisten, bahkan absen di dua Piala Dunia terakhir. Namun, mereka jarang sekali kebobolan dengan cara seceroboh itu.
Unggul 4-2 di menit ke-87, mereka masih bisa dikejar menjadi 4-4 sebelum akhirnya mencetak gol penentu di penghujung laga.
"Kami harus fokus sampai peluit akhir. Pertandingan belum selesai sebelum benar-benar selesai. Saya tahu itu lebih dari siapa pun karena saya bagian dari tim yang unggul 3-0 di final Liga Champions lalu kalah," kata Gattuso, mengingat kembali tragedi AC Milan melawan Liverpool di Istanbul 2005.
Tentu, comeback di final Liga Champions adalah keajaiban besar. Namun, kebobolan dua gol dalam tiga menit saat menghadapi Israel jelas bukan hal yang bisa dimaklumi.
Ditekan Israel, Sistem Gattuso Dipermainkan
Yang lebih jarang terlihat lagi: Italia kalah secara taktik. Biasanya jika Azzurri gagal, itu karena lawan lebih bertalenta atau karena mereka terlalu berhati-hati. Namun, kali ini, Israel mampu mengeksploitasi kelemahan mereka.
Pelatih Ran Ben Shimon menurunkan trio penyerang cair yang membuat bek Italia kebingungan, menerapkan pressing tinggi yang sulit diatasi lini tengah, serta memanfaatkan sistem hibrida Gattuso yang kerap meninggalkan Fede Dimarco sendirian menjaga sisi kiri.
Keberanian Menyerang ala Gattuso
Di sisi lain, keberanian menyerang Italia patut diapresiasi. Gattuso menurunkan dua penyerang murni, Moise Kean dan Mateo Retegui, yang ditempatkan berdekatan agar sering mendapat suplai bola.
Para pemain sayap didorong untuk terus menantang lawan, sementara bek diberi kebebasan maju membangun serangan hingga masuk ke lini tengah.
Pendekatannya sederhana. Tak seperti Roberto Mancini atau Luciano Spalletti yang dikenal dengan pendekatan taktik rumit, Gattuso lebih lugas. Sebagai gelandang pekerja keras di masa lalu, gaya kepelatihannya pun mencerminkan hal itu.
Rekam jejaknya di klub memang naik-turun: pernah dipecat di Hajduk Split, Marseille, Valencia, gagal bawa Milan ke Liga Champions, dan hanya sempat membawa Napoli juara Coppa Italia sebelum dilepas.
Namun, Gattuso kini mencoba menyalurkan energi dan emosinya lebih konstruktif. Dalam dua pertandingan saja, ia sudah mengubah wajah Timnas Italia secara drastis, entah sengaja atau tidak.
Italia yang Berbeda
Azzurri kini tampil jauh dari identitas lamanya. Tetapi, jika menilik masa lalu terbaru mereka, dua Piala Dunia ditonton dari rumah, mungkin perubahan ini tak sepenuhnya buruk.
Mustahil mereka bertahan seburuk itu di laga berikutnya, apalagi dengan pemain seperti Bastoni dan Donnarumma yang levelnya kelas dunia.
Gattuso memang dipilih karena ketersediaannya dan gaji yang lebih murah ketimbang pendahulunya.
Namun, motivasi besar dan sikap rendah hatinya bisa jadi modal penting, dan jika dua laga awal menjadi gambaran, perjalanan Italia bersama Gattuso tampaknya akan penuh warna dan kejutan.
Sumber: ESPN