Bola.com, Jakarta - Di tengah ketidakpastian lapangan kerja dan tekanan ekonomi yang memberatkan di Indoneisa, ada fenomena yang mencuat. Fenomena tersebut disebut job hugging. Apakah itu?
Fenomena job hugging adalah pilihan seseorang tetap bertahan dalam satu pekerjaan yang tengah dijalani, meskipun sudah tidak memiliki minat dan motivasi dalam pekerjaan itu.
Fenomena job hugging ini terpaksa dilakukan untuk bertahan hidup di mana ketidakpastian lapangan kerja kerap kali membayangi. Maraknya ancaman PHK massal dan tekanan ekonomi yang semakin memberatkan masyarakat juga membuat fenomena job hugging ini dipilih banyak orang.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Prof. Tadjuddin Noer Effendi, mengungkapkan fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru. Fenomena ini dinilai Tadjuddin sudah ada sejak dahulu.
Keamanan Finansial dan Stabilitas
Tadjuddin menyebut zituasi pasar kerja yang cukup sulit, menjadi salah satu faktor masyarakat cenderung bertahan pada pekerjaannya. Pilihan pekerjaan baru tidak ada dan dianggap berisiko.
“Mencari pekerjaan baru memiliki risiko yang tinggi, maka mereka cenderung memilih bertahan,” kata Tadjuddin, Kamis (18/9).
Selain itu, faktor keamanan finansial dan stabilitas menjadi alasan paling dominan dalam job hugging meskipun situasi kerja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tadjuddin menganalogikan dengan situasi para pekerja saat ini dengan pepatah 'Berharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan'.
“Lebih baik bertahan dengan pekerjaan yang ada saat ini daripada mengambil keputusan yang cukup berisiko dan belum pasti untuk ke depannya,” urai Tadjuddin.
Situasi Kerja Terkini
Tadjuddin membeberkan situasi pasar kerja dalam lima tahun belakangan ini yang tidak menentu. Angka pengangguran tinggi, daya beli rendah, laju ekonomi yang melambat. Permasalahan ini juga memiliki efek domino terhadap serapan tenaga kerja baru terutama untuk fresh graduate.
“Nah, inilah yang menyebabkan tingginya angka pengangguran. Saat ini mencapai 7,4 persen dan tertinggi di Asia Tenggara. Mayoritas dari pengangguran adalah usia pencari kerja antara usia 15 - 24 tahun,” terang Tadjuddin.
Jalan pintas yang saat ini banyak dipilih adalah dengan menambah pekerjaan di samping melakoni pekerjaan utama. Hal itu dilakukan daripada harus mengambil resiko dengan melepaskan pekerjaan lama untuk mencari pekerjaan baru yang belum pasti.
“Masyarakat lebih memilih untuk menambah pemasukan dari pekerjaan sampingan seperti freelance atau bisnis kecil-kecilan,” tutup Tadjuddin.