Wacana Penerapan Tax Amnesty Jilid 3 Dikritik, Hanya Untungkan Pengusaha Besar

Wacana penerapan kembali tax amnesty, jika terealisasi akan berlabel jilid 3, menuai sorotan. Kali ini, kritikan datang dari Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.

BolaCom | Yus Mei SawitriDiterbitkan 21 September 2025, 17:10 WIB
Sejumlah orang menunggu untuk mengikuti program tax amnesty di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (30/9). Hari terakhir ‎program tax amnesty banyak masyarakat memadati kantor pajak. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Bola.com, Jakarta - Wacana penerapan kembali tax amnesty, jika terealisasi akan berlabel jilid 3, menuai sorotan. Kali ini, kritikan datang dari Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.

Advertisement

Ia menyoroti terkait pengampunan pajak atau tax amnesty yang masuk ke dalam Prolegnas prioritas 2025. Padahal sebelumnya kebijakan tersebut tidak cukup efektif meningkatkan tingkat kepatuhan pajak jangka panjang.

Menurut Achmad, pengampunan pajak berpotensi memberi peluang terbesar bagi pemilik modal besar untuk “membersihkan” kepatuhan mereka dengan membayar denda atau tarif khusus. Di sisi lain pelaku usaha menengah dan kecil yang selama ini taat administrasi tidak pernah memperoleh fasilitas serupa.

"Mengapa DPR kembali menempatkan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas prioritas 2025, padahal pengalaman lalu menunjukkan efeknya tidak selalu positif bagi kepatuhan jangka panjang?" kata Achmad dalam keterangannya, Minggu (21/9/2025).

Maka, ketika yang taat merasa tidak mendapat imbalan atas kepatuhan mereka, muncul ketidakadilan prosedural yang mengikis rasa keadilan fondasi penting bagi ketaatan pajak sukarela.

"Analoginya sederhana: bayangkan sekolah memberi pengampunan kepada siswa yang ketahuan mencontek; cukup membayar denda kecil dan nilai diperbaiki. Siswa yang belajar jujur tentu merasa dirugikan. Lebih berbahaya, kebijakan seperti itu memberi insentif bagi perilaku menunda ketaatan karena harapan adanya amnesti di masa depan," jelasnya.

Dalam skala makro, moral hazard ini membuat kepatuhan sukarela melemah efek yang jauh lebih mahal dibandingkan suntikan penerimaan sekali pakai.

 

 


Efeknya Sering Temporer dan Selektif

Sebuah banner terpasang di depan pintu masuk kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Minggu (25/9). Mendekati hari akhir periode pertama, Kantor Pajak membuka pendaftaran pada akhir pekan khusus melayani calon peserta tax amnesty. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Achmad menjelaskan berdasarkan pengalaman tax amnesty sebelumnya menunjukkan deklarasi besar dan pemasukan tebusan sesaat tidak otomatis berujung pada perbaikan kepatuhan jangka panjang.

Efeknya sering bersifat temporer dan selektif, modal yang mampu mengakses skema administrasi, konsultan, dan struktur hukum kompleks cenderung mendapatkan manfaat lebih besar.

"Sementara itu, basis ekonomi yang lebih luas usaha mikro, kecil, pekerja berpendapatan menengah tetap menanggung beban kepatuhan tanpa kompensasi," ujarnya.

 


3 Dampak Tax Amnesty

Pengusaha Nasional Murdaya Poo dan Ka Kanwil DJP Jak-Sel I, Sakli Anggoro saat menandatangani laporkan harta kekayaan sebagai peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) di Kantor Kanwil DJP Pajak, Jakarta, Senin (19/9). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menurut Achmad terdapat beberapa yang perlu dicermati terkait rencana penerapan kebijakan tax amnesty. Pertama, pengulangan wacana tax amnesty memberi sinyal inkonsistensi kebijakan, yakni jika amnesty menjadi opsi periodik, kepatuhan sukarela akan menurun.

Kedua, desain teknis RUU cenderung menentukan siapa yang menang, yaitu mekanisme pelaporan yang kompleks dan akses ke penasihat mahal memfavoritkan pemain besar.

Ketiga, dampak legitimasi. Publik yang merasakan ketimpangan akan kehilangan kepercayaan pada institusi fiskal dan legislatif, yang akhirnya menurunkan efektivitas kebijakan fiskal lain yang sejatinya dirancang untuk kepentingan umum.

"Sebagai ekonom dan pengamat kebijakan publik, saya menegaskan tax amnesty yang menguntungkan yang besar dan menekan pelaku menengah serta kecil bukanlah solusi ia adalah jebakan manis yang harus ditolak demi masa depan fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan," pungkasnya. 

Sumber: Merdeka.com