Kemenangan Ballon d'Or Dembele Jadi Pertanda Era Baru Sepak Bola

Paris jadi saksi, Ousmane Dembele dan Lamine Yamal hidupkan kembali magis sepak bola jalanan.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 23 September 2025, 12:00 WIB
Penyerang Paris Saint-Germain asal Prancis, Ousmane Dembele, bereaksi setelah menerima penghargaan Ballon d'Or dalam upacara penghargaan Ballon d'Or 2025 di Theatre du Chatelet, Paris, Selasa (23-9-2025) dini hari WIB. (Franck FIFE/AFP)

Bola.com, Jakarta - Hampir enam dekade setelah Ballon d'Or pertama kali digelar, di tengah keluhan banyak pihak soal sepak bola modern yang makin kaku karena sistem, teknologi, serta strategi tim yang saling meniadakan, justru dua pemain dengan gaya jalanan, Ousmane Dembele dan Lamine Yamal, tampil sebagai pusat perhatian.

Gaya bermain penuh tipuan tubuh, anarki menyerang, dan sensasi yang membangkitkan euforia membuat keduanya bersaing ketat hingga mendominasi pemungutan suara penghargaan bergengsi ini.

Advertisement

Dembele keluar sebagai pemenang setelah mengantar Paris Saint-Germain (PSG) meraih treble bersejarah, termasuk gelar Liga Champions perdana klub.

Keberhasilan itu membuatnya unggul tipis atas Yamal, remaja Genius asal Katalonia yang kini tercatat sebagai pemain termuda dalam sejarah, hanya 18 tahun, yang berhasil naik podium Ballon d'Or, melampaui rekor Ronaldo Nazario, Lionel Messi, dan Gianni Rivera yang sebelumnya mencapainya di usia 20 tahun.

Posisi ketiga ditempati Vitinha. Gelandang Portugal itu tampil gemilang dengan memenangkan treble bersama PSG dan menambah gelar Nations League, tetapi pencapaiannya tetap tertutup oleh dua pesaing di atasnya.


Kembali ke 1956

Pemain Paris Saint-Germain (PSG), Ousmane Dembele, merayakan gol yang dicetaknya ke gawang Arsenal dalam leg pertama semifinal Liga Champions di Emirates Stadium, Rabu (30/4/2025) dini hari WIB. (Adam Davy/PA via AP)

Gaung Ballon d'Or tahun ini mengingatkan kembali pada edisi perdana 1956, ketika tiga maestro; Sir Stanley Matthews, Alfredo Di Stefano, dan Raymond Kopa, dikenang sebagai pemain terbaik dunia.

Mereka sama-sama dikenal penuh trik, berani menantang bek, dan menghipnotis penonton di stadion, jauh sebelum sepak bola disiarkan secara masif lewat televisi dan internet.

Kini, meski sepak bola modern dijejali taktik berbasis data dan kecerdasan buatan, publik tetap terpikat pada sosok-sosok yang mampu menghadirkan kejutan.

Dalam konteks ini, Dembele dan Yamal dijuluki sebagai pesepak bola "Rhinestone Cowboys" penipu ulung di lapangan yang membuat bek salah langkah dengan gerakan bahu, pinggul, dan tatapan mata.

"Kenangan pertama saya bukan di stadion, tapi di taman kota," tutur Dembele dalam wawancara dengan Champions Journal.

"Kami sering menendang bola ke tembok, bermain sepanjang hari sampai lecet dan berdarah."


"Beda" Dembele dan Yamal

Pemain berusia 28 tahun itu mengungguli wonderkid Barcelona, Lamine Yamal, dan rekan setimnya di PSG, Vitinha, dalam pemungutan suara. (AP Photo/Thibault Camus)

Pengalaman bermain jalanan di Vernon, di tepian Sungai Seine, kini membentuk dirinya sebagai pemain yang mampu tampil di bawah tekanan miliaran pasang mata dengan nilai ekonomi yang juga miliaran euro.

Latar belakang serupa juga pernah diceritakan Frank Rijkaard saat melatih Barcelona dua dekade lalu. Menurutnya, sepak bola jalanan di Amsterdam melatih pemain untuk bertahan hidup dengan trik, adu satu lawan satu, hingga pemenangnya dijuluki sebagai "raja".

Dari sekolah sepak bola jalanan itulah Dembele dan Yamal lahir.

Yang membedakan, Dembele kerap dianggap sebagai talenta terlambat matang. Bertahun-tahun ia digambarkan sebagai pemain bertalenta luar biasa, tetapi belum siap menghadapi ekspektasi besar.

Sebaliknya, Yamal seakan "lahir sudah siap". Di usia belasan, ia mampu menatap rekan setim yang jauh lebih senior dan sadar bahwa kualitasnya sudah setingkat di atas.


Sosok Xavi

Aksi Lamine Yamal pada laga pramusim antara Barcelona vs Como 1907 (Dok. @FCBarcelona)

Perjalanan keduanya juga berbeda. Saat berusia 18 tahun pada 2015, Dembele hanya dipandang berpotensi sebagai satu di antara pemain akademi Manchester City.

Yamal, di usia yang sama, sudah menjadi juara Eropa, mencetak gol terbaik Euro 2024, dan memikat klub-klub raksasa sejak masih 15 tahun.

Keduanya punya benang merah lain: peran Xavi Hernández. Pelatih Barcelona itu sempat menyatakan, "Saya bisa menjadikan Ousmane Dembele pemain terbaik dunia."

Pernyataan yang awalnya ditanggapi dengan tawa oleh direksi klub, kini terbukti setelah sang winger berubah menjadi andalan PSG.

Xavi pula yang mempercepat debut Yamal di Camp Nou pada usia 15 tahun, setelah menolak tawaran besar dari Bayern Munchen demi mempertahankan bintang mudanya.


Semangat Sepak Bola Jalanan

Pemain muda Barcelona, Lamine Yamal, meraih Kopa Trophy 2025, penghargaan pemain muda terbaik dalam malam gala Balloon d'Or 2025 di Theatre du Chatelet, Paris, Selasa (23/9/2025) dini hari WIB. (Franck FIFE / AFP)

Kendati hanya sekali bermain bersama di Barcelona, jejak keduanya kini terpatri di puncak sepak bola dunia. Dembele, 28 tahun, akhirnya menjawab keraguan dan meraih Ballon d'Or. Yamal, 18 tahun, menorehkan sejarah sebagai talenta termuda di podium.

Tahun ini, para pemilih Ballon d'Or tak hanya menilai delapan trofi yang mereka kumpulkan, tetapi juga menyukai cara mereka menghidupkan kembali semangat sepak bola jalanan; berani, penuh risiko, dan menghibur.

Paris pun menjadi saksi lahirnya era baru: Ousmane Dembele di posisi pertama, Lamine Yamal kedua, dan Vitinha ketiga.

Namun, satu hal tetap sama sejak 1956: sepak bola adalah tentang keberanian, kejutan, dan mereka yang menipu bek dengan bahasa tubuh. Vive Dembele, viva Lamine Yamal.

 

Sumber: ESPN

Berita Terkait