Bola.com, Jakarta - Barcelona tampaknya harus menahan napas terkait kondisi bintang muda mereka, Lamine Yamal. Pemain berusia 18 tahun itu tengah menjalani masa istirahat akibat cedera pangkal paha yang dialami saat Barcelona kalah dari Paris Saint-Germain di Liga Champions pekan lalu.
Cedera tersebut bisa jadi hanyalah nasib buruk yang sering dialami pesepak bola di level tertinggi. Namun, melihat beban luar biasa besar yang dijalani Yamal sejak debut di usia 15 tahun, kekhawatiran ia mengalami burnout, kelelahan fisik dan mental akibat beban berlebihan, yang semakin besar.
Sejak debutnya melawan Real Betis pada April 2023, Lamine Yamal sudah mencatatkan 130 pertandingan senior dengan total 8.158 menit bermain sebelum mencapai usia 18 tahun. Tak ada pemain elite lain di dunia yang mendekati angka itu pada usia yang sama.
Sebagai perbandingan, rekan setimnya Pau Cubarsí baru tampil 69 kali, sementara Gavi dan Pedri masing-masing mencatat 60 dan 49 laga. Di luar Barcelona dan timnas Spanyol pun, angka Yamal tetap luar biasa tinggi.
Prestasinya yang luar biasa membuatnya meraih penghargaan Golden Boy 2024, gelar bergengsi bagi pemain U-21 terbaik Eropa. Namun di balik pujian itu, para pakar menilai beban fisik Yamal bisa berakibat fatal bagi karier jangka panjangnya.
FIFPRO, asosiasi pemain sepak bola dunia, bahkan menggunakan kasus Yamal dalam laporan berjudul “Overworked and Underprotected: Player Health and Performance Impact” untuk menyoroti bahaya kelelahan ekstrem pada pemain muda.
“Intensitas permainan modern sudah cukup berat bagi pemain profesional, apalagi untuk mereka yang masih berusia 16–20 tahun,” ujar Dr. Darren Burgess, Ketua Jaringan Kinerja Tinggi FIFPRO.
“Tubuh dan pikiran mereka masih berkembang. Jika dipaksakan, dampaknya bisa panjang bagi performa dan karier,” lanjut Burgess.
Lebih Cepat dari Lukaku dan Bellingham
Lamine Yamal menjadi pemain termuda dalam sejarah yang mencapai 100 penampilan senior, yaitu di usia 17 tahun 7 bulan, melampaui rekor Romelu Lukaku yang mencapainya empat bulan lebih tua.
Sebagai perbandingan, Jude Bellingham baru mencatat 100 laga di usia 18 tahun 10 bulan, sementara Pedri dan Gavi tertinggal jauh dalam hal menit bermain di usia yang sama.
Namun, pencapaian luar biasa itu datang dengan harga mahal. Menurut data Transfermarkt, Lamine Yamal telah melewatkan 18 pertandingan akibat cedera sejak debutnya, dengan total 133 hari absen.
Jika diagnosis terbaru mengonfirmasi cedera serius, ia bisa menepi hingga satu bulan — termasuk absen di kualifikasi Piala Dunia bersama Spanyol dan kemungkinan besar El Clasico melawan Real Madrid pada 26 Oktober mendatang.
Pelatih Barcelona Hansi Flick pun mengakui situasi ini memerlukan perhatian khusus.
“Kami belum tahu kapan Yamal bisa kembali. Ini bukan cedera otot biasa, jadi kami harus berhati-hati dan mengatur menit bermainnya,” ujar Flick.
Ketegangan Barcelona dan Timnas Spanyol
Hubungan antara Barcelona dan Timnas Spanyol kini memanas. Hansi Flick menuding staf pelatih Timnas Spanyol terlalu memaksakan Yamal bermain meski sang pemain sudah merasa nyeri.
“Dia pergi ke tim nasional dalam kondisi sakit dan masih diberi suntikan pereda nyeri agar bisa bermain 70-an menit. Itu bukan cara yang tepat untuk melindungi pemain muda,” tegas Flick.
Pelatih Spanyol Luis de la Fuente membalas dengan nada heran.
“Saya terkejut dengan komentarnya. Sebagai mantan pelatih tim nasional, seharusnya Flick lebih memahami situasinya.”
Polemik seperti ini bukan hal baru. Sebelumnya, Wayne Rooney dan Michael Owen juga menghadapi tekanan serupa pada usia muda, bermain terus-menerus untuk klub dan negara hingga akhirnya karier mereka menurun tajam sebelum usia 30 tahun.
Peringatan Serius dari Pakar Kesehatan Olahraga
Menurut Dr. Burgess, risiko cedera berulang meningkat drastis bila pemain remaja dibebani latihan dan pertandingan dengan intensitas orang dewasa.
“Tulang, ligamen, dan jaringan otot mereka masih rapuh. Tanpa waktu pemulihan cukup, cedera kecil bisa menjadi masalah kronis yang mengakhiri karier lebih awal,” jelasnya.
Yamal adalah aset masa depan Barcelona dan Spanyol, calon pewaris tahta Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Namun, untuk mewujudkannya, kedua pihak harus berhenti memperlakukannya seperti pemain matang.
“Jika dunia sepak bola serius ingin membina generasi berikutnya, maka prioritasnya harus pada pengembangan, bukan eksploitasi. Hanya dengan begitu para talenta muda hari ini bisa menjadi bintang bertahan di masa depan.”
Sumber: ESPN