Ilmuwan Ingatkan Ancaman Letusan Gunung Berapi Terpencil yang Dapat Berdampak Luas

Ilmuwan memperingatkan ancaman ledakan gunung berapi terpencil yang berpotensi memicu dampak global.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 30 November 2025, 13:20 WIB
Ilustrasi gunung berapi. (Photo by Ben Turnbull on Unsplash)

Bola.com, Jakarta - Pakar vulkanologi menyoroti potensi bahaya dari gunung berapi yang jarang dipantau, yang justru bisa memicu letusan besar dengan dampak global.

Risiko ini dinilai lebih serius dibandingkan ancaman dari gunung-gunung aktif yang selama ini menjadi sorotan publik, seperti Etna di Italia atau Yellowstone di Amerika Serikat.

Advertisement

Peringatan tersebut disampaikan vulkanolog, Mike Cassidy, melalui analisis terbarunya.

Cassidy menekankan adanya gunung berapi "tersembunyi" di lokasi terpencil yang selama ini dianggap tidak aktif dan minim pengawasan.

Ia mengemukakan bahwa gunung berapi yang berada jauh dari pusat pemantauan, terutama di kawasan rawan seperti lingkar Pasifik dan wilayah Amerika Selatan, memiliki kecenderungan meletus besar tanpa terdeteksi lebih awal.

Menurutnya, dalam rentang tujuh hingga sepuluh tahun, letusan besar dari gunung berapi dengan riwayat aktivitas yang sangat jarang dapat terjadi tanpa tanda-tanda awal yang jelas.


Contoh Peristiwa

Foto yang dirilis oleh Biro Komunikasi Pemerintah Afar ini menunjukkan warga menyaksikan abu yang membubung dari letusan Gunung Berapi Hayli Gubbi yang telah lama tidak aktif di wilayah Afar, Ethiopia, pada Minggu (23/11/2025). (Biro Komunikasi Pemerintah Afar via AP)

Cassidy mencontohkan letusan Gunung Hayli Gubbi di Ethiopia belum lama ini, letusan pertama dalam 12.000 tahun.

Peristiwa itu memuntahkan kolom abu setinggi 8,5 mil, dengan sebaran material vulkanik yang mencapai Yaman dan menyentuh ruang udara India bagian utara.

Kejadian serupa pernah tercatat pada 1982 ketika Gunung El Chichon di Meksiko meledak setelah ratusan tahun tidak menunjukkan aktivitas. Ledakan mendadak tersebut merusak kawasan hutan, bangunan, dan menewaskan lebih dari 2.000 orang.

Abu vulkaniknya terbawa angin hingga Guatemala, sementara sulfur yang dilepaskan ke atmosfer memicu penurunan suhu global dan pergeseran pola hujan di Afrika, yang kemudian turut memperparah krisis kelaparan Ethiopia pada 1983-1985.

"Banyak ilmuwan tidak menyadari bahwa gunung berapi kecil dan terpencil pun bisa memicu dampak global," ujar Cassidy.


Persepsi "Gunung Tenang Berarti Aman" Dipertanyakan

Cassidy menilai bias psikologis turut memengaruhi rendahnya perhatian terhadap gunung berapi yang telah lama tidak meletus.

Bias nornalitas membuat publik menganggap gunung yang tampak tenang sebagai gunung yang aman. Sementara itu, availability heuristic mendorong fokus berlebihan kepada gunung-gunung yang lebih terkenal dan sering muncul dalam pemberitaan.

Faktanya, tiga perempat letusan besar berasal dari gunung berapi yang tidak menunjukkan aktivitas selama lebih dari satu abad.

Namun, ironisnya, kurang dari separuh gunung berapi aktif yang ada di dunia dipantau secara memadai.


Upaya Global Tingkatkan Pengawasan

Cassidy menekankan bahwa persiapan yang matang mampu meminimalkan korban saat terjadi letusan.

Ia menyinggung keberhasilan mitigasi pada letusan Pinatubo di Filipina tahun 1991, Merapi di Indonesia tahun 2019, dan La Soufriere di Karibia pada 2021.

"Kita sering bertindak setelah bencana terjadi. Pola ini sangat berisiko," katanya. 

Menanggapi meningkatnya risiko letusan dari gunung berapi terpencil, Cassidy bersama sejumlah peneliti mendirikan Global Volcano Risk Alliance.

Organisasi ini berfokus pada peningkatan pemantauan gunung berapi, memberikan dukungan bagi negara berkembang, dan memperkuat kesiapsiagaan masyarakat di sekitar gunung dengan riwayat letusan yang minim.

"Perhatian dunia perlu diarahkan kepada gunung berapi yang kurang dipantau di Asia Tenggara, Afrika, Pasifik, dan Amerika Latin,” tegas Cassidy.

 

Sumber: merdeka.com

Berita Terkait