Populasi Terus Menyusut, China Kenakan Pajak Kondom demi Dorong Kelahiran

Populasi turun tajam, China memutuskan memajaki kondom demi mendorong angka kelahiran.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 05 Desember 2025, 09:20 WIB
Ilustrasi bayi baru lahir. (Photo created by KamranAydinov on www.freepik.com)

Bola.com, Jakarta - Pemerintah China akan mulai menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) pada obat-obatan dan alat kontrasepsi, termasuk kondom, mulai Januari 2026.

Kebijakan ini menandai perubahan besar setelah hampir tiga dekade produk-produk tersebut dibebaskan dari PPN sejak 1993, masa ketika Beijing masih menerapkan kebijakan satu anak dan pengendalian populasi secara ketat.

Advertisement

Dalam revisi terbaru Undang-Undang PPN, tarif sebesar 13 persen akan diberlakukan untuk berbagai jenis kontrasepsi.

Langkah tersebut dipandang sebagai bagian dari strategi pemerintah merespons anjloknya angka kelahiran yang kini menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah menyiapkan sejumlah insentif bagi keluarga muda. Layanan pengasuhan anak seperti daycare, pendidikan usia dini, hingga fasilitas bagi lansia dan penyandang disabilitas akan dibebaskan dari PPN.

Kebijakan pajak baru ini mencerminkan perubahan besar dalam dinamika demografi China. Populasi negara itu terus merosot selama tiga tahun terakhir.

Proyeksi kelahiran pada 2024 diperkirakan hanya sekitar 9,54 juta, jauh di bawah hampir 19 juta kelahiran satu dekade lalu ketika aturan satu anak resmi dicabut.

 


Membalikkan Tren

Ilustrasi pil KB dan kondom (Foto: freepik)

Untuk membalikkan tren negatif tersebut, pemerintah pusat sudah menggulirkan berbagai kebijakan mendukung angka kelahiran, dari bantuan tunai, subsidi pengasuhan anak, hingga perpanjangan cuti melahirkan dan cuti ayah.

Aturan baru yang menekan angka aborsi non-medis juga diterapkan, sebuah perubahan besar dibandingkan periode sebelumnya saat aborsi dan sterilisasi kerap dipaksakan demi membatasi jumlah penduduk.

Namun, tantangan tetap besar. Laporan YuWa Population Research Institute menunjukkan bahwa biaya membesarkan anak di China termasuk yang tertinggi di dunia, diperkirakan mencapai lebih dari 538.000 yuan (sekitar Rp1,2 miliar) hingga usia 18 tahun.

Tekanan ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, dan perubahan gaya hidup membuat banyak anak muda memilih menunda atau tidak memiliki anak sama sekali.

Demografer YuWa, He Yafu, menilai kebijakan pajak baru ini kecil kemungkinan memberi pengaruh instan.

"Menghapus pengecualian PPN hanya langkah simbolis. Namun, ini menunjukkan upaya pemerintah membentuk lingkungan sosial yang lebih ramah keluarga," ujar He Yafu.

 


Lonjakan Kasus HIV Picu Kekhawatiran

Ilustrasi penyakit HIV AIDS. (Photo by jcomp on Freepik)

Pengenaan PPN pada produk kontrasepsi diumumkan di tengah situasi yang dinilai ironis. Saat banyak negara mencatat penurunan kasus HIV, China justru melihat lonjakan signifikan.

Pakar menilai tren ini dipicu stigma kuat terhadap isu seksual serta minimnya edukasi kesehatan reproduksi sehingga banyak orang tidak memahami pentingnya perlindungan.

Data Pusat Pengendalian Penyakit China menunjukkan tingkat infeksi HIV dan AIDS meningkat dari 0,37 menjadi 8,41 per 100.000 penduduk antara 2002 dan 2021. Sebagian besar kasus baru disebabkan oleh hubungan seksual tanpa pengaman.

Pengumuman soal pajak kontrasepsi ini langsung menuai kritik tajam di Weibo. Warganet mengkhawatirkan bukan hanya risiko meningkatnya kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga bahaya penyebaran penyakit menular seksual.

"Saat infeksi HIV di kalangan anak muda terus naik, menambah beban biaya seperti ini tampaknya keputusan yang keliru," tulis seorang pengguna.

Ada pula yang menilai kebijakan ini tidak memperhitungkan kondisi sosial masyarakat.

Sebagian warganet meragukan bahwa pajak baru akan berpengaruh pada keputusan orang untuk memiliki anak karena harga kondom bukan akar persoalan rendahnya fertilitas.

"Kalau membeli kondom saja sudah terasa mahal, bagaimana seseorang mampu menanggung biaya membesarkan anak?" tulis pengguna lain, menegaskan bahwa masalah fertilitas di China jauh lebih kompleks dibanding sekadar biaya alat kontrasepsi.

 

Sumber: merdeka.com

Berita Terkait