Bola.com, Jakarta - Keriuhan soal Piala Dunia kembali memunculkan pertanyaan mendasar: sebenarnya ajang ini ditujukan untuk siapa?
Dalam sepekan terakhir, FIFA seolah memberi dua jawaban yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, harga tiket pertandingan dilaporkan melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding Piala Dunia 2022 Qatar.
Di sisi lain, hadiah uang bagi tim peserta justru dipastikan naik lebih dari 50 persen dibanding edisi empat tahun lalu.
Para pemangku kepentingan diuntungkan, tetapi bagi suporter, ceritanya berbeda.
Situasi ini memicu kritik dari berbagai pihak. Ketua Football Supporters' Association (FSA), Tom Greatrex, menilai lonjakan hadiah uang, yang merupakan dampak langsung dari peningkatan pendapatan, seharusnya menjadi bukti bahwa FIFA tidak perlu membebankan harga tiket yang mencekik kepada para pendukung yang selama ini menjadi sumber atmosfer dan semarak Piala Dunia.
"Hal itu menunjukkan tidak ada kebutuhan untuk mematok harga tiket yang sangat mahal kepada para suporter yang membawa vibrasi ke Piala Dunia," kata Greatrex.
Ia bahkan menyiratkan bahwa kebijakan tersebut sejak awal tidak pernah benar-benar diperlukan.
Cari Solusi Konkret
Sebagian pengamat pun mulai mempertanyakan apakah kebijakan FIFA bisa diarahkan dengan cara berbeda.
Dalam bayangan mereka, 37 anggota Dewan FIFA yang pekan ini berada di Doha, menghadiri pertemuan resmi, sejatinya bisa memanfaatkan waktu tambahan untuk membahas solusi konkret.
Satu di antara gagasan yang mencuat adalah mengalihkan sebagian dari kenaikan hadiah uang guna memangkas harga tiket, terutama bagi penyandang disabilitas dan pendamping mereka, yang saat ini tidak mendapat diskon sama sekali.
Usulan lain yang tak kalah menarik adalah pemberian tiket gratis bagi suporter fanatik yang rela menempuh perjalanan lintas benua sambil membawa drum, bendera, dan atribut demi menciptakan atmosfer selama 90 menit penuh di stadion.
Tiket tersebut, misalnya sekitar 300 lembar per laga, bisa disalurkan melalui kelompok suporter resmi. Sementara itu, praktik dynamic pricing dan penjualan ulang tiket juga dinilai patut ditinjau ulang, meski dianggap langkah yang lebih sulit diwujudkan.
Untuk Siapa Piala Dunia?
Jika langkah-langkah semacam itu diambil, dampak positifnya dinilai akan terasa luas. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, FIFA bisa dipersepsikan publik sebagai organisasi yang progresif.
FIFA memang berstatus nirlaba dan mengklaim seluruh pendapatannya dikembalikan untuk pengembangan sepak bola global. Namun, berbagai kontroversi, dari kebijakan yang keliru hingga tindakan yang dinilai problematik, telah merusak citranya.
Sebuah keputusan yang berpihak pada suporter diyakini bisa meninggalkan kesan positif yang bertahan lama.
Di sisi lain, muncul pula perdebatan yang lebih mendasar: apakah badan pengelola seperti FIFA seharusnya sekaligus menjadi penyelenggara kompetisi. Namun, isu ini melampaui soal struktur organisasi.
Yang dipertanyakan adalah untuk siapa sebenarnya FIFA menjalankan semua ini. Model Piala Dunia yang dirancang saat ini jelas menguntungkan FIFA dan asosiasi anggotanya karena di sanalah aliran dana terbesar bermuara.
Contoh "Kasus"
Dalam beberapa kasus, dukungan FIFA memang krusial bagi negara yang sumber dayanya terbatas untuk membangun tim nasional yang kompetitif. Namun, bagi federasi besar yang sudah mapan, tambahan hadiah uang dalam jumlah besar memunculkan tanda tanya.
Spanyol menjadi contoh konkret. Sebagai tim peringkat satu dunia, mereka diuntungkan oleh aturan baru FIFA yang membuat mereka terhindar dari pertemuan dengan tim peringkat dua, tiga, dan empat hingga babak semifinal, jika semuanya menjuarai grup masing-masing.
Jika langkah Spanyol terhenti di semifinal, federasi sepak bola mereka (RFEF) akan menerima hadiah sebesar 29 juta dolar AS.
Padahal, RFEF baru saja mengumumkan anggaran 2026, tanpa memasukkan tambahan hadiah Piala Dunia, sebesar 403,5 juta euro, dengan 87 juta euro di antaranya didistribusikan ke klub-klub peserta.
Sebagian dana tersebut berasal dari ajang Piala Super Spanyol, yang hak penyelenggaraannya dibayar Arab Saudi sebesar 40 juta euro per tahun.
Musim ini, Barcelona sebagai juara dilaporkan mengantongi sekitar 9 juta euro.
Pemanfaatan Hadiah Uang Piala Dunia
Apakah RFEF benar-benar membutuhkan tambahan 29 juta dolar AS? Pertanyaan serupa juga bisa diajukan kepada Federasi Sepak Bola Inggris. Dana tersebut memang bisa dimanfaatkan untuk hal-hal positif, tetapi juga berpotensi disia-siakan.
Yang lebih penting, apakah manfaat bagi sepak bola akan lebih besar jika uang itu diberikan kepada federasi nasional, atau justru jika dialokasikan langsung untuk menurunkan biaya dan meningkatkan akses publik terhadap sebuah ajang olahraga yang, disadari atau tidak, dianggap milik masyarakat luas?
Pertanyaan ini mungkin terasa panjang dan rumit, serta kecil kemungkinan menjadi topik utama di lorong-lorong kantor pusat FIFA di Zurich. Fokus mereka saat ini adalah menyelenggarakan Piala Dunia.
Namun, makin lama pertanyaan ini tidak diajukan, apalagi dijawab, makin besar pula rasa keterasingan di kalangan mereka yang merasa tersingkir dari permainan, dan pada akhirnya, bukan tak mungkin aliran uang itu suatu hari akan berhenti.
Sumber: The Guardian