Sukses


[Wawancara] Eduard Ivakdalam: Mimpi Saya Jadi Pelatih Kandas

Bola.com, Jakarta Eduard Ivakdalam, pemain asal Papua, termasuk salah satu mantan pilar timnas yang disegani di eranya. Ban kapten Tim Merah-Putih pernah melilit di lengannya.

Terakhir kali, pada 2014, pemain kelahiran Merauke ini masih sempat membawa Persiwa promosi ke ISL, meski akhirnya tim ini dicoret PT Liga Indonesia bersama Persik Kediri karena terjerat krisis keuangan.

Di usia 40 tahun, Edu memutuskan gantung sepatu. Selanjutnya, ayah dua anak ini ingin menekuni karier sebagai pelatih untuk menularkan ilmunya ke putra-putra daerah Tanah Papua. Untuk legalitas, Edu pun harus mengikuti kursus kepelatihan yang diadakan PSSI yang diakui AFC. Namun rencana itu kandas di tengah jalan.

Pasalnya, agenda kursus lisensi C AFC di Sawangan, Depok, yang telah berjalan dua hari terpaksa dibatalkan karena tak dapat restu AFC. Ini akibat hukuman yang dijatuhkan FIFA kepada PSSI. Berikut petikan wawancara Bola.com dengan salah satu legenda hidup Persipura tersebut.

Kenapa kursus yang sudah berjalan dibubarkan?

Instruktur asal Singapura tak mau melanjutkan. Setelah dia kontak dengan pihak AFC, kursus itu dianggap ilegal karena Indonesia dalam status dihukum FIFA. Bisa saja kursus itu dilanjutkan, tapi tetap sia-sia karena hasilnya tak diakui AFC dan FIFA. Instruktur tersebut juga takut akan kena sanksi dari AFC.

Apa motivasi Anda ikut kursus ini?

Tahun ini, saya sudah gantung sepatu. Saya ingin jadi pelatih. Minimal, saya bisa menularkan ilmu dan mencetak pemain berbakat yang ada di SSB Putra Pasifik. Itu SSB milik saya pribadi. Sebagai pemain yang pernah dibesarkan Persipura, saya ingin lahir pemain hebat dari Papua, khususnya Jayapura.

Jika punya lisensi itu, saya juga bisa jadi pelatih klub profesional. Cita-cita saya, nantinya bisa kembali ke Persipura sebagai pelatih kepala. Sayang karena konflik PSSI-Menpora mimpi saya kandas.

Bisa cerita soal SSB Putra Pasifik?

SSB itu sudah cukup lama berdiri. Siswanya ada 100 lebih, mulai kelompok umur 12, junior, hingga usia 17 tahun. Banyak anak-anak yang berbakat. Tapi rata-rata dari masyarakat tak mampu.
Saya tak tahu harus cerita apa pada anak-anak dan orangtua siswa, sepulang dari kursus yang gagal ini. Sebelum berangkat, saya memang pamit mau ikut kursus di Jakarta.

Apa pendapat Anda bila skorsing PSSI tak segera dicabut FIFA?

Dampaknya akan sangat kompleks dan luar biasa. Bisa menyentuh seluruh kehidupan rakyat yang berkaitan dengan olah raga ini. Jika saya ceritakan ini kepada siswa SSB, saya takut akan menjatuhkan semangat mereka.

Pembatalan kursus ini juga imbas dari skorsing itu. Jika tak segera dicabut, Indonesia akan tertinggal dari negara lain. Untuk mencetak pemain dan membentuk tim tangguh, butuh pelatih bagus. Sekarang untuk jadi pelatih saja batal. Kita tetap harus berhubungan dengan dunia luar, dalam hal ini AFC dan FIFA.

Anda punya pekerjaan selain jadi pemain dan melatih SSB?

Saya bersyukur sejak 1997 diangkat jadi PNS Propinsi Papua. Saya staf golongan II/d di Dinas Kominfo. Tahu sendiri berapa gaji pegawai golongan itu. Makanya, saya harus membongkar tabungan untuk ikut kursus di Sawangan. Ketika akhirnya gagal, saya jelas kecewa.

Baca Juga: 

Mengenaskan, Kursus Lisensi C AFC di Sawangan Batal

Ini Korban Pertama Efek Skorsing FIFA ke Indonesia

Frustrasi dengan Persija, Kabayev-Vunk Pilih Mudik

Video Populer

Foto Populer