Sutiyoso, Jenderal Diktaktor yang Sukses Mengembalikan Kejayaan Persija

Pada era Sutiyoso menjadi pembina Persija, Tim Macan Kemayoran jadi klub yang kaya raya dan selalu diperkuat bintang-bintang kelas satu.

Bola.com, Jakarta - Nama mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, alias Bang Yos, tak bisa dipisahkan dengan Persija Jakarta. Pria pensiunan Letnan Jenderal TNI AD adalah sosok penting dalam perjalanan sejarah Tim Macan Kemayoran di masa-masa awal Liga Indonesia.

Penggabungan kompetisi perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an membuat Persija gelagapan. Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi, Persija terhuyung-huyung.

Problem pendanaan membuat Persija kesulitan membangun tim bertabur bintang. Persija perlahan mulai ditinggalkan penggemarnya.

Momen penting terjadi pada 1996 saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur berdarah Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.

Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye.

Ia punya pandangan tersendiri saat memilih oranye sebagai warna kebesaran klub Persija. Ia berpandangan warna jingga yang mentereng memiliki aura kemegahan, sepintas seperti pancaran warna emas.

Bang Yos beranggapan warna merah dan putih kurang kuat sebagai identitas diri, karena banyak klub-klub di Indonesia juga mengenakan warna ini sebagai warna kebesaran, sebut saja PSM Makassar atau Persipura Jayapura. Warna Merah-Putih juga menjadi warna dasar buat Timnas Indonesia.

Sutiyoso ingin Persija punya identitas warna yang unik, oranye.

Oranye lekat dengan Timnas Belanda, negara yang ada di level elite di jagat sepak bola internasional. Gaya permainan menyerang De Oranje amat dikagumi Sutiyoso yang dikenal gila bola.

“Saya ingin Persija bermain total football layaknya timnas Belanda yang enak untuk ditonton,” ujar Bang Yos dalam sebuah perbincangan dengan Bola.com di kediamannya di Cibubur, Jakarta Timur, dalam sebuah kesempatan pada 2012.

Persija yang tengah menjalani proses lahir baru butuh sebuah gebrakan untuk menandai kebangkitannya. Warna oranye yang dipilih sebagai identitas baru Tim Macan Kemayoran, ternyata membawa aura positif.

Klub yang pada awal penyelenggaraan Liga Indonesia terseok-seok jadi penghuni tetap papan bawah, kembali ke khitah sebagai klub elite Tanah Air. Persija bukan lagi klub yang mudah kalah.

Ide mengubah identitas klub berjalan mulus karena klub-klub anggota cenderung menurut dengan titah Bang Yos yang berstatus sebagai pembina klub. Sang pemimpin jadi sandaran terakhir mereka untuk mengangkat Persija yang terhuyung karena krisis keuangan akut.

Lahirnya kelompok suporter The Jakmania membuat sosialisasi perubahan warna kebanggaan klub mulus. Jumlah anggota The Jakmania yang terus bertambah meningkatkan popularitas warna Oranye.

Video

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 5 halaman

Ide Melahirkan The Jakmania

Ide melahirkan kelompok suporter Persija mencuat dari Bang Yos yang dieksekusi oleh manajer tim Diza Rasyid Ali.

Pada awalnya, anggota The Jakmania yang masih berstatus komunitas hanya sekitar 100 orang, dengan pengurus sebanyak 40 orang.

Ketika dibentuk, dipilihlah figur yang dikenal di mata masyarakat, yaitu William Nainggolan, atau yang dikenal dengan nama Gugun Gondrong, yang merupakan sosok paling ideal pada saat itu. Meski dari kalangan selebritis, Gugun tidak ingin diberlakukan berlebihan. Ia ingin merasa sama dengan yang lain.

Pengurus The Jakmania waktu itu akhirnya membuat lambang sebuah tangan dengan jari berbentuk huruf J. Ide ini berasal dari Edi Supatmo, yang waktu itu menjadi Humas Persija. Hingga sekarang, lambang itu masih dipertahankan dan selalu diperagakan sebagai simbol jati diri Jakmania.

Seiring dengan habisnya masa pengurusan, Gugun digantikan Ferry Indrasjarief yang lebih akrab disapa Bung Ferry. Masa tugas Bung Ferry adalah periode 1999-2001 dan kembali dipercaya untuk memimpin The Jakmania periode 2001-2003, 2003-2005, dan terakhir 2017-2020.

Suporter Tim Ibu Kota tampil dengan ciri khas atribut warna Oranye saat memberikan dukungan kepada tim kesayangannya.

“Warna merah sudah menjadi bagian dari sejarah masa lampau. Saat ini Persija adalah oranye,” tegas Ferry Indrasjarief, seorang pendiri Jakmania yang juga Ketua Umum Jakmania.

Gelar juara Liga Indonesia 2001 menegaskan Persija baru citra rasa Jingga. Trofi ini jadi prasasti Sutiyoso di Tim Macan Kemayoran.

Emmanuel De Porras saat membela Persija pada musim 2004. (Bola.com/Dok. Buku Gue Persija)

Demi mengembalikan kejayaan Persija di era Perserikata, Bang Yos, membangun The Dream Team pada Liga Indonesia 2001. Ia menyokong penuh tim ibu kota dengan pendanaan berlimpah. Bang Yos mendorong DPRD DKI Jakarta untuk menyetujui anggaran APBD rutin untuk dipakai sebagai operasional klub tiap tahunnya.

Pada musim 2001, Persija mendatangkan pemain-pemain kelas satu macam Luciano Leandro (gelandang serang/Brasil), Mbeng Jean (kiper/Kamerun), dan Antonio Claudion (bek/Brasil).

Dalam jajaran pemain lokal, skuat Persija dihuni pemain-pemain berlabel Timnas Indonesia. Bambang Pamungkas, Widodo Cahyono Putro, Imran Nahumarury, Nur'alim, Gendut Doni, Khair Rifo, adalah deretan pemain lokal yang tengah berada di masa jaya.

Persija dengan deretan pemain berkelasnya tanpa kesulitan berarti meraih gelar kasta tertinggi. Dalam laga final yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Tim Macan Kemayoran mengalahkan juara bertahan PSM Makassar dengan skor 3-2.

"Sebuah kebanggaan bagi saya menjadi bagian dari klub ini saat Persija menjadi juara. Momen final Liga Indonesia 2001 jadi kenangan indah yang tidak bisa saya lupakan sebagai seorang pemain," ujar Widodo C. Putro.

Pesta besar-besaran digelar di Air Mancur Bundaran Hotel Indonesia pada malam setelah pertandingan. Para pemain Persija diarak keliling kota dari Balai Kota.

"Senang rasanya bisa memberikan kebahagiaan buat warga Jakarta lewat gelar Liga Indonesia yang dimiliki," ucap Sutiyoso.
3 dari 5 halaman

Royal Sekaligus Kejam ke Pemain

Pada era kepemimpinan Sutiyoso, Persija kerap bikin iri klub-klub pesaing. Tak kurang dana taktis menembus Rp20 miliar digelontorkan lewat kantung APBD setiap musimnya. Angka yang amat besar di masa awal hingga pertengahan 2000-an.

Pemain-pemain top pun senang jika diminta bermain di Persija. Mereka dapat kontrak dengan nominal wah dan juga aneka bonus yang membuat hidupnya nyaman.

"Siapa tak senang bermain di Persija. Hidup kami makmur, tak berkurangan. Manajemen klub amat perhatian. Kami bisa fokus bertanding tanpa memikirkan hal non-teknis," ujar Hamka Hamzah, pemain Persija periode 2005-2007 yang pada musim perdananya dikontrak Rp1 miliar.

Tengok ketika Persija mendaratkan kuartet Argentina jelang Liga Indonesia 2004. Sang gubernur meminta manajer tim, IGK Manila, berangkat langsung ke Negeri Tango untuk berburu pemain berkualitas tanpa menggunakan jasa agen alias perantara.

Gustavo Chena, Emmanuel De Porras, Hernan Ortiz, Mattias Chaves, dibanderol kontrak Rp4 miliar. Pada musim tersebut Bang Yos juga mendatangkan pelatih asal Argentina, Carlos Cambon, yang pernah melatih tim junior Boca Junior.

Saat berada di Indonesia, semuanya diberi fasilitas mewah, berupa apartemen serta mobil keluaran terbaru. Bonus per pertandingan mereka amat besar untuk ukuran pesepak bola yang merumput di Indonesia.

Terlepas doyan membantu pendanaan Persija, sosok Bang Yos dikenal sebagai pemimpin yang diktaktor.

Tekanan figur-figur yang ada di Persija amat keras. Dianggap gagal, mereka dipersilakan pergi. Tak perlu menunggu musim berakhir, saat kompetisi masih berjalan Persija kerap memecat pelatih atau mengganti pemain, di sektor lokal atau asing.

Gaya keras ala militer ini yang kerap merugikan Persija. Bang Yos seringkali mengambil keputusan-keputusan salah yang ujungnya merugikan tim.

Pada musim 2003, ia menginstruksikan membuang Luciano Leandro. Pria asal Semarang itu mencurigai sang playmaker main jelek karena sering terlibat jual-beli pertandingan.

"Saya dibesarkan tim ini. Bagaimana mungkin saya bisa mengkhianati mereka? Saya dapat gelar juara di Persija," ujar Luciano Leandro.

Sikap gegabah ditunjukkan Sutiyoso setelah Persija gagal juara di Liga Indonesia 2004. Persija yang mendominasi sepanjang musim terpeleset di laga terakhir saat mereka kalah 1-2 kontra Persebaya Surabaya yang akhirnya jadi kampiun.

Tanpa ampun, Bang Yos meminta manajer tim, IGK Manila, mendepak duo Argentina, Emmanuel De Porras dan Hernan Ortiz. Padahal, performa mereka tokcer sepanjang musim. The Jakmania amat menyayangkan keputusan itu.

Kocaknya, sadar keputusannya salah, pada musim 2006 ia sempat meminta agar klub kembali meminang De Porras. Akan tetapi, sang striker emoh kembali ke ibu kota karena kadung sakit hati.

4 dari 5 halaman

Stres Dialami Para Pelatih

Pelatih-pelatih yang pernah menangani Persija pada periode 1997-2007 sudah hafal betul bagaimana galaknya Sutiyoso, jika Tim Macan Kemayoran gagal di sebuah event.

Arcan Iurie, pelatih asal Moldova, bercerita bagaimana stres dirinya saat menukangi Persija pada musim 2005. Sang mentor hanya mempersembahkan gelar runner-up di pentas Liga Indonesia dan Piala Indonesia.  

"Beliau sosok yang keras. Kadang tidak peduli dengan alasan yang kita berikan, walau sebenarnya alasan tersebut masuk akal," ujar Iurie dalam sebuah perbincangan santai beberapa tahun silam.

Saat pertama kali datang ke Indonesia, Iurie dipuji setinggi langit oleh Bang Yos. "Saya pemuja pemainan indah ala Belanda, Brasil, dan Argentina. Arcan Iurie saya lihat bisa mewujudkan hal itu. Saya yakin Persija bisa sukses di tangannya," ujar Sang Gubernur.

Saat kalah 2-3 di final Liga Indonesia 2005 melawan Persipura Jayapura, Arcan Iurie, dibuat gemetar saat menghadap Bang Yos di Balai Kota. Ia tak berani menatap mata pembina klub kelahiran Semarang, 6 Desember 1944.

"Amarahnya amat besar. Saya pasrah jika beliau memecat saya," katanya.

Dan benar saja, Bang Yos langsung memecat sang pelatih begitu berselang beberapa bulan kemudian Persija kalah di final Piala Indonesia melawan Arema 3-4. Kali ini, setelah pertandingan Bang Yos langsung berbisik ke Pengelola Persija, Firman Hutajulu, dengan bunyi kalimat pendek:

"Saya tidak mau lihat mukanya lagi."

Karena merasa tahu sepak bola, Sutiyoso kadang sering intervensi terlalu dalam kepada para pelatih. Rahmad Darmawan, pelatih Persija musim 2006, bercerita pernah diberi secarik kertas berisi instruksi pergantian pemain saat dirinya sedang memimpin timnya bertanding.

"Saya terima, tapi tidak saya jalankan. Untungnya Persija menang, dan beliau tidak jadi marah," papar RD.

Pelatih asal Lampung itu menceritakan sebuah kejadian menarik. Saat itu dirinya bersama IGK Manila dipanggil Bang Yos ke kantornya untuk membahas evaluasi tim usai putaran pertama Liga Indonesia 2006.

"Saat itu Persija punya striker asing bernama Frank Seator. Pemain asal Kamerun satu ini mandul gol karena masalah adaptasi. Saya pribadi menyakini dia bakal menemukan bentuk permainan terbaik. Saya lapor ke Pak Manila, meminta dukungan. Beliau setuju dan berujar: Tenang, nanti saya bantu kamu ngomong ke Bang Yos."

Begitu masuk ruang kerja Sutiyoso dan belum sempat menyampaikan laporan evaluasi, Bang Yos duduk dengan kedua kaki di meja berujar: "Saya tidak mau penyerang yang mirip Buto Terong itu bermain di Persija lagi. Rahmad, kamu cari pemain lain segera!"

"Saya dan Pak Manila, kemudian saling pandang untuk kemudian secara kompakan berucap 'siap jenderal' ke Bang Yos," ujar RD.

5 dari 5 halaman

Selalu Dirindukan

Keputusan-keputusan kontroversial yang dibuat Bang Yos, membuat Persija kesulitan mengulangi pencapaian emas mereka pada musim 2001. Ya, Persija memang stabil berada di papan atas, namun mereka hanya jadi penonton ketika pesaing utamanya jadi yang terbaik di kasta elite.

Lepas dari hal tersebut, sosok Sutiyoso tetaplah dicintai oleh penggemar Persija. Ketika berada di bawah komandonya, Macan Kemayoran jadi tim yang selalu disegani dan selalu jadi magnet pemberitaan media.

Berakhirnya masa tugas Bang Yos sebagai Gubernur DKI Jakarta pada pengujung 2007, jadi awal baru kisah nestapa Persija beberapa musim kemudian.

Persija yang tadinya berstatus klub glamour, bertabur uang, mendadak jadi klub yang kesulitan pendanaan pada periode 2007-2012. Kementerian Dalam Negeri melarang kucuran dana hibah APBD buat sepak bola yang berpotensi memunculkan kasus-kasus korupsi.

Fauzi Bowo, gubernur pengganti Sutiyoso kesulitan membantu pendanaan tim. Ia pun terlihat tidak gila bola. 

Ferry Paulus, yang terpilih sebagai Ketua Umum Persija (Presiden Persija) pada 2011 harus pontang-panting menjalankan operasional klub tanpa injeksi uang rakyat. Dengan pendanaan yang pas-pasan Persija terlempar dari persaingan elite kompetisi kasta tertinggi Indonesia Super League.

Kasus-kasus tunggakan gaji ke pemain dan ofisial berulangkali mencuat pada musim 2011-2015.

"Saya masuk ke Persija saat situasi tidak mengenakkan. Bukan hanya klub tidak bisa mendapat bantuan APBD, situasi juga diperparah dengan mencuatnya konflik dualisme kompetisi serta PSSI. Saya kesulitan menggaet sponsor untuk menghidupi klub," tutur Ferry.

"Persija merindukan figur pemimpin daerah layaknya Bang Yos," timpal pria asal Manado itu.

Karena begitu dicintainya Sutiyoso, ia diminta naik ke podium tempat penyerahan trofi Liga 1 2018 dan Piala Presiden 2018 silam. Bang Yos bersanding dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, merayakan gelar juara ke-11 di kasta elite.

"Saya terharu masih diberi kesempatan melihat Persija juara," kata Bang Yos.
Timnas Corner: Semua Tentang Timnas Indonesia
Timnas Corner: Semua Tentang Timnas Indonesia
Lihat Selengkapnya

Video Populer

Foto Populer