Sukses


Kisah Bisnis Agen Pemain Asing di Liga Indonesia: Jualan Kucing dalam Karung, Bergelimang Duit, Sering Diutangi Pemain

Bola.com, Jakarta - Ketika PSSI kepengurusan Azwar Anaz menggabungkan kompetisi Galatama dengan Perserikatan dan menghidupkan Liga Indonesia pada tahun 1994, klub diperbolehkan merekrut pemain asing. Tujuan utama mendatangkan pesepak bola impor untuk membuat kompetisi kasta elite kian semarak.

Diharapkan pencinta sepak bola Tanah Air kian bersemangat menyaksikan pertandingan Liga Indonesia.

Di sisi lain, kehadiran mereka pun diyakini bisa mendongkrak kualitas permainan Liga Indonesia. Dampak positifnya, level permainan Timnas Indonesia bakal meningkat karena terbiasa bermain dengan pesepak bola asing yang skill individunya lebih mumpuni.

Kehadiran legiun asing jadi ladang bisnis baru, utamanya agensi pemain. Mereka membantu klub-klub mendapatkan pemain asing, tanpa perlu terjun langsung ke luar negeri.

Pada masa awal Liga Indonesia, PSSI menggandeng agen asing untuk mendatangkan pemain impor ke kompetisi kasta elite. Hal ini dilakukan karena PSSI saat itu belum memiliki jaringan yang luas di berbagai negara untuk mendapatkan pesepak bola pendatang dengan kualitas baru dan cocok dengan kocek klub Indonesia.

Karena prestasi Timnas Indonesia di berbagai ajang internasional terhitung pas-pasan, PSSI kesulitan merayu bintang kelas dunia. Agensi asing ini diharapkan jadi penyambung lidah federasi untuk menutup kebutuhan besar akan tenaga pemain asing di negara kita.

Pada awal Liga Indonesia, klub-klub diperbolehkan mengontrak tiga pemain asing. Tak mudah berburu ratusan pesepak bola dengan kualitas lumayan ke 34 klub kontestan kompetisi.

Keputusan PSSI menggandeng agen luar yang berasal dari Singapura dan Hong Kong terbukti efektif. Pemain-pemain asing berdatangan ke Indonesia.

Walau memang proses perekrutannya yang terhitung unik. Banyak di antara pemain dibohongi terlebih dahulu, agar mau main di Liga Indonesia, yang masih berstatus kompetisi antah berantah di dunia internasional.

Tengok saja cerita Jacksen F. Tiago. Saat berangkat dari negara asalnya, Brasil, ia dijanjikan agen bakal bermain di Singapura, Jepang, atau Hong Kong, negara-negara Asia yang relatif dikenal olehnya.

"Tapi begitu transit di Prancis, saya dan sejumlah pesepak bola asal Brasil lainnya baru dikasih tahu agen, kalau kami tidak akan main di negara-negara itu. Karena merasa dibohongi, dan tidak kenal dengan nama Indonesia, beberapa pemain yang berangkat bareng saya menolak. Mereka pilih pulang ke Brasil. Saya pilih lanjut, karena memang butuh uang dan merasa penasaran," ujar Jacksen yang akhirnya pada musim pertama di Liga Indonesia bermain di klub Petrokimia Putra.

"Tapi saya bersyukur, kalau tidak dibohongi agen, saya tidak akan mengenal Indonesia. Saya jatuh cinta di negara ini, dan berkarier panjang sampai saat ini sebagai pelatih pasca pensiun. Dan saya bisa dapat jodoh wanita Indonesia lho," timpal pelatih Persipura Jayapura sembari tersenyum.

PSSI patut bersyukur, agen-agen asing yang mereka ajak kerja sama, memasok pemain-pemain dengan kualitas bagus ke Indonesia. Selain Jacksen, ada Luciano Leandro, Carlos De Mello, Dejan Gluscevic, memberi efek pembeda pada kompetisi.

Pada masa-masa awal, Liga Indonesia sempat kedatangan tiga bintang Piala Dunia: Mario Kempes (Argentina), Mabboang Kessack, Onana Jules, dan Roger Milla (Kamerun). Walau memang keempatnya mentas di Liga Indonesia, setelah melewati masa emasnya.

"Mereka datang hanya sebatas sebagai penghibur. Skill individu masih menawan, tapi kondisi fisiknya tidak lagi ideal untuk menjalani pertandingan-pertandingan berat," tutur Aji Santoso, pilar Timnas Indonesia pada periode tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan Kami:

2 dari 5 halaman

Mantan Pemain Jadi Agen

Melihat popularitas Liga Indonesia makin menanjak dengan gulali pemain asing, PSSI makin menjadi-jadi membuka keran ke para pesepak bola pendatang. Mereka memperbolehkan klub kasta kedua untuk menggaet legiun asing. Jumlah kebutuhan akan pemain asing kian melonjak.

Pada awal tahun 2000-an hal ini dianggap sebagai celah bisnis, oleh para pesepak bola asing yang mentas di Indonesia. Mereka kemudian banting setir jadi makelar pemain asing.

Gelandang asal Chile, Nelson Sanchez yang pernah bermain di Persema Manado, Arema Malang, dan PSMS Medan, memutuskan jadi agen pemain asing. Begitu juga dengan Mabboang Kessack yang berkolaborasi dengan Onana Jules ikutan nyemplung di kolam bisnis baru di dunia sepak bola Indonesia.

 

"Begitu usia mulai menua, kami perlu memikirkan pekerjaan baru untuk menyambung hidup. Agen pemain asing di Indonesia potensinya bagus. Saya punya jaringan luas di federasi sepak bola banyak negara Afrika. Mereka pasti akan dengan senang hati membantu saya mencarikan pemain bagus asal Afrika," kata Onana Jules.

 

Demikian pula dengan Nelson. Memanfaatkan jaringannya yang luas di negara-negara Amerika Latin, ia banting setir menekuni bisnis baru yang dianggap amat menggiurkan. Sanchez mendirikan PT Sanchezgoal Management yang dikenal sebagai agensi pemasok pemain asal Chile dan Argentina. Jejak Nelson, belakangan diikuti rekannya yang juga mantan pemain, Jaime Rojas.

Demikian pula Onana yang mendirikan Mutiara Hitam Sport and Management. Ia jadi makelar pemain-pemain asal Afrika yang berasal dari Kamerun dan Nigeria.

Dua poros penyuplai pemain asing menggurita di Liga Indonesia periode tahun 2000-an. Hampir semua pemain asing yang mentas di kompetisi kita mereka yang menyuplai.

Seiring berkembangnya bisnis penjualan pemain impor, masalah baru mencuat. Kontrol kualitas menjadi rendah, seiring kebutuhan pemain amat besar yang wajib untuk dipenuhi.

Banyak pesepak bola pendatang yang mentas di Liga Indonesia kualitasnya abal-abal. Pada masa tersebut klub yang mendapat injeksi rutin dana hibah APBD, cenderung selebor dalam memilih pemain asing. Petinggi klub yang tidak paham sepak bola kerap gegabah terlalu percaya pada agen-agen pemain.

Sistem rekrutmen kilat yang mengandalkan CV dan rekaman video pemain dikeluhkan banyak pelatih klub-klub. "Pemain dikontrak sebelum dilihat kemampuannya langsung. Kami para pelatih dibuat pusing, karena seperti mendapatkan kucing dalam karung. Kalau beruntung, bisa dapat pemain bagus. Sebaliknya kalau sial, pemain tersebut malah bikin susah tim," keluh salah satu pelatih senior, Benny Dollo.

Regulasi transfer yang dibuat PSSI masih berantakan. Beda dengan Eropa yang mematok durasi waktu perpindahan pemain, di Indonesia bebas. Saat kompetisi berjalan, klub boleh mengganti pemain asingnya.

 

 

3 dari 5 halaman

Agen Lokal Bermunculan

Rumor mencuat pada era ini, bisnis jual beli pemain asing dijadikan kendaraan buat korupsi dana APBD. Petinggi klub banyak yang titip komisi ke agen. Mereka senang saja ketika klubnya gonta-ganti pemain asing, karena komisi yang didapat makin besar.

Situasi di perparah karena oknum-oknum di dalam PSSI ikut bermain. Mereka kongkalikong dengan agen atau petinggi klub untuk meloloskan pemain asing yang tak jelas kualitasnya.

Dampak negatifnya, para pemain asing abal-abal membuat kompetisi banjir masalah. Kasus keributan yang melibatkan mereka kerap terjadi. PSSI akhirnya dibuat pusing sendiri dengan situasi ini. "Citra kompetisi jadi buruk karena kelakuan negatif pemain asing. Ini amat menyedihkan," ucap Nugraha Besoes, Sekjen PSSI di era kepengurusan Azwar Anaz dan Nurdin Halid.

Pada periode ini, mencuat kasus keimigrasian yang melibatkan pemain asing. Sejumlah orang asal Afrika yang mengaku pesepak bola ditangkap pihak imigrasi karena kasus narkoba atau kriminal lainnya. Terungkap fakta kalau mereka masuk ke Indonesia menggunakan visa turis, bukan visa kerja.

Onana, mengelak jadi pihak yang memuluskan pelanggaran keimigrasian tersebut. "Tidak semua pemain Afrika dari saya. Ya, saya tahu banyak orang asal Afrika datang menggunakan visa turis dengan harapan bisa jadi pemain bola di Indonesia, tapi semuanya tidak berkaitan dengan saya. Mutiara Hitam agensi yang saya pimpin sangat selektif dalam memilih pemain," ujarnya.

Nelson juga angkat suara soal pemain-pemain bawaannya yang berkualitas buruk dan doyan bikin masalah di lapangan dan kehidupan sehari-hari. "Soal kualitas subjektif, banyak pemain bagus karena tak dapat waktu beradaptasi terlihat jadi buruk. Saya tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi ini."

Merosotnya popularitas agen asing dimanfatkan agen-agen lokal untuk mengembangkan sayap bisnis. Memasuki medio 2000-an agen lokal Indonesia berjaya dalam bisnis memasok legiun asing ke pentas kompetisi.

Eko Subekti, Edy Syah Putra, Marta Silalahi, Ricky Nelson, Ratna Mustika, deretan agen asing yang jadi langganan klub untuk mendapatkan pemain impor sesuai ekspektasi mereka.

Eko lewat Indo Bola Mandiri terkenal dengan pemain-pemain asing asal Amerika Latin berkelas di era itu macam Danilo Fernando, Cristian Gonzales, Cristian Carrasco. Sementara itu, Edy dengan bendera Ligina Sportindo, mendadak tenar terkerek pemain bawaannya macam: Greg Nwokolo, Gaston Castano, Emmanuel De Porras.

Di sisi lain, Rick Nelson memberi warna pada persepak bolaan Tanah Air lewat pemain-pemain jagoannya asal Asia: Kenji Adachihara (Jepan), Noh Alam Shah (Singapura), Yoo Jae-hoon.

 

"Faktor kepercayaan membuat bisnis kami berkembang. Karena sesama orang lokal, pihak klub lebih percaya. Ibarat kata, kami pun juga sungkan untuk membohongi mereka," cerita Edy Syah.

 

"Kepercayaan barang mahal di bisnis ini. Saya mencoba menjaganya dengan sebaik-baiknya. Saya pun mengajak para pelatih untuk ikut menilai langsung kualitas pemain sebelum mereka dipasarkan ke klub-klub kita," timpal Ricky Nelson.

Kebutuhan pemain asing saat itu amat tinggi, karena PSSI memperbolehkan klub mengontrak hingga pesepak bola impor. Sehingga para agen bisa berbagi pasar, tanpa harus bersinggungan.

Sistem rekrutan pemain asing pada masa itu lebih tertata. Klub tak mau terima bersih begitu saja pemain, mereka menggelar seleksi sebelum menyodori kontrak resmi. Di sisi lain, PSSI juga merapikan administrasi transfer. Klub hanya bisa melakukan pergantian pemain di awal dan pertengan musim. PSSI juga mewajibkan agen mempersenjatai diri dengan bekal lisensi agen FIFA.

 

 

 

 

 

4 dari 5 halaman

Periode Kelam

Tapi siapa sangka, bisnis agen yang meledak pada periode 1990 hingga 2000-an berubah menjadi derita memasuki tahun 2009. Tepatnya saat Kementerian Dalam Negeri RI mengeluarkan UU yang melarang pengucuran dana hibah APBD untuk dunia sepak bola.

Klub-klub terlihat kepayahan menghadapi UU tersebut. Mereka yang biasa dapat uang gampang, harus putar otak mencari pendanaan baru untuk berbelanja pemain.

Kondisi sepak bola Tanah Air mendadak tak kondusif memasuki tahun 2011. Mencuatnya dualisme kompetisi, Indonesia Super League Vs Liga Primer Indonesia membuat PSSI koyak. Klub-klub menghadapi masalah baru.

Mereka kesulitan pendanaan. Mereka kesulitan mendapatkan sponsor karena kisruh di federasi.

Pada rentang waktu 2010-2013 mencuat banyak kasus tunggakan pembayaran gaji ke pemain. Pada periode itu banyak agen pemain tiarap.

"Saya enggak kuat lagi menjalankan bisnis ini. Banyak pemain yang tak dibayar klub. Saya otomatis tak dapat pemasukan. Sudah tak dapat pemasukan saya juga harus membantu menopang kehidupan pemain. Banyak pemain utang ke saya buat bertahan hidup. Berat. Untuk sementara saya off dulu jadi agen," keluh Edy Syah.

Ratna Mustika menceritakan periode-periode sulit bisnisnya. "Hampir tiap hari saya ditelepon pemain saya. Mereka bilang: Bu Dokter (Ratna seorang dokter), tolong saya. Saya enggak punya duit buat hidup. Teriris hati saya mendengarnya."

Ratna mengaku sering jadi korban janji surga petinggi klub. "Saya diminta mendatangkan pemain dengan menanggung biaya tiket pesawat. Eh begitu datang, mereka batalkan rencana menggaet pemain, dan uang saya tak diganti," ujarnya.

Onana Jules akhirnya menyerah kalah. "Saya berhenti total jadi agen pemain. Besar pasak daripada tiang," ungkap pria asal Afrika yang belakangan aktif melatih sekolah sepak bola sebelum akhirnya tinggal di Prancis.

Berbagai cara ditempuh para agen agar asap dapur kehidupannya tetap ngebul. Seperti Ratna yang memilih memasok pemain ke banyak negara tetangga dengan bekal lisensi FIFA yang dimiliki. "Akhirnya saya jual pemain ke Thailand, Vietnam, hingga Kamboja. Walau pendapatannya tak sebesar di Indonesia, lumayan karena pembayarannya jelas," katanya.

Karena problematik krisis keuangan, PSSI mengurangi kuota legiun asing yang bemain di Indonesia. Klub kasta kedua dilarang mengontrak pemain impor. Klub kasta elite hanya bisa menggaet empat pemain (satu di antaranya asal Asia dan sifatnya tidak wajib).

"Kami mendorong klub lebih cermat dalam belanja pemain. Mereka harus mengukur sanggup atau tidak membayar pemainnya dengan dana pemasukan yang dipunyai," ujar Joko Driyono, Wakil Ketua Umum PSSI di era Edy Rahmayadi yang dulunya pernah jadi Direktur Eksekutif Badan Liga Indonesia di era kepengurusan Nurdin Halid.

 

 

5 dari 5 halaman

Agen Kekinian

Selepas dualisme kompetisi dan PSSI pada tahun 2011-2014, otoritas tertinggi sepak bola Tanah Air pun sempat dilanda konflik besar dengan Kemenpora. Kompetisi Liga Indonesia (berlabel QNB League) musim 2015 disetop paksa pemerintah yang tidak setuju PSSI dipimpin La Nyalla Mattalitti. FIFA kemudian menskorsing Indonesia selama setahun lebih, karena intervensi penguasa ke federasi.

Bisnis agen pemain asing makin porak-poranda.

Para agen pemain asing kembali bisa tersenyum memasuki periode kepengurusan PSSI, Edy Rahmayadi pada pertengahan tahun 2016. Kompetisi kembali digelar dengan semangat baru serta sokongan sponsor kakap. Kompetisi Liga 1 jadi ladang bisnis yang terbuka lebar untuk kembali mengibarkan ladang bisnis.

Menariknya, di periode ini muncul pemain baru yaitu agen-agen kekinian. Para agen baru datang dengan konsep bisnis baru yang lebih profesional.

Muly Munial dan Gabriel Budi, dua sosok agen muda yang bisnis jual beli pemainnya menguasai pasar kompetisi sepak bola nasional.

Muly bukan sosok pendatang baru. Ia agen Bambang Pamungkas dan sejumlah pemain Timnas Indonesia.

"Tapi awalnya saya fokus pada hak komersial. Saya mewakilili sejumlah pemain saat mereka hendak dipakai perusahaan-perusahan sebagai bintang iklan. Pada awalnya saya hanya memegang Bepe, tapi dari mulut ke mulut pemain lainnya akhirnya minta tolong untuk saya wakilkan," kata Muly menceritakan cikal bakal bisnisnya.

Mulut sakti Muly ke banyak brand diakui banyak pemain lokal top. "Saya orangnya enggak bisa ngomong untuk bernegosiasi. Dibantu Bang Muly, saya sering dapat kontrak eksklusif dengan bayaran yang wah," tutur Andik Vermansah, pilar Timnas Indonesia.

Belakangan, ia mulai mengembangkan sayap bisnis dengan nyemplung jual beli pemain. Ia sosok di balik kesuksesan Andik dan Evan Dimas mendapat kontrak wah di klub Malaysia, Selangor FA.

Berdasarkan kesuksesan itu, Muly mulai sibuk berburu pemain berlabel Timnas Indonesia untuk diageni.

"Potensi bisnisnya menjanjikan. Saya pun lebih tertarik mengageni pemain lokal, karena secara kultural lebih dekat. Awalnya saat saya mulai jualan pemain, banyak yang mencibir. Mungkin karena saya tidak punya lisensi FIFA. Lama-lama suara-suara sumbang hilang, karena saya membuktikan berbisnis dengan cara yang elegan," katanya

Konsep agen yang dikembangkan Muly berbeda dengan kebanyak agen di Indonesia. Ia tidak hanya jadi makelar mewakili pemain di awal musim saja. Ia mendampingi pemain binaannya setiap saat.

"Saya terinspirasi film Tom Cruise Jerry Maguire, yang bercerita lika-liku agen atlet olahraga. Sosok Jerry selalu ada buat pemainnya. Dalam kehidupan nyata saya berlakukan itu. Mereka kan mitra bukan barang jualan. Sudah menjadi tanggung jawab saya membuat mereka senang," tutur Muly.

Nama Gabriel Budi amat beken di seantero klub Tanah Air, karena pemain-pemain bawaannya yang tak pernah mengecewakan. Marko Simic, Ilija Spasojevic, Paulo Sergio, Otavio Dutra, Sylvano Comvalius, dan tak terkecuali Stefano Cugurra (pelatih yang membawa Persija Jakarta dan Bali United juara Liga 1) jadi pesohor di kompetisi kasta elite lewat penampilannya yang menawan.

Mirip-mirip dengan Muly, Gabriel Budi dikenal sangat memperhatikan para pemainnya. Ia selalu ada saat mereka membutuhkan. Hebatnya lagi jaringan sang agen menembus hingga ke kawasan Asia Tenggara.

Menarik bukan menyimak kisah-kisah para agen pemain di sepak bola Indonesia? 

 

 

Video Populer

Foto Populer