Sukses


Mengenang Kiprah PSIS: Juara Tahun 1999, Terjun Bebas Satu Musim Berikutnya

Bola.com, Semarang - Kompetisi Liga Indonesia 1999 silam menjadi kenangan istimewa bagi PSIS Semarang. Kompetisi pertama pasca force majeure 1998, berhasil dikuasai Mahesa Jenar dengan trofi juara.

Sebuah perjalanan panjang dan berliku harus dilalui PSIS. Dengan memiliki materi yang begitu kompak seperti I Komang Putra, Agung Setyabudi, Bonggo Pribadi, Ali Sunan, Ebanda Timothy, hingga Tugiyo.

Tak ada yang memprediksi perjalanan PSIS di bawah asuhan Edy Paryono saat itu melaju mulus bahkan menjadi juara. Hingga akhirnya Ali Sunan dkk mengangkat trofi usai mengalahkan Persebaya Surabaya di parai puncak.

Gol semata wayang Tugiyo pada menit-menit akhir pertandingan, memastikan gelar PSIS Semarang. Sekaligus menjadi gelar trofi tertinggi kedua, yang sebelumnya pernah diraih pada tahun 1987.

Sayangnya kiprah PSIS terjun bebas tahun 2000. Kala itu, PSIS sangat terpuruk hingga memaksa harus turun kasta ke Divisi I.

Sejumlah faktor menyebabkan PSIS terdegradasi, setelah pesta juara di tahun sebelumnya. Bola.com menyajikan beberapa hal menarik terkait menurunnya prestasi PSIS dari predikat sebagai juara bertahan.

Saksikan Video Pilihan Kami:

2 dari 4 halaman

Persaingan Sengit dari Kompetitor

PSIS Semarang masih dalam bayang-bayang euforia atas prestasi mengesankan di tahun sebelumnya. Trofi juara membuat kebanggaan tersendiri bagi para penggawa PSIS.

Akan tetapi musim 2000, banyak tim yang memperkuat diri demi mengejar gelar juara kompetisi yang berubah nama menjadi Liga Bank Mandiri. Sehingga persaingan begitu sengit.

Sejumlah tim menjelma menjadi kekuatan besar, termasuk Pelita Solo. Klub milik Grup Bakrie inilah yang memastikan PSIS terdegradasi ke Divisi I, dalam laga penentuan yang berujung kerusuhan penonton.

Kekalahan dari Pelita Solo pada fase grup timur saat itu, melempar PSIS turun kasta. Setelah di klasemen akhir hanya mampu berada di urutan 13 dengan nilai 24. PSIS ditemani PSIM Yogyakarta terjerumus ke jurang degradasi.

PSM Makassar akhirnya keluar sebagai juara di tahun 2000, setelah mampu menundukkan Pupuk Kalimantan Timur (PKT) di final. Sementara tim lain yang menemani PSIS untuk turun kasta adalah PSIM Yogyakarta, Indocement Cirebon, dan Medan Jaya.

"Tidak mudah meraih prestasi yang tinggi dan mempertahankannya. Sejarahnya juga belum ada tim di era Liga Indonesia yang juara secara beruntun," terang mantan pilar PSIS Semarang, Agung Setyabudi.

3 dari 4 halaman

Ditinggal Sejumlah Pilar

Komposisi pemain PSIS pada musim 2000 mengalami perubahan yang tidak terlalu besar, namun sangat berpengaruh. Sejumlah pemain kunci PSIS hijrah ke klub lain.

Seperti Ebanda Timothy yang begitu sentral di lini tengah, hijrah ke Persija Jakarta. Disusul dua pemain asing lainnya yakni Simon Atangana dan Ali Shaha yang pindah. Ditambah pahlawan kemenangan PSIS di partai final 1999, Tugiyo mengalami cedera serius.

Hilangnya sejumlah pemain inti membuat PSIS lebih banyak didominasi pemain lokal yang masih minim jam terbang. Kemudian selain berjibaku di kompetisi domestik, PSIS juga harus berjuang di ajang Liga Champions Asia, yang cukup menguras tenaga.

"Meski sebagian besar pemain di saat juara masih ada di PSIS, tapi hengkangnya tiga pemain asing sangat berpengaruh. Kami harus berjuang dengan pemain lokal untuk setidaknya jangan sampai terdegradasi," ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Terkendala Dana

Penampilan PSIS seperti roller coaster yang baru saja naik ke titik tertinggi, kemudian terjun di musim berikutnya. Tim pujaan Panser Biru dan Snex ini tak berdaya bersaing pada musim 2000 dan harus terdegradasi ke Divisi I.

Menurut Agung Setyabudi, perjalanan timnya musim 2000 kontras dengan musim sebelumnya. Kondisi keuangan terbatas di manajemen klub juga ikut menjadi faktor performa PSIS yang mulai melempem.

Dirinya memaklumi kondisi persepakbolaan Indonesia yang saat itu belum digarap dengan profesional seperti sekarang. Jejak PSIS juga sempat diikuti Persik Kediri saat juara di tahun 2003, namun terdegradasi satu musim berikutnya.

"Sepak bola di jaman itu masih dikelola Pemerintah Daerah. Setelah juara otomatis pemain minta kenaikan gaji, tapi klub tidak dapat memenuhinya. Bisa bertahan di Divisi Utama sudah bagus, meski rejekinya diberi tiket degradasi," jelas Agung Setyabudi.

 

Video Populer

Foto Populer