Sukses


Membongkar Dapur Timnas Indonesia Era 1990-an bersama Kas Hartadi

Bola.com, Solo - Bagi pencinta sepak bola Indonesia era 1990-an, nama Kas Hartadi familiar. Pria asal Solo yang menjadi andalan di Timnas Indonesia sejak usia muda.

Kiprahnya semakin berkembang dengan mencapai banyak kesuksesan bersama tim Kramayudha Tiga Berlian (KTB). Posisinya sebagai pemain sayap karena kelincahan dan kecepatannya. Kas Hartadi lalu mendapat julukan Si Kijang.

Medali emas SEA Games Manila 1991 menjadi satu di antara bukti rangkaian kesuksesannya di sepak bola. Tidak sampai di situ, setelah gantung sepatu nama Kas Hartadi tetap moncer usai membawa Sriwijaya FC menjuarai Liga Indonesia sebagai pelatih pada tahun 2012.

Bola.com berkesempatan mewawancarai Kas Hartadi, untuk bertanya seputar perjalanan kariernya saat masih aktif sebagai pemain. Terutama mengenai kiprah Timnas Indonesia saat masih dibelanya.

Kas Hartadi kini telah bertransformasi menjadi seorang pelatih jempolan. Sudah banyak klub yang sempat ia latih, tentunya dengan pencapaian prestasi. Berikut ini obrolan santai dengan sang pelatih.

Video

2 dari 3 halaman

Awal Karier

Bagaimana cerita awal Anda menekuni sepak bola hingga sukses bersama Timnas Indonesia?

Ketika di kelas 3 SD saya belajar main bola ikut klub internal Adidas kota Solo. Sampai kelas 3 SMP. Lulus dan masuk Diklat Salatiga selama satu setengah tahun, dan pindah ke Ragunan.

Dari Ragunan saya selesai tahun 1986, lalu direkrut KTB. Selama di Ragunan pemrah mewakili Timnas U-16 di Qatar dan Jerman. Hingga prestasi medali emas SEA Games 1991.

Sebelumnya di tahun 1989 saya ikut tim Timnas program latihan di Jerman, berlanjut ke Timnas Pra Olimpiade.

Apa yang mendorong Anda terus menekuni sepak bola?

Sudah cita-cita saya bahwa harus jadi pemain nasional. Makanya kerja keras setiap hari lari dsri rumah saya ke Purwosari (Kota Solo) sekitar 5 kilometer, setiap hari.

Dorongan penuh dari orang tua saya, meskipun ayah saya bukan pemain sepak bola. Memang kakak-kakak saya pemain bola di Solo. Proses tidak pernah mengkhianati hasil.

Bagaimana perasaan ketika pertama kali berseragam Timnas Indonesia?

Masuk timnas suatu kebanggaan membela negara, harus ada motivasi tinggi diimbangi kerja keras.

Latihan berat semua, tidak ada yang ringan. Sekarang ini perkembangan sepak bola modern, latihan dengan keras seperti halnya saat zamannya Anatoli Polosin. Kadang metode seperti ini dianggap sudah kuno, padahal itu pondasinya.

Apa kunci dalam sebuah tim meraih prestasi, termasuk di Timnas pada era dahulu?

Tidak ada blok-blokan di tim, pemain tidak stres setelah latihan atau bertanding. Karena sebenarnya ada kalanya serius ada kalanya santai. Polosin latihan berat sekali di luar bebas, harus bisa menjaga latihan wajib keras.

Makanya Timnas dulu prestasinya bagus hanya fasilitas kurang, kebalikan dengan kondisi sekarang. Saya masih ingat saat latihan di Jerman, waduh minta ampun beratnya. Tapi hasilnya Timnas Indonesia benar-benar teruji.

3 dari 3 halaman

Kerja Keras

Apa yang membuat prestasi Timnas Indonesia tidak segarang era dahulu?

Kerja kerasnya kurang, semua hanya ingin dipanggil Timnas, karena nilainya semakin tinggi saat di klub. Terakhir di mental, semua capeknya ampun-ampun deh. Kalau fisik bagus tinghal ke taktik dan semua jalan.

Dulu medianya kurang jadi pemain saling bersaing dengan ketat. Sekarang banyak medianya tapi prestasi kurang, karena disuruh kerja keras saja barangkali dirasa berat. Kalau sekarang bisa menghajar Thailand atau Vietnam empat gol saja, Timnas kita bisa saya katakan maju.

Menurut Anda, apa yang masih perlu dibenahi dari Timnas Indonesia saat ini?

Selain fisik juga ada pada mental, itu kalau dilatih Polosin apa nggak ampun-ampun. Kalau fisik bagus, tinggal taktikal semua jalan. Kalau suruh lari terus selalu dibilang metode kuno.

Jadi dulu benar-benar kerja kerasnya tinggi, makanya kalau saya banyak ngomong bisa dikatain itu dulu.

Anda juga sukses sebagai seorang pelatih, apa kiatnya?

Cara melatih saya tidak jauh berbeda dari apa yang saya dapatkan di Krama Yudha Tiga Berlian. Abdul Kadir, Tumpak Sihite, sampai Ipong Silalahi, mereka semua panutan saya.

Kemudian psikologis secara keseluruhan menjadi yang utama. Sehebat apapun skillnya kalau tidak bisa menyatukan, tetap tidak maksimal. Namun lain pelatih lain caranya, kemudian ditambah sedikit faktor keberuntungan.

Video Populer

Foto Populer