Bola.com, Malang - Pesepak bola Indonesia kini punya tantangan makin berat. Pengaruh media sosial dan publikasi media massa ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi membuat pemain cepat terkenal. Sisi lain, bisa membuat cepat puas dan bisa menerima banyak kritikan ketika tampil buruk.
Advertisement
Hal itu bisa membuat karier pemain Indonesia tak bertahan lama. Beda dengan pesepak bola generasi sebelum 2000-an. Pesepak bola tanah air punya karier yang lebih panjang dan Itu diakui mantan gelandang Indonesia, Firman Utina.
“Saat ini, bagaimana mengatasi star syndrome. Itu bisa membuat pemain sekarang cepat hilang,” katanya.
==
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Melawan Star Syndrome
Biasanya, star syndrome membuat pemain cepat puas. Mereka terlena dengan popularitas yang didapat dan berimbas penurunan performa di lapangan.
“Untuk mengatasi persoalan ini, klub harusnya punya psikolog. Untuk membuat pemain tidak merasa star syndrom. Era saat ini, publikasi media masa dan media sosial sangat besar. Jika tidak kuat mental, karirnya tidak bisa lama. Padahal kualitas pemain Indonesia ini bagus. Itu harus dijaga,” sambungnya.
Advertisement
Pentingnya Psikolog
Hanya saja, saat ini belum banyak klub yang melibatkan psikolog di tim. Belakangan, baru ada di Timnas Indonesia kelompok usia.
Sementara di klub masih jarang. Arema FC sempat bekerja sama dengan psikolog, namun dalam hal lain. Mengangkat mental pemain setelah mengalami Tragedi Kanjuruhan.
“Selain psikolog, peran pemain senior dan pelatih juga bisa. Sebab pemain yang mengalami star syndrom kebanyakan yang masih muda. Harus dijaga para pemain muda ini, mereka generasi penerus di Timnas juga,” kata pria yang kini menjabat sebagai Dirtek di Youth Development Dewa United tersebut.
Zaman Berubah
Di saat masih aktif bermain di awal tahun 2000, Firman Utina merasa publikasi masih jarang. Sehingga pemain tidak cepat besar kepala.
“Kalau dulu, masuk koran itu sudah senang sekali. Dan jarang pemain timnas biasanya yang bisa masuk koran. Jadi, kami berlomba juga agar bisa ke Timnas,” jelasnya.
Waktu itu, meda cetak juga masih terbatas. Sehingga pemberitaan juga tidak sangat selektif. Itu juga membuat di era Firman bermain mayoritas pemain punya karier panjang.
Seperti Bambang Pamungkas, Boaz Salossa, Kurniawan Dwi Yulianto dan lainnya. Berbeda dengan sekarang. Publikasi tentang pesepak bola sangat tinggi. Selain media cetak, media elektronik hingga media sosial sangat banyak.
Advertisement