Bola.com, Jakarta - Kekalahan telak Timnas Indonesia dari Timnas Jepang dengan skorĀ 0-4 di SUGBK, Jumat (15/11/2024), membuka mata stakeholder sepak bola nasional dan para pencinta Tim Garuda.
Publik yang menyaksikan pertandingan pasti sepakat kualitas Timnas Indonesia asuhan Shin Tae-yong masih jauh di bawah pasukan Hajime Moriyasu, baik dari sisi mental, skill individu, dan kerja sama tim.
Baca Juga
Agen Cristiano Ronaldo Ekspansi ke ASEAN Gandeng Erick Thohir dan Bos Valencia serta JDT: Yakin Temukan Pemain Top dari 683 Juta Orang
Timnas Indonesia Menatap Piala AFF 2024: Reputasi Erick Thohir dan Shin Tae-yong Dipertaruhkan
Saddil Ramdani Ungkap Keinginan Kembali ke Timnas Indonesia: Mereka Sangat Luar Biasa Bersama Shin Tae-yong dan Erick Thohir
Advertisement
Namun, jika merunut ke belakang, performa Blue Samurai saat ini tidak diraih dengan tiba-tiba melainkan melalui proses panjang dan konsistensi membangun sepak bola.Ā
Sementara Indonesia hanya bangga dengan nostalgia bahwa negara kita pernah dijadikan tempat belajar Federasi Sepakbola Jepang (JFA) pada era 1990-an. Selanjutnya, kita tetap jalan di tempat. Sedangkan Jepang lari cepat untuk mencapai tujuannya.
"Selama ini ada pendapat salah bahwa Jepang belajar sepak bola dari Indonesia. Mereka tak belajar teknis main bola, tetapi cara pengelolaan sepak bola profesional di era Galatama. Kita jalan di tempat karena sering ribut sendiri di PSSI. Sementara Jepang mengerahkan segala sumber dayanya untuk sepak bolanya," kata Bambang Nurdiansyah, mantan pemain Timnas Indonesia era 80-90an, yang kini berprofesi sebagai pelatih.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Ganti Belajar dari Jepang
JFA, lanjut Bambang Nurdiansyah, hanya mengadopsi manajemen sepak bola profesional. Soal pembinaan masif, mereka belajar dari negara-negara lain yang sudah maju.
"Seharusnya Indonesia yang sekarang menimba ilmu pembinaan pemain dari Jepang. Kita tak usah malu untuk belajar dari negara lain," ujarnya.
Padahal, sebenarnya sudah lama Indonesia memiliki sentra-sentra pembibitan atlet berbentuk diklat di berbagai daerah.
"Banyak pemain Timnas Indonesia dulu jebolan Diklat Ragunan dan Salatiga. Tapi, saya tak tahu bagaimana kurikulum diklat-diklat itu sekarang. Sudah saatnya diklat itu dikembalikan ke marwahnya kembali," ucapnya.
Advertisement
Salut Program Naturalisasi
Bambang Nurdiansyah, di sisi lain, salut dengan gebrakan PSSI di bawah Erick Thohir yang mempercepat kemajuan Timnas Indonesia dengan program naturalisasi.
"Program ini idealnya sebagai trigger atau pemicu. Berikutnya, PSSI dan insan sepak bola membina secara masif di grassroot. Jika anak-anak yang sekarang berusia 10 tahun dibina dengan serius, minimal sepuluh tahun lagi kita punya Timnas yang tangguh," paparnya.
Dengan masa jabatan Ketua Umum PSSI yang berdurasi empat tahun maka Erick Thohir setidaknya harus memimpin federasi selama 2,5 periode.
Jadi, Erick Thohir jangan mundur dulu karena dia harus "bertanggung jawab" atas kekalahan Timnas Indonesia atas Jepang kemarin.