Sukses


Ketika Arsenal Memburu Roh Daya Saing

Bola.com, Jakarta Seberapa lama Freddie Ljungberg akan bertahan sebagai manajer caretaker di Arsenal? Entahlah, tapi saya amat yakin umur kepelatihannya di The Gunners tidak akan lebih panjang dari Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United. Kenapa? Karena ia bukan tipe persona pencari jiwa daya saing atau pembangkit mental kemenangan. Ljungberg sosok dengan kualitas bagus, tapi bukan figur yang tepat.

Penulis adalah pemerhati Arsenal yang sudah lama meyakini bahwa Unai Emery tidak dapat mengisi sepatu Arsene Wenger di klub asal London Utara itu dengan nyaman. Dengan persaingan superketat di Liga Premier dalam 15 tahun terakhir, dibutuhkan seorang pelatih yang bisa bekerja ekstra cepat dan langsung memperlihatkan kemenangan-kemenangan yang meyakinkan, bukan dari sebuah cara bermain yang pragmatis dan hanya mementingkan skor akhir.

Wenger butuh waktu dua tahun untuk meraih trofi pertamanya di Arsenal, tapi pria asal Strasbourg datang di era saat reformasi manajemen dan revolusi gaya bermain di divisi utama Inggris belum terjadi. Persaingan yang renggang pada akhir 90-an membuat The Professor, julukan Wenger, tidak sulit meramu gaya permainan baru dengan nafas sepak bola kontinental yang sarat umpan pendek guna merajai Premier League.

Situasi berubah drastis ketika di sekitar 2004 investasi besar revolusioner Roman Abramovich di Chelsea membuka keran impor pemain top dari seluruh dunia dan menginsipirasi lahirnya cara-cara instan baru dalam membentuk klub-klub elite anyar di daratan Inggris. So, tidaklah lagi cukup resep lokal plus ditambah beberapa pilar asal Prancis saja untuk membuat Arsenal terus memenangi persaingan.

2 dari 3 halaman

Langkah Pertama Membenahi Mental dan Kedisiplinan

Pada sisi lain, Emery sejak datang ke Emirates Stadium di medio 2018 hingga ditendang dari sana pada pekan lalu juga tidak jelek-jelek amat. Lelaki klimis asal Spanyol ini membukukan 55,1% kemenangan dalam periode yang amat pendek tersebut. Torehan prestasi mengantar The Gunners ke final Liga Europa musim lalu juga jangan dipandang sebelah mata oleh pembaca.

Ia dipecat bukan karena gagal mempersembahkan trofi dengan cepat seperti Wenger, juga bukan karena bermental medioker. Melihat fungsi-fungsi seorang manajer di Inggris ini belakangan pun diturunkan menjadi layaknya seorang head-coach yang tidak lagi punya kuasa dalam 100% memilih pemain yang akan dibeli klub, kita bisa maklum bila akhirnya Emery terlihat kikuk mengadaptasi keinginan board of director Arsenal.

Saya sepakat dengan mainstream pendapat di kalangan jurnalis sepak bola Inggris Selatan bahwa Emery dianggap gagal membangun mental juara para pemain hebat yang sekarang sudah ada di dalam klub. Itulah juga sebabnya Ljungberg dalam debut kepelatihannya sudah langsung dihakimi Gooners lantaran menurunkan dua pemain yang punya mental jelek dan sudah secara halus disingkirkan Emery, yakni pemain jangkar Granit Xhaka dan pilar belakang Shkodran Mustafi.

Ya, siapa yang meragukan kualitas pemain semodel Pierre-Emerick Aubameyang dan Alexandre Lacazette di lini depan, Mesut Ozil di sektor tengah, dan David Luiz di jantung pertahanan? Mereka pemain-pemain berkelas dunia yang parahnya sejak awal musim ini kelihatan kehilangan motivasi dan tidak bermain dalam standard permainan terbaik mereka sendiri.

3 dari 3 halaman

Perlu Mengubah Mindset Keswick dan Kroenke

David Luiz pun kerap cuek meninggalkan daerah pertahanannya karena jengkel dengan kinerja rekannya di barisan gelandang. Bukan hanya Luiz, hampir semua lini bermain tanpa disiplin dan arahan yang homogen layaknya di era keemasan Wenger pada angkatan Patrick Vieira. Nah, uniknya Ljungberg sendiri adalah bekas bagian dari golden era Arsenal tersebut.

Kesan kuat bahwa rezim chairman Sir Chips Keswick bermaksud mengulangi nostalgia era keemasan tersebut lewat Ljungberg sangat terlihat di sini. Menurut saya, roh daya saing Arsenal hanya bisa kembali melekat kepada klub berlogo meriam tersebut bila klub dipimpin seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan dan disiplin yang tegas.

Dari sejumlah nama yang telah masuk bursa, saya menilai Rafael Benitez dan Mauricio Pochettino adalah orang yang memiliki syarat ini, tapi sayangnya mereka juga sosok yang sekaligus bermental manajer sesungguhnya, alias ogah diatur-atur para direktur bak seorang head coach biasa. Tanpa mengubah mindset klub dari level owner, sulit bagi Arsenal untuk mengubah club culture yang telah terlanjur terdegradasi sekarang ini.

Liverpool bisa melakukan sebuah revolusi dengan Jurgen Klopp dalam kurang dari lima tahun karena manajemen The Reds memberikan keluangan bagi pelatih asal Jerman itu untuk mengambil kendali klub sepenuhnya, lalu apakah Stan Kroenke bisa legawa melakukannya di Arsenal? Sebagai seorang kapitalis sejati asal Amerika Serikat, menurut saya ia hanya peduli pada laba sembari kadang-kadang mendengarkan suara fans yang menjadi pembeli cinderamata dan tiket terusan. Raihan gelar bukan prioritasnya saat ini. Percayalah, saya sudah lebih dari satu dekade mengamati pola-pola yang sama di North Londoners kerap berulang.

*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.

Video Populer

Foto Populer