Ruben Amorim Mengaku Lebih Matang Setelah Jadi Manajer MU

Pernyataan tersebut mencerminkan betapa menantangnya situasi yang ia hadapi di United. Klub dengan sejarah besar dan sorotan media tanpa henti menuntut hasil instan, sementara Amorim membutuhkan waktu untuk menanamkan filosofi dan identitas permainannya.

Amorim juga menekankan bahwa ia menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis pertandingan-pertandingan sebelumnya. Bagi sang pelatih, proses refleksi menjadi kunci untuk memahami kesalahan dan menentukan arah perbaikan.

“Sulit menunjuk satu hal tertentu, tetapi memaksimalkan skuad yang saya miliki musim lalu ternyata tidak selalu menjadi pilihan yang tepat,” jelasnya.

Ia menyadari bahwa keputusan taktis maupun pendekatan manajemen pemain di awal masa jabatannya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan tim. Pengalaman pahit musim lalu justru membuka perspektif baru tentang bagaimana membangun keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme.

“Saya melihat kembali perjuangan musim lalu untuk memahami banyak hal dengan cara yang berbeda,” tambah Amorim.

Meski mengaku ingin mengubah hingga 75 persen pendekatannya, Amorim menegaskan bahwa prinsip-prinsip utama atau “garis merah” dalam kepelatihannya tetap sama. Nilai-nilai fundamental seperti etos kerja, disiplin, dan mentalitas kompetitif masih menjadi fondasi timnya.

“Saya adalah pelatih yang berbeda hari ini. Mungkin saya ingin melakukan 75 persen hal secara berbeda, tetapi hal-hal terpenting tetap sama,” katanya.

Pernyataan ini menunjukkan kedewasaan Amorim dalam memahami bahwa evolusi bukan berarti meninggalkan identitas, melainkan menyempurnakannya agar lebih relevan dengan situasi dan tantangan yang ada.

Dengan segala pembelajaran yang telah ia lalui, Amorim kini menatap masa depan Manchester United dengan keyakinan lebih besar. Ia percaya bahwa pengalaman pahit di musim pertamanya akan menjadi modal penting untuk membawa tim ke level yang lebih tinggi.

“Saya pikir saya adalah pelatih yang lebih baik sekarang,” pungkas Amorim.

Sumber: Tribalfootball