Sukses


Maria Londa, Misi (Tak) Mustahil 42 Cm di Olimpiade

Bola.com, Bali - Maria Londa diam sejenak saat diminta mengungkapkan targetnya di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Tak lama, senyum tersungging di bibirnya. Raut wajahnya memancarkan keyakinan. Ekspresi khas seorang juara.

“Ini Olimpiade pertama. Bisa lolos pun sudah luar biasa. Puji Tuhan bisa lolos kualifikasi A, padahal awalnya berpikir kalau bisa lolos kualifikasi B sudah luar biasa. Tapi tanggung jawab juga lebih besar. Tak ada yang tak mungkin di mata Tuhan, saya hanya bisa berusaha dan berlatih lebih keras,” kata Maria Londa, dalam percakapan santai dengan bola.com di rumahnya di Badung, Bali, 27 Januari 2016.

Pelompat jauh yang menjadi atlet pertama Indonesia yang memastikan tiket ke Olimpiade 2016 tersebut tak menjawab lugas soal targetnya. Bukan perkara mudah menjawab pertanyaan pelik ini. Olimpiade adalah rimba baru bagi atlet kelahiran Denpasar, 29 Oktober 1990. Tiket Olimpiade datang tanpa disangka-sangka.

Cerita manis tersebut tertoreh pada ajang SEA Games 2015. Maria membawa pulang medali emas setelah melompat sejauh 6,70 meter. Ini memang bukan rekor lompat jauh di SEA Games, yang sampai sekarang masih dipegang Marestella Torres dari Filipina dengan lompatan 6,71 meter. Namun, Maria telah memecahkan rekor nasional atas namanya sendiri. Sebelumnya, rekor nasional dibuatnya saat Asian Games 2014, dengan lompatan 6,55 meter.

Atlet putri Indonesia, Maria Natalia Londa meraih medali emas nomor lompat jangkit putri putri SEA Games yang berlangsung di Stadion Nasional Singapura. Kamis (11/6). (Bola.com/Arief Bagus)

Dua milestone itu disempurnakan dengan tiket Olimpiade. Lompatan 6,70 meter ternyata memenuhi kualifikasi tampil di pesta multievent terbesar sejagat tersebut. Saat pintu ke Olimpiade terbuka, Maria tak mau setengah-setengah. Putri pasangan Pamilus (almarhum) dan Anastasia Ari Ningsih, bertekad akan berjuang habis-habisan.

“Saya sudah diberikan jalan, satu titik untuk menjadi yang terbaik (di Olimpiade). Saya harus bisa melewati titik-titik berikutnya,” beber Maria.

Berjuang dan Berlatih 

Itulah yang dilakukan Maria sejak tiket Olimpiade masuk genggaman. Berlatih dan berjuang. Dua kata tersebut bukan hal baru buat Maria. Hidup pelompat jauh berusia 25 tahun tersebut sejak dulu sarat perjuangan dan latihan keras.

Pagi berlatih, siang istirahat, sore berlatih, malam istirahat lagi. Hampir tak ada waktu bermain dan bersenang-senang seperti teman-teman sebayanya. Tapi, Maria tak menyesal. Faktanya, atletik telah mengubah hidupnya. 

Perkenalan Maria dengan atletik dimulai saat duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Dia diajak ayahnya melihat-lihat latihan atletik di Denpasar. Dari rumah, ayah Maria mengayuh sepeda kumbang. Sedangkan Maria berlari-lari di sampingnya.

Keinginan menggeluti atletik tak datang begitu saja. Dia awalnya harus dipaksa oleh sang ayah, apalagi atletik adalah olahraga yang sangat individu. Kesabaran sang ayah berbuah manis. Maria malah kecanduan atletik. Dia mulai berlatih keras dengan sukarela. Kehadiran pelatih I Ketut Pageh yang menanganinya sejak tahun 2000 juga berpengaruh besar.

Kala duduk di kelas V SD, Maria sudah mengikuti Kejuaraan Nasional Usia Dini dan merengkuh medali perunggu. Setelah itu, dia berpartisipasi di ajang Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas), Kejuatan Atletik Sekolah tingkat Asia, Kejuaraan Atletik Universitas tingkat Asia, hingga akhirnya mendulang medali emas di SEA Games dan Asian Games 2014.

Deretan medali milik Maria Londa yang diraihnya di berbagai event internasional maupun nasional. (Bola.com/Vitalis Yogi)

“Atletik bukan hanya lari, lempar, dan tolak, tapi ada juga lompat. Saya memang enggak suka lari, karena itu membosankan. Lompat jauh itu asyik dan unik. Saya senang saat berlari sendiri, menumpu sendiri, dan mendarat, serta ada orang di sebelahnya. Itulah keasyikan lompat jauh,” urai Maria menjelaskan alasannya memilih lompat jauh, hingga berprestasi mengilap seperti saat ini.

Prestasi Maria di dunia atletik tak perlu diragukan. Bukan hanya di nomor lompat jauh, tapi juga lompat jangkit. Pada SEA Games 2009 Laos, dia mendulang dua medali perunggu. Dua tahun berselang di SEA Games 2011 Palembang, Maria meraih dua medali perak. Medali emas baru diraih di SEA Games 2013 Myanmar, malah dua keping sekaligus.

Berlatih Nomaden di Pantai 

Setelah itu, Maria semakin berkibar. Dia merengkuh emas pada nomor lompat jauh di Asian Games Incheon, Korea Selatan 2014. Sedangkan pada SEA Games 2015, mendulang dua medali emas, satu di antaranya memecahkan rekor, yaitu di nomor lompat jangkit (14,17 meter).

Kini, tantangan Maria lebih berat. Olimpiade setingkat di atas Asian Games. Persaingan meraih emas lebih berat, bahkan sangat terjal. Tapi, Maria pantang menyerah sebelum bertanding. Atlet yang menyukai Valentino Rossi tersebut juga pantang mengeluh, termasuk saat harus berlatih nomaden di pantai untuk persiapan menyambut Olimpiade 2016.

Berlatih berpindah-pindah pantai bukan hal baru bagi Maria. Atlet yang memelihara dua ekor anjing itu terpaksa mengasah kemampuan di pantai karena Bali tak memiliki fasilitas latihan lari yang berstandar nasional, apalagi internasional. Fasilitas di Jakarta memang lengkap, tapi sejak dulu Maria memilih berlatih di Pulau Dewata, saat hari-hari biasa maupun untuk Pelatnas. Faktor keluarga dan pelatih jadi alasan.

Atlet lompat jauh Indonesia, Maria Londa, berlatih diawasi sang pelatih, I Ketut Pageh, di Bali, 27 Januari 2016. (Bola.com/Vitalis Yogi)

Sejak 2008 tepatnya menjelang PON Kalimantan Timur, Maria terbiasa berlatih di pantai. Kebiasaan itu sempat dipandang aneh oleh orang luar maupun warga yang beraktivitas di pantai. Apalagi dia dan I Ketut Pageh kerap membawa cangkul untuk menggemburkan pasir yang akan dipakai. Latihan sederhana dan “aneh” untuk atlet yang sudah berprestasi di ajang internasional.

Meski Maria sudah bertahun-tahun latihan di pantai, sampai sekarang masih ada yang memandang takjub. Tak jarang pengunjung pantai mendekat untuk menontonnya berlatih.

Seperti saat Maria berlatih di Pantai Legian, 27 Januari 2016. Sejumlah pengunjung mengabadikan sesi latihan tersebut dengan kamera handphone atau kamera berlensa panjang. Bahkan seorang perempuan asal Prancis mendekat dan menanyakan identitas Maria. Dia kemudian mengatakan ingin bergabung berlatih keesokan harinya.

Berlatih di pantai memberikan sensasi spesial. Suara debur ombak, terik sinar matahari, hingga lalu lalang turis menjadi penguji konsentrasi.

Selain pengunjung, latihan Maria juga kerap diinterupsi ombak dan arus deras. Saat serius berlatih, alat-alat pendukungnya kadang tersapu ombak. Alhasil, dia dan teman-temannya sibuk memindah-mindahkan alat latihan ke tempat yang lebih kering.

Maria tak selalu berlatih di Legian, kadang di Pantai Pulau Serangan dan Patrajasa. Lokasi latihannya berpindah-pindah tergantung pasang-surut air laut dan program latihan yang dirancang I Ketut Pageh. Sang pelatih lebih dulu mengecek kondisi arus di masing-masing pantai sebelum memutuskan lokasi latihan. Selain di pantai, Maria juga latihan fitness.

“Kalau latihan ditonton orang atau ditanya-tanya sudah biasa. Malah jadi motivasi tersendiri. Mereka biasanya ingin tahu apa yang sedang kami lakukan, terus tanya atlet apa, prestasinya sampai mana. Apresiasinya bagus, kadang ikut latihan juga,” kata Maria.

“Tapi saya tetap berharap Bali memiliki tempat latihan yang berstandar internasional. Ini semua bukan tentang saya. Tapi banyak adik-adik junior yang memang membutuhkan tempat latihan yang ideal.”

2 dari 2 halaman

1

Pingsan dan Muntah 

Sarana minim tak jadi penghalang. Maria memegang prinsip selalu memberikan 100 persen saat latihan. Batasnya jelas: pingsan. Jika sudah pingsan, artinya harus berhenti. Muntah jadi lampu kuning. Seandainya muntah dan masih kuat berdiri tegak, perempuan yang punya adik kembar ini bakal kembali berlari dan melompat. Jika sudah tak mampu berdiri, dia berhenti.

Bagi peraih medali emas Asian Games 2014 ini, berlatih harus selalu sekuat tenaga. Muara dari berlatih adalah mencapai hasil. Latihan seadanya tak akan menghasilkan apapun. Maria tak mau hanya dikenal sebagai atlet biasa dan kemudian menguap tanpa jejak. Dia ingin menjadi kampiun. Sejarah hanya mencatat nama pemenang, bukan pecundang.

Atlet Olimpiade asal Indonesia, Maria Londa, berlatih ringan di rumahnya. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

“Jadi atlet itu susah-susah gampang. Latihan pasti berat. Tapi latihan serius atau tidak, kan sama-sama berkeringat. Jadi lebih baik latihan serius dan maksimal. Tujuan saya jadi juara. Sekarang saya sudah mendapat tiket Olimpiade, saya akan mempertahankan dan memperjuangkan apa yang sudah saya dapat,” tegas kakak Rico Adrianus Meli dan Riky Arianto Mari tersebut.

Seberapa keras porsi latihan yang harus dijalani Maria untuk berprestasi di Olimpiade 2016? Haruskah Maria mendorong dirinya melewati limit?

Atletik olahraga terukur. Semuanya dihitung dengan angka. Dari jejak rekaman Olimpiade London 2012, Maria bisa memprediksi apa yang menunggunya di Rio de Jenairo. Untuk berani memimpikan keping medali emas Olimpiade, dia harus bisa menaklukkan "rintangan" sejauh 42 cm.

Angka 42 cm tersebut margin antara lompatan terbaiknya dengan lompatan sang peraih medali emas di Olimpiade London 2012. Medali emas di nomor putri dimenangi atlet Amerika Serikat, Brittney Reese, dengan lompatan 7,12 meter. Adapun medali perak direbut pelompat jauh Rusia, Elena Sokolova, dengan jarak lompatan 7,07 cm dan perunggu dibukukan atlet AS lainnya, Janay Deloach, dengan lompatan 6,89 cm.

Bagi orang biasa, 42 cm bukanlah jarak yang jauh, hanya seukuran sepatu. Namun, untuk seorang pelompat jauh, mengejar margin 42 cm dalam tempo setahun bagaikan misi mustahil.

"Menambah jarak lompatan 1 cm saja sangat sulit. Apalagi 42 cm. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin. Yang jelas, untuk meraihnya butuh perjuangan panjang, porsi latihan luar biasa dan perhatian dari pemerintah," kata perempuan berusia 26 tahun ini.

Pertaruhan Terbesar

Maria pernah membuktikan ungkapan “tak ada yang tak mungkin” saat Asian Games 2014. Di atas kertas, kans mendulang medali emas sangat tipis. Modal lompatannya saat itu kemungkinan hanya bisa mengantarnya menduduki peringkat kelima. Tapi, kejutan terjadi. Maria memanen perjuangan kerasnya setelah mencatat lompatan sejauh 6,55 meter di Incheon Asiad Main Stadium, Senin, 29 September 2014.

Atlet kelahiran Bali itu mengungguli atlet Vietnam, Bui Thi Thu Thao, yang melakukan lompatan 6,44 meter. Sedangkan medali perunggu dimenangi atlet China, Jiang Yanfei, dengan lompatan 6,34 meter.

“Situasinya sama seperti sekarang, saat menghadapi Olimpiade 2016. Atlet lainnya punya modal lompatan 6,90 meter. Sedangkan modal saya 6,70 meter. Apapun bisa terjadi.”

Untuk mengejar ketertinggalannya, Maria menggenjot porsi latihan hingga limit. Yang paling utama adalah membenahi teknik lompatan, terutama posisi saat di udara. Latihan kecepatan juga terus digenjot. Tak lupa, mental juga diasah. Teknik mengilap tanpa dibarengi mental baja bukan paket ideal untuk berprestasi. Apalagi di ajang akbar sekelas Olimpiade.

Beruntung, kehidupan keras turut menggembleng mental Maria. Apalagi semenjak ayahnya meninggal lima tahun silam, Maria harus mengambil tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Dia telah lulus ujian ini. Setidaknya roda kehidupan keluarganya tetap berjalan baik tanpa sang ayah, termasuk dari sisi ekonomi.

Kedua adiknya tengah menyelesaikan kuliah, sedangkan Maria telah membeli rumah untuk dirinya sendiri. Ini rumah kedua dari hasil jerih payahnya di atletik. Sebelumnya, Maria telah memberikan hadiah rumah untuk orang tuanya, yang kini ditempati ibu dan kedua adiknya. 

Maria kini ingin menggenapi kebahagiaan tersebut dengan menorehkan prestasi di Olimpiade, ajang tertinggi, terakbar, pertaruhan terbesar, dan titik kulminasi bagi setiap atlet. Medali di Olimpiade juga bakal jadi hadiah terindah bagi keluarganya, yang merupakan pusat kehidupan Maria.

Pelompat jauh Indonesia, Maria Londa, berfoto di samping potret ayahnya di rumahnya, Bali. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

"Beliau (ayah) ingin saya jadi juara. Saya tak boleh lemah dan cengeng. Apa yang saya perjuangkan selama ini demi keluarga. Saya tak ingin keluarga dicemooh orang lain.  Saya lahir bukan dari keluarga berada, tapi juga bukan keluarga tak beruntung. Saya beruntung punya keluarga, beruntung mendapat kasih sayang dan perhatian yang luar biasa dari keluarga. Saya bisa seperti ini berkat keluarga. Apa yang saya perjuangan dulu, kemarin, hari ini ke depan, keluarga yang utama. Untuk negara dan bangsa mengikuti."

Kehidupan selalu hadir dalam dua sisi. Jika siap memang, Maria juga siap gagal. Tapi, jika akhirnya gagal di Olimpiade Rio de Janeiro, Maria mengaku masih punya banyak impian untuk diraih. 

"Jika yang saya usahakan saat ini belum menghasilkan sesuatu yang maksimal di Olimpiade, masih ada kejuaraan-kejuaraan berikutnya. Usia saya masih 25 tahun. Masih ada SEA Games, Asian Games di Indonesia, dan semoga bisa ikut Olimpiade berikutnya,” tegas perempuan yang meyakini menghargai orang lain adalah salah satu kunci menuju kesuksesan tersebut.

 

 

Video Populer

Foto Populer