Sukses


Terapi Plasma Diklaim Belum Efektif untuk Kasus COVID-19 Berat

Bola.com, Jakarta - Penggunaan plasma konvalesen belakangan dianggap sebagai cara ampuh sebagai terapi untuk pasien COVID-19. Namun, hal itu ternyata tidak efektif untuk penderita COVID-19 dengan gejala berat.

Efektivitas dari plasma konvalesen lebih bermanfaat untuk terapi COVID-19 untuk gejala ringan dan sedang. Terapi penggunaan plasma konvalesen untuk kasus COVID-19 berat tidak ada perbedaan dengan terapi kontrol biasa.

"Efektivitas lebih baik terhadap penderita COVID-19 level ringan dan senang, dibandingkan dengan level berat. Tidak ada perbedaan manfaat bermakna kelompok terapi plasma konvalesen dibanding terapi kontrol penderita derajat berat," kata Deputi bidang penelitian Translasional Lembaga Eijkman, Profesor David Handojo Muljono.

Selain itu, regulator di berbagai negara dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejauh ini belum mengizinkan penggunaan plasma konvalesen sebagai standar terapi. Artinya, cara ini masih menanti uji klinis dengan nilai statistik kuat.

Penggunaan plasma konvalesen masih digunakan dengan izin penggunaan darurat alias emergency use authorization (EUA). David menilai masih dibutuhkan penelitian yang panjang untuk mengetahui manfaatnya.

"Semuanya masih dalam penelitian, belum dinyatakan baik untuk pengobatan COVID-19. Hasilnya pun masih bermacam-macam, ada yang bagus, ada yang tidak berbeda," ucap David.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Tidak Mudah

Untuk melakukan donor plasma konvalesen dari penyintas COVID-19 dilakukan tidak sembarangan. Plasma konvalesen harus memiliki kadar antibodi netralisasi yang tinggi.

Kadar antibodi netralisasi alias neutralizing antibody (NAb) merupakan antibodi yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup sel dengan cara menetralkan efek biologis yang ditimbulkan oleh agen infeksius ataupun patogen.

"Tidak mudah mendapatkan neutralizing antibody, tergantung dari bagaimana terbentuknya saat terinfeksi. Ada yang bagus kualitasnya, ada yang tidak. Jadi, tidak semua memiliki netralisasi yang optimal," tegas Ahli imunologi, Profesor Iris Rengganis.

Video Populer

Foto Populer