Kolom: Rio di Sana, Rio di Sini

oleh Bola diperbarui 06 Agu 2016, 09:05 WIB
Kolom Lilianto Apriadi. (Bola.com/Rudi Riana)

Bola.com, Jakarta - Ada Rio yang ditunggu pada minggu-minggu ini. Rio di sana, Rio de Janeiro, dan Rio di sini, Rio Haryanto. Apakah ada hubungannya? Buat rakyat Indonesia sangat jelas memiliki hubungan, sama-sama ditunggu hasilnya. Dua-duanya juga ditunggu dengan hati dag dig dug, namun berbeda maknanya.

Yang ditunggu dari Rio de Janeiro adalah prestasi tinggi atlet Indonesia yang berjuang di olimpiade. Sementara itu, yang ditunggu dari Rio Haryanto selain prestasi adalah kepastian bahwa pebalap kebanggaan Tanah Air itu akan didepak oleh timnya atau kontraknya terus sampai akhir musim balapan F1?

Advertisement

Rio de Janeiro, tempat penyelanggaraan Olimpiade 2016, merupakan kota paling populer di Brasil, negara sepak bola, negara yang mirip Indonesia masih membangun menuju negeri maju. Walau belakangan sering dilanda aksi demo sosial, tapi magnet Rio tetap kuat bagi para pelancong. Sebelumnya, pada 2014, Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia. Kualitas penyelenggaraan ketika itu dibilang cukup sukses, tapi untuk prestasi Brasil gagal di semifinal setelah dihantam Jerman dengan skor telak 1-7.

Rio kali ini bukan tuan rumah yang hendak disorot walau penyelenggara dianggap masih banyak kekurangan, hingga yang terakhir ada ledakan di Stadion Maracana yang direncanakan sebagai arena pembukaan. Walau juga banyak atlet kesohor menyatakan mundur karena kesehatannya terancam terganggu akibat kabar pencemaran yang dahsyat di laut-laut yang melintas Brasil. Juga meski berita penuh dihiasi oleh dilarangnya banyak atlet Rusia akibat kasus doping negeri Beruang Merah itu.

Akan tetapi yang hendak dikupas tetap negeri kita. Berkekuatan 25 atlet, bulutangkis masih mendominasi dengan 10 atlet dan paling diharapkan mengulang tradisi emas setelah bolong pada Olimpiade London 2012.

Bulutangkis pada 2012 malah lebih tragis, tidak membawa sekeping pun medali. Prestasi yang paling mengenaskan sepanjang bulutangkis dimasukkan sebagai cabang yang dipertandingkan mulai 1992. Pada 1992 Indonesia malah mengawinkan emas tunggal putra dan putri lewat Susy Susanti dan Alan Budikusumah. Bahkan masih menyumbang dua perak (tunggal putra Ardy Wiranata dan ganda putra Eddy Hartono/Rudy Gunawan) dan satu perunggu lewat tunggal putra Hermawan Susanto.

Tradisi emas kemudian berlanjut tapi didominasi nomor ganda putra, selain ditambah pada 2004 melalui tunggal putra Taufik Hidayat. Nomor tunggal putri belum lagi mengulang prestasi Susy. Hanya Mia Audina pada Atlanta 1996 yang nyaris menyamai namun kalah di final dari Bang Soo-hyun dari Korsel.

Sekarang, harap-harap cemas menanti. Pasalnya kekuatan merata, terutama tentu di nomor-nomor unggulan kita, yakni ganda putra, ganda campuran, juga ganda putri. 

Menpora, Imam Nahrowi dan CDM Olympiade Rio 2016, Raja Sapta Oktohari berfoto selfie bersama kontingen Indonesia untuk Olimpiade Rio 2016 di di Kantor Kemenpora, Jakarta, Selasa (21/6/2016). (Bola.ccom/Nicklas Hanoatubun)

Tolok ukur ajang resmi ada di Piala Thomas dan Piala Uber pada Mei lalu. Walalu Indonesia lolos hingga final dan akhirnya kalah dari Denmark, tapi cermin kekuatan tidak seperti itu. Ganda putra memang menyumbang dua poin di semifinal ketika lawan Korea dan di final, tapi kita tidak jumpa dengan China dengan kekuatan merata di ganda dan tunggal. China kalah lebih dulu dari Korea di babak perempat final.

Selain negara-negara papan atas Piala Thomas itu, ada lagi pemain-pemain Jepang dan Thailand yang memiliki kekuatan imbang juga. Sementara itu, untuk sektor tunggal, Indonesia sepertinya bakal keteter melawan kekuatan China, Spanyol, Thailand, Jepang, dan India untuk tunggal putri. Sedangkan untuk tunggal putra, yang paling besar tentu Malaysia melalui Lee Chong Wei, yang hendak mengukir sejarah pertama untuk negerinya.

Kondisi prima, baik fisik maupun mental, sangat menentukan dalam kekuatan merata ini. Siapa yang siap, dialah yang memiliki peluang besar untuk juara. Semua negara akan berjuang sekuat tenaga menjadi yang terbaik, merebut emas. Semoga saja Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan (ganda putra). Nitya Krishinda Maheswari/Greysia Polii (ganda putri), dan dua pasang ganda campuran Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir dan Preveen Jordan/Debby Susanto, berhasil mencapai hasil maksimal. Sementara itu, tunggal putra Tommy Sugiarto dan tunggal putri Linda Wenifanetri diharapkan mampu menciptakan kejutan besar.

Mungkinkah emas muncul dari cabang luar bulutangkis? Pesimisitis tapi siapa tahu terutama atlet angkat besi menyodok tidak melulu perunggu maupun perak yang diperoleh. Entah melalui perjuangan Tryatno, Eko Yuli Irawan, Deni, maupun Sri Wahyuni.

Sementara itu, untuk cabang lain, seperti atletik, renang, balap sepeda, rowing, bahkan panahan walau sudah diangkat oleh film Tiga Srikandi, tetap masih diragukan meraih emas. Mudahan-mudahan saja prediksi ini keliru.

Tiga medali emas yang menjadi target tim Indonesia ke Olimpiade kali ini, sepertinya juga susah dicapai. Kalau tercapai merupakan kejutan besar, karena merupakan rekor tertinggi selama keikutsertaan kita di Olimpiade modern ini.

Kita pun berharap, pemerintah merogoh kocek dalam-dalam untuk memberikan bonus emas, tidak sekedar 5 miliar rupiah yang berarti hanya satu emas diperoleh. Tapi berpuluh-puluh miliar, pertanda itu lebih dari satu emas.

2 dari 2 halaman

Rio Haryanto

Pebalap Manor Racing, Rio Haryanto. (Bola.com/Manor Racing)

Berbeda dengan Rio de Janeiro yang memiliki harapan walau mencemaskan, harapan prestasi tinggi dari Rio Haryanto sepertinya sudah terkubur. Walau pun misalnya ia lanjut balapan di Tim Manor, harapan untuk berprestasi tampaknya sulit dicapai. Target Rio Haryanto mendapatkan angka, semakin sukar diraih.

Sampai GP Jerman minggu lalu, ia belum meraih angka, atau posisi ke-10. Ia malah tidak bergerak dari urutan buncit. Apakah karena timnya kurang tangguh, atau kemampuan Rio masih minim bersaing dengan pebalap-pebalap lain? Entahlah, yang dipertanyakan justru dengan hasil itu uang yang dikeluarkan tidak signifikan.

Seperti diketahui keikutsertaan Rio di GP F1 diembeli oleh dana yang harus disetor ke tim Manor Racing, yakni sebesar 15 juta euro atau lebih dari 200 miliar rupiah. Timnya baru menerima separohnya dari berbagai sponsor Rio, terutama Pertamina.

Melalui pencarian sponsor yang dimotori oleh Menpora Imam Nahrawi dengan cara-cara yang amatiran membuat keberangkatan Rio selain dibanggakan juga banyak yang mencibir. Pencarian sponsor malah sampai pada sumbangan para karyawan Kemenpora, menyedihkan.

Tak heran begitu ditagih lagi sisa dana di separuh musim ini, tim Rio kelabakan. Menpora sepertinya lepas tangan. Prestasi tidak dicapai, malah ketidakprofesionalan Rio terkuak. Padahal dunia balap F1 memiliki profesionalitas paling tinggi di antara cabang olahraga lain.

Profesionalitas dituntut karena ajang ini mempertaruhkan keamanan dan kenyamanan yang tinggi. Ajang glamor memang, tapi disiplin tinggi dipertaruhkan di sini. Karena unsur nyawa dipertaruhan oleh setiap peserta.

Pulang saja ke Tanah Air, Rio. Berbenah lagi. Benahi profesionalitas diri dan tim. Mencari sponsor dengan jaminan penuh dan menjunjung tinggi profesionalitas, dari mana pun itu.

Kalau pun tidak tercapai, jangan berkecil hati. Rio sudah tercatat sebagai pebalap pertama Indonesia yang beraksi di ajang F1, sangat sulit diraih oleh siapa pun sejak dulu dan ke depannya nanti. Ilmu balap bisa disumbangkan menjadi instruktur balap gokart umpamanya, yang menjadi cikal bakal F1, seperti Rio kecil dulu.

Selain Rio, dari ajang ini banyak lahir pebalap-pebalap Indonesia, seperti Henky Iriawan bersama anak-anaknya, hingga sekarang yang beraksi di GP2, Sean Gelael. Mendidik para talenta sekaligus melahirkan dan membesarkan si pebalap juga tak kalah membanggakan.