Pesona Egy Maulana dan Kematian Pemain No 9 di Timnas Indonesia

oleh Ario Yosia diperbarui 07 Sep 2017, 08:01 WIB
Pesona Egy Maulana dan Kematian Pemain No 9 di Timnas Indonesia. (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Egy Maulana Vikri unjuk tetajaman dengan mencetak dua gol saat Timnas Indonesia U-19 menang 2-1 melawan Myanmar dalam laga perdana penyisihan Grup B Piala AFF U-18 2017 di Stadion Thuwunna, Yangon, Selasa (5/9/2017). Ia selama ini jadi mesin gol Tim Garuda Nusantara.

Saat uji coba menjelang Piala AFF U-18 menghadapi klub asal Spanyol, Espanyol B, Egy mencetak dua gol berkelas. Saat itu Timnas Indonesia U-19 kalah 2-4.

David Gallego Rodriguez, pelatih Espanyol B, usai duel persahabatan menyebut kalau gaya main Egy mirip bintang Barcelona, Lionel Messi.

"Menurut saya, Egy bermain seperti Lionel Messi karena bisa melewati beberapa pemain lawan. Egy menunjukkan permainan dan kualitas teknik yang sangat bagus," ucap David Gallego Rodriguez.

Egy bermain bukan sebagai penyerang murni. Ia jadi pemain liar di lini depan, sebagai penyerang sayap atau second striker yang sama berbahayanya dengan target man. Peran ini dijalani Messi di Tim Catalan.

Yang menarik untuk dicermati sebenarnya bukan soal Egy yang digadang-gadang sebagai Messi Indonesia. Melainkan bagaimana Indra Sjafri, pelatih Timnas Indonesia U-19 menemukan solusi terhadap keterbatasan stok striker murni yang bisa diandalkan sebagai goal getter.

Advertisement

Di dunia sepak bola seorang striker murni biasanya diidentifikasi sebagai pemain nomor 9. Ia berperan sebagai ujung tombak di barisan terdepan. Tugas utamanya mencetak gol, tak peduli berapa lama ia dapat kesempatan menguasai bola sepanjang pertandingan. 

Pemain nomor 9 di Indonesia jadi barang langka dalam beberapa tahun terakhir. Setelah era Bambang Pamungkas dan Ilham Jayakesuma, tak ada lagi striker haus gol yang jadi andalan Tim Merah-Putih mencetak gawang lawan.

Sesuatu yang ironis mengingat sejak era 1960-an Indonesia secara kesinambungan selalu memproduksi predator-predator haus gol. Sucipto Suntoro, Bambang Nurdiansyah, Ricky Yakobi, Widodo Cahyono Putro, Adolf Kabo, Kurniawan Dwi Yulianto, Gendut Dony, adalah deretan penyerang nomor 9 dengan reputasi mencetak gol mentereng.

Saking terbatasnya stok bomber, PSSI sampai harus menaturalisasi Cristian Gonzales, penyerang asal Uruguay yang menjadi raja gol di pentas Liga Indonesia. El Loco menjadi andalan menjebol pertahanan lawan di Piala AFF 2010.

Selepas itu, praktis tidak ada seorang striker murni yang penampilannya memesona di Timnas Indonesia. Yandi Sofyan dan Syamsir Alam, pesepak bola belia yang menimba ilmu dalam program SAD Uruguay, sempat digadang-gadang bakal jadi pemain nomor 9 ganas.

Nyatanya begitu memasuki level senior keduanya kesulitan menembus skuat Timnas Indonesia. Rekor gol keduanya di level klub juga tak istimewa.

Di pentas SEA Games 2011 sempat muncul nama Patrich Wanggai dan Titus Bonai. Keduanya jadi duet striker ganas. Namun, konsistensi produktivitas membuat kemilau kebintangan mereka hanya bersinar sesaat.

"SEA Games tahun 2011 saya merasa beruntung memiliki banyak stok penyerang haus gol. Mereka amat bisa diandalkan untuk memperkuat lini ofensif. Dua tahun berselang, kondisi berubah. Sulit bagi saya mencari striker. Saya harus merubah taktik permainan untuk menutupi kelemahan itu," tutur Rahmad Darmawan pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA games 2011 dan 2013. 

2 dari 4 halaman

Boaz Solossa Hingga Lerby Eliandry

Lerby Eliandry (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Selama ini sebetulnya ada sosok Boaz Solossa, Irfan Bachdim atau Ferdinand Sinaga yang konsistensi ketajamannya cukup terjaga di Timnas Indonesia.

Sama seperti Egy Maulana, ketiganya bukan penyerang dengan tipikal pemain nomor 9. Boaz yang meretas karier sejak Piala AFF 2004, merupakan pemain sayap kiri. Demikian pula dengan Ferdinand. Posisi keduanya digeser ke tengah karena konsistens dalam hal produktivitas mencetak gol.

Sementara itu, Irfan yang blasteran Indonesia-Belanda sejatinya bermain sebagai gelandang serang di awal kariernya bersama klub Negeri Kincir Angin, Utrecht FC. 

Di ajang Piala AFF 2016 baru-baru ini mencuat sosok Lerby Eliandy. Alfred Riedl, pelatih Tim Garuda saat itu menyebut pemain klub Borneo FC itu adalah barang langka di sepak bola Indonesia. Gaya bermainnya memenuhi kualifikasi sebagai penyerang nomor 9.

Dengan postur tinggi (180 cm) Lerby jadi pemain yang kuat dalam duel-duel udara. Efektivitas pergerakannya mencari area kosong untuk membuka peluang emas diacungi jempol.

Dipasang sebagai target man di Piala AFF 2016, produktivitas Lerby kalah dibanding Boaz.  Pemain asal Toraja tersebut hanya menyumbang sebiji gol, sementara itu Boaz tiga gol.

Lepas dari itu, publik sepak bola Tanah Air berharap Lerby bisa mempertahankan konsistensi ketajaman, mengingat pacekliknya striker di Indonesia.

Pemain kelahiran 21 November 1991 itu membuktikan kestabilannya bermain. Musim ini di Liga 1 2017 Lerby untuk sementara jadi pemain paling produktif di Borneo FC dengan sumbangsih 10 gol.

Problem ketiadaan striker murni yang haus gol amat dirasakan oleh Luis Milla saat memimpin skuat Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2017 lalu. Ia punya Marinus Wanewar dan Ezra Wallian sebagai target man.

Namun, Ezra sejatinya bukan penyerang murni. Di Jong Ajax Amsterdam ia lebih sering dimainkan sebagai gelandang serang.

Di sisi lain, Marinus masih kesulitan menandingi produktivitas seniornya Boaz Solossa dan Ferinando Pahabol di Persipura Jayapura.

Benar saja, keduanya kesulitan unjuk produktivitas. Sepanjang SEA Games 2017 keduanya hanya membukukan sebiji gol.

Mereka kalah garang dibanding gelandang serang, Septian David Maulana, yang mencetak tiga gol buat Timnas Indonesia U-22. "Mereka pemain bagus. Jangan salahkan mereka karena tidak bisa mencetak gol. Tim ini harus punya banyak solusi menghadapi berbagai macam tantangan," kata Luis Milla.

Milla yang matang jam terbang di persaingan sepak bola internasional menyadari betul kondisi timnya yang tak memiliki pemain nomor 9 yang benar-benar tajam.

Untuk mengerek produktivitas tim asuhannya ia memaksimalkan kekuatan penyerang sayap. Yabes Roni, Osvaldo Haay, Febri Haryadi, akhirnya jadi tumpuan untuk menggedor pertahanan lawan.

3 dari 4 halaman

Dominasi Ronaldo dan Messi

Lionel Messi (AP/Natacha Pisarenko)

Di persaingan elite dunia beberapa tahun terakhir ketersediaan stok striker nomor 9 mulai menipis. Tim-tim dunia sekarang mengandalkan para winger buat menjebol gawang lawan.

Silih bergantinya Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi memenangi penghargaan pesepak bola terbaik di dunia Ballon d'Or menegaskan bahwa produktivitas sebuah tim tidak lagi tergantung pada sosok bomber bernomor 9.

Ronaldo dan Messi adalah sosok winger ganas, yang konsisten mencetak gol lewat akselerasinya di dua sisi melebar lapangan.

Masih ingat bagaimana Timnas Spanyol memenangi Piala Eropa 2012 tanpa seorang striker murni? Tim Negeri Matador mempopulerkan istilah false nine (penyerang palsu). Cesc Fabregas, yang sejatinya bermain sebagai gelandang serang didorong ke depan mendampingi dua sayap ganas Spanyol.

Namun tidak benar sepenuhnya kalau pemain nomor 9 sudah punah. Diego Costa, Gonzalo Higuain, Zlatan Ibrahimovic, Robert Lewandowski, Romelu Lukaku, serta Harry Kane, merupakan deretan striker murni elite dunia.

Meminjam ucapan Jose Mourinho, pelatih Manchester United, penyerang nomor 9 tetap penting. Arsitek asal Portugal tersebut mendeskripskan kalau pemain di posisi itu tidak bisa lagi jadi pemain pasif, hanya menanti umpan-umpan matang buat mencetak gol.

"Ia harus kuat dalam duel-duel individu, punya daya jelajah tinggi, dan siap membantu pertahanan jika diperlukan," kata Mourinho seperti yang dinukil dari The Mirror beberapa tahun silam.

Hal itu terlihat dari profil-profil striker pilihan Mourinho. Didier Drogba, Diego Costa, dan Lukaku, adalah penyerang petarung. Tipikal permainan mereka tidak seperti striker-striker tempo dulu macam, Salvatore Schillaci, Gary Lineker, atau Jurgen Klinsmman, yang terbiasa menanti umpan-umpan matang.

4 dari 4 halaman

Egy Lain

Evan Dimas. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Kembali soal Egy Maulana di Timnas Indonesia U-19. Kejelian Indra menemukan solusi bomber haus gol di tim asuhan jadi penentu tetap tajamnya Tim Merah-Putih.

Peran Egy hampir mirip dengan Evan Dimas di Timnas Indonesia U-19 besutan Indra Sjafri beberapa tahun silam. Ketika itu Tim Garuda Jaya tidak memiliki striker yang produktif. Performa pemain semacam Muchlis Hadi Ning Syaifulloh atau Dimas Drajat kerap turun-naik.

Evan yang aslinya bermain sebagai gelandang tengah diplot arsitek asal Sumatera Barat itu jadi second striker dalam skema 4-3-3. Ia kerap muncul dari lini kedua buat menciptakan gol-gol kejutan.

Tengok bagaimana pemain asal Surabaya itu menciptakan hattrick ke gawang Korea Selatan (3-2) dalam fase Kualifikasi Piala AFC U-19 2014. "Siapapun bisa mencetak gol. Saya ingin tim saya bermain kolektif. Tidak hanya mengandalkan satu atau dua pemain saja," ujar Indra.

Dibanding menangisi kenyataan pahit Timnas Indonesia kesulitan mencari sosok ujung tombak ganas, Indra lebih memilih beradaptasi menyesuaikan taktik permainan dengan ketersediaan pemain.

"Jadi memang semestinya kita tidak perlu sedih tak punya striker karena klub-klub Tanah Air lebih senang menempatkan pemain asing di posisi itu. Kita harus bersyukur karena Indonesia dianugerahi berkah tak terkira pemain-pemain sayap berkualitas. Taktik sepak bola modern saat ini memberi porsi besar kepada pemain-pemain model seperti itu," ucap Rahmad Darmawan.

Ya, bersyukurlah Timnas Indonesia U-19 punya sosok Egy Maulana. Bisa jadi saat pertandingan lanjutan penyisihan Grup B Piala AFF U-18 2017, pemain-pemain model Saddil Ramdani atau Feby Eka Putra jadi pemain yang memberi efek kejut lewat gol-golnya.

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait